Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Setara Institute mencatat pelanggaran kebebasan beragama di era Jokowi masih tinggi..
Rata-rata terjadi 14 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama.
Negara dianggap punya andil dalam pelanggaran tersebut.
SETARA Institute, lembaga pegiat hak asasi manusia, mencatat pelanggaran kebebasan beragama pada periode pertama Presiden Joko Widodo masih tinggi. Dalam riset Setara, terjadi 846 insiden pelanggaran hak beragama dan berkeyakinan dengan 1.060 tindakan selama November 2014-Oktober 2019. Artinya, rata-rata terjadi 14 peristiwa dengan 18 tindakan setiap bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Riset Setara Halili menjelaskan, pelanggaran kebebasan beragama sering terjadi karena ada fenomena berkembangnya ideologi ekstremisme dan konservatisme. “Ada kelompok warga dan individu yang bertindak koersif sehingga mengancam kebebasan orang lain,” ujar Halili di Jakarta pada Selasa, 7 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, pemerintah juga punya andil dalam ancaman kebebasan beragama, yaitu dengan membiarkan terjadinya pelanggaran tersebut. Upaya penegakan hukum terhadap pelaku aksi intoleransi juga belum maksimal. Jika situasi ini dibiarkan, kata Halili, kejahatan dan ancaman terhadap kebebasan religi bakal lebih besar.
Kasus intoleransi terbaru, pemerintah desa di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, melarang umat Nasrani merayakan Natal pada Desember 2019. Sebulan sebelumnya, polisi dan warga Mangir Lor, Kecamatan Pajangan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, membubarkan upacara penghormatan Ki Ageng Mangir, leluhur desa setempat.
Riset Setara dipublikasikan berselang dua minggu setelah Presiden Jokowi menghadiri perayaan Natal Nasional 2019. Dalam acara itu, Presiden berjanji melindungi hak beragama. “Di negeri Pancasila ini, negara menjamin kebebasan beragama dan beribadah,” ujar Jokowi. Namun ia juga mengakui masih ada pihak yang bersikap intoleran dan menyebarkan kebencian.
Ancaman Intoleransi
JAWA Barat dan DKI Jakarta menjadi daerah dengan jumlah kasus pelanggaran hak beragama terbanyak. Menimpa anggota dan rumah ibadah kelompok minoritas selama lima tahun terakhir.
SUMBER: SETARA INSTITUTE
Telegram Investasi Kapolri Dikritik
PARA pegiat antikorupsi mengkritik Kepala Kepolisian RI Jenderal Idham Azis yang menerbitkan telegram yang isinya memerintahkan kepolisian daerah menjaga iklim investasi. Idham memberi petunjuk pengusutan tindak pidana korupsi. Salah satunya polisi harus berkoordinasi dengan auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Peneliti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, menyebutkan telegram itu menunjukkan pemerintah Presiden Joko Widodo memanfaatkan penegak hukum untuk mengejar investasi. “Telegram Kapolri membuktikan pidato Presiden yang menyebutkan akan menghajar penghambat investasi,” kata Rivanlee pada 5 Januari lalu.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Wana Alamsyah, menilai telegram itu berpotensi menjadi jalur penyelesaian kasus korupsi secara “damai”. Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjelaskan, kawat itu justru dikeluarkan untuk mencegah korupsi di daerah.
KPK Ajukan PK Kasus BLBI
KOMISI Pemberantasan Korupsi mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) vonis bebas di tingkat kasasi terhadap bekas Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung, dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Memori permohonan diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Kamis, 9 Januari lalu.
Jaksa KPK, Haerudin, mengungkapkan salah satu poin memori permohonan adalah dugaan pelanggaran prinsip imparsialitas oleh hakim agung Syamsul Rakan Chaniago, yang memvonis bebas Syafruddin. “Sebelum perkara diputus, berdasarkan call data record, terdapat beberapa kali komunikasi antara Syamsul Rakan Chaniago dan Ahmad Yani, pengacara Syafruddin,” kata Haerudin.
Kepada Tempo pada Oktober 2019, Syamsul mengaku tak pernah bercerita kepada Ahmad Yani soal perkara. Adapun Yani mengaku tak ingat pernah bertemu dengan Syamsul. Syafruddin divonis 13 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada September 2018. Di tingkat banding, hukumannya ditambah menjadi 15 tahun bui. Namun Mahkamah Agung kemudian membebaskannya.
Bupati Sidoarjo, Saiful Ilah, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 9 Januari 2020. TEMPO/Imam Sukamto
Operasi Tangkap Tangan Bupati Sidoarjo
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan, uang yang disita dari operasi Saiful merupakan bagian dari suap yang diberikan dua orang dari pihak swasta berinisial IGR dan TSM setelah perusahaan mereka dimenangkan dalam tender proyek infrastruktur. “Setelah menerima termin pembayaran, mereka diduga memberikan fee kepada sejumlah pihak di Pemerintah Kabupaten Sidoarjo,” ujar Alexander.
KPK menduga IGR melobi Saiful agar tak menerima sanggahan perusahaan pesaingnya dalam proyek pembangunan jalan senilai Rp 21,5 miliar. Dia juga meminta perusahaannya ditetapkan sebagai pemenang.
Pelanggaran HAM dalam Demo Undang-Undang KPK
KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia menemukan tindak kekerasan, penangkapan paksa, dan penahanan yang dilakukan polisi selama unjuk rasa mahasiswa yang memprotes revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Komisi mencatat sedikitnya 1.489 orang ditangkap, 1.109 di antaranya kemudian dilepas, selama 29-30 September 2019.
Wakil Ketua Komnas HAM Hairansyah menjelaskan, dalam demonstrasi itu ada lima pelajar dan mahasiswa tewas. “Tim pencari fakta menemukan korban terluka, jurnalis yang menjadi korban kekerasan, dan indikasi pelanggaran hak asasi,” katanya pada Kamis, 9 Januari lalu. Hairansyah menyebutkan kepolisian diduga melanggar hak atas hidup, hak atas kesehatan, dan hak memperoleh keadilan.
Kepala Biro Penerangan Kepolisian RI Brigadir Jenderal Argo Yuwono menyebutkan polisi melakukan tindakan pengamanan sesuai dengan prosedur. “Sudah sesuai dengan aturan,” ujar Argo.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo