SIDANG pengadilan Sabtu pekan lalu itu terasa lengang. Di dalam ruang sidang, cuma lima puluhan orang yang hadir. Padahal, dua pekan sebelumnya, ratusan orang berjubel di dalam dan di luar ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk mengikuti sidang yang memeriksa terdakwa Tonny Ardie. "Karena minta ampun, Tonny Ardie habis riwayatnya, dan tak lagi punya pendukung," komentar seorang kenalan Tonny. Anjloknya minat pengunjung itu tampaknya memang karena pernyataan Tonny 16 November lalu. Dalam pernyataan yang ditujukan kepada jaksa penuntut umum dan dibaca di depan sidang itu Tonny memohon agar memperoleh keringanan hukuman. "Tolonglah, Pak, saya betul-betul sudah jera, kapok, mawas diri, introspeksi, dan pasrah total. Saya menyadari sepenuhnya bahwa cara dan jalan yang saya tempuh selama ini keliru," kata Tonny. Sejumlah rekannya menyayangkan perubahan sikap Tonny. "Itu sikap cengeng dan kekanak-kanakan. Ia sudah melepaskan jemaah dan mencari kesenangan pribadi," kata Abdul Qadir Djaelani, yang, seperti Tonny, tengah diadili karena dianggap terlibat dalam peristiwa Tanjung Priok. "Jelas, jemaah akan menjauhinya, tak ada lagi rasa simpatinya. Sayang," ujar Oesmany Al Hamidy, Rektor PTDI Tanjung Priok, yang juga tengah diadili. Bisa dimengerti bila banyak yang kaget, atau bahkan gusar, pada sikap Tonny. Tonny Ardie, 31, selama ini dikenal sebagai mubalig muda yang sering memberikan ceramah yang keras. Akibat sejumlah ceramahnya menjelang peristiwa Tanjung Priok, yang sebagian dikasetkan dan diterbit-kan sebagai buku, Tonny kini diadili dan dituduh memutarbalikkan, merongrong, atau menyelewengkan ideologi negara Pancasila dan haluan negara. Bahkan, dalam berbagai ceramah itu Tonny sering berkata dengan lantang, "Ya, Allah, penjara lebih aku sukai daripada menerima asas tunggal." Karena ceramahnya yang keras jugalah Tonny, jebolan FISIP Universitas Indonesia tingkat V, itu pada 1984 dihukum 9 bulan penjara. Mengapa Tonny berubah ? Pada Agus Basri dari TEMPO, Tonny pekan lalu bercerita, "Waktu saya ditahan di Cimanggis muncullah kesadaran baru bahwa saya bersalah dalam cara penyampaian. Nabi saja tidak boleh memaksakan, sekadar penyampai kebenaran. Sedangkan saya sepertinya memaksakan kehendak saya. Karena itu, tidak mustahil saya salah dalam cara penyampaian tadi." Ketua Umum HMI cabang Jakarta (1978-1979) dan Ketua PB HMI (1979-1980) itu mengakui, selama ini ia telah keluar dari rel yang digariskan HMI. Sedang HMI kini telah menerima asas tunggal Pancasila. "Karena itu, timbul kesadaran baru saya untuk kembali ke rel HMI yang sebenarnya," katanya. Ia tahu, kesadaran itu harus dibayarnya mahal: ia akan kehilangan pendukungnya. Namun, kata Tonny, di Indonesia, yang penduduk-nya 88 persen beragama Islam itu, banyak yang belum tersentuh dakwahnya. Dari jumlah itu yang bersikap keras paling cuma 5 persen. "Saya akan kehilangan yang 5 persen itu, tapi tak apa-apa karena saya lebih mementingkan yang 95 persen. Saya angkat jempol pada cara yang ditempuh Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Hasan Basri, dan A.R. Fachruddin." Ada yang menduga, perubahan sikap Tonny karena tekanan atau hanya sekadar taktik agar tidak dihukum berat. Tonny membantah. "Tak ada yang bisa pegang kepala saya. Saya itu kalau merasa salah, lebih baik jujur dan berani mengakui. Soal vonis nanti ringan atau berat, bukan masalah bagi saya karena saya sadar akan kekeliruan saya. Dihukum di Nusa Kambangan pun akan saya terima dengan sadar," katanya. Namun, sebuah sumber mengatakan, Tonny Ardie tampaknya takut dituntut hukuman mati, lalu hakim bisa menjatuhkan hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara. Entah mana versi yang benar. Tapi pekan lalu, jaksa "hanya" menuntut hukuman 17 1/2 tahun penjara pada Tonny. Salah satu hal yang meringankan, kata jaksa, karena terdakwa mengakui secara sportif dan terus terang serta membenarkan keterangan para saksi. "Kemudian timbul kesadaran terdakwa, dan meminta maaf kepada pemerintah dan rakyat Indonesia, serta berjanji untuk ikut serta dalam era pembangunan Indonesia."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini