Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Tradisi Perbudakan yang Tercecer

Mungkinkah sebagian kecil masyarakat Arab masih mewarisi tradisi perbudakan bias fikih klasik? Yang pasti, Islam ideal menentang perbudakan.

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGIAN wilayah Arab Saudi memang tanah suci, tapi kaum prianya tetaplah keturunan Adam yang bisa tergiur oleh kemolekan perempuan. Berita kasus pemerkosaan oleh beberapa majikan Arab terhadap wanita pembantu rumah tangga, karena itu, sebetulnya bukan berita baru. Menurut catatan lembaga swadaya masyarakat Solidaritas Perempuan, hingga akhir 1998 telah terjadi 82 kasus pemerkosaan di Arab Saudi, dan 5 kasus serupa di Persatuan Uni Emirat Arab. Hingga setahun sesudahnya, kasusnya bertambah banyak: terjadi 120 kasus penganiayaan dengan pemerkosaan di Arab Saudi. Itu yang tercatat. Seperti diakui Direktur Jenderal Binapenta (Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja) Ketenagakerjaan, Din Syamsudin, "Kami duga masih banyak tenaga kerja Indonesia yang bermasalah secara terselubung."

Kenapa makin banyak tenaga kerja wanita diperkosa? Jangan-jangan, ini ada hubungannya dengan cara pandang sebagian orang Arab yang konon menganggap wanita pembantu sebagai budak yang bisa dituntut untuk melayani berbagai keperluan majikannya. Bila memang begitu, hubungan seksual antara majikan dan budaknya, menurut tradisi lokal, dibolehkan.

Tradisi perbudakan yang tercecer itu, Kamis awal Maret lalu, diungkap Presiden Abdurrahman Wahid dalam kunjungannya ke Pangkalan Brimob Kelapadua, Cimanggis, Depok, Jawa Barat. "Bangsa Saudi masih terikat kepada hukum Islam kuno yang membolehkan perbudakan. Jadi, seorang wanita yang bekerja di sana bisa saja dianggap budak," kata Presiden. Pernyataan itu muncul di tengah pemberitaan yang ramai tentang Kartini, 35 tahun, tenaga kerja wanita asal Karawang, Jawa Barat, yang divonis hukuman rajam (dilempari batu) hingga mati oleh Pengadilan Syariah Islam di Fujairah, Uni Emirat Arab, karena kasus perzinaan.

Sesungguhnya, perbudakan adalah fakta tradisi bangsa-bangsa kuno di dunia—tak hanya Arab. Dalam masyarakat patriarkis seperti di Arab, yang menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi dibandingkan wanita, perbudakan wanita adalah keniscayaan. Ketika Islam datang lewat kenabian Muhammad di Kota Mekah, kelas-kelas sosial yang menyekat kaum majikan dan budak itu dihapus secara bertahap. "Namun, karena struktur sosial itu sangat kuat, perbudakan tidak mudah dihilangkan," kata Prof. Dr. Azyumardi Azra, Rektor Institut Agama Islam Negeri Jakarta.

Upaya pembebasan kaum budak berlangsung dengan penuh semangat pada masa awal Islam hingga masa dinasti Umayyah. Namun, semangat egaliter itu meluntur seiring dengan perkembangan zaman, dan belakangan tergerus oleh absolutisasi kekuasaan di tangan dinasti-dinasti Islam berikutnya, sejak masa dinasti Abbasiyah—dengan tradisi haremnya—hingga masa dinasti Usmani Turki di Istanbul. Tradisi itu baru dihapus pada 1920, ketika Mustafa Kemal Ataturk dari rezim sekuler menduduki tampuk kekuasaan di Turki.

Namun, tradisi yang sudah karatan di Tanah Arab selama berabad-abad itu sulit dikelotok. Sebagian kecil masyarakat di negara-negara Arab yang kaya, terutama di kawasan Semenanjung Arab, menurut Azyumardi, masih mempraktekkan perbudakan. Mereka antara lain suku Thaif dan Abha. Dalam kenyataan sekarang, sebagian orang Arab yang menyewa pembantu itu mungkin merasa telah membeli budak. Dan karena dianggap budak, wanita pembantu boleh saja diminta melayani kebutuhan seks si majikan. "Sebagian orang di Timur Tengah masih memakai cara pandang fikih klasik ini," kata Azyumardi.

Benarkah ada pandangan fikih klasik yang membolehkan perbudakan? Prof.Quraish Shihab, ahli tafsir dan bekas Menteri Agama, menafikan ajaran itu dalam Alquran. "Sebenarnya, tidak ada ayat Alquran yang membolehkan perbudakan," kata Quraish. Ada sebuah ayat yang mungkin disalahtafsirkan sebagai pembolehan memperlakukan budak sebagai istri, yaitu surah Annisa' ayat 3: "Dan jika kamu tidak dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki."

Walau dalam kenyataan praktek perbudakan masih tersisa, kerajaan Arab Saudi dan negara Uni Emirat Arab secara yuridis formal telah melarang praktek perbudakan sejak 1960. Perubahan sosial, ekonomi, dan budaya tampaknya mempengaruhi cara pandang masyarakat dalam menafsirkan ayat perbudakan. Di negara-negara Arab yang lebih "modern" seperti Mesir, Syria, Tunisia, dan Yordania, praktek perbudakan sudah menjadi barang langka. Apalagi di Lebanon, yang telah mengalami liberalisasi.

Islam ideal sesungguhnya memang menentang perbudakan.

Kelik M. Nugroho, Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus