Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAMA tiga hari pada pekan kedua November lalu, rombongan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh berada di Jakarta. Dipimpin Wakil Ketua Nurzahri, mereka menemui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan menggelar diskusi publik. Tujuannya mendengar masukan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.
Nurzahri dikejar tenggat. Pertengahan Desember ini, peraturan tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sudah harus terbit karena amanat dari perjanjian damai pemerintah Indonesia dan perwakilan Gerakan Aceh Merdeka pada 2005 di Helsinki, Finlandia. "Kami tak mungkin lagi menunggu Jakarta," katanya pekan lalu.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh seharusnya menunggu pembentukan Komisi Rekonsiliasi Nasional, yang akan dibentuk pemerintah pusat. Komisi ini sebenarnya sudah dibentuk, tapi dibubarkan Mahkamah Konstitusi pada 2004, sehingga untuk menghidupkannya kembali perlu dengan undang-undang baru.
Bolak-balik Nurzahri meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia segera membuat rancangan undang-undang yang akan menjadi payung bagi DPR Aceh membuat qanun tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. Hasilnya selalu mentok. "Kami masih terus merumuskan struktur yang tepat," ujar Wahiduddin Adams, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum.
Tak kunjung ada kepastian, sejumlah organisasi kemasyarakatan Aceh membuat draf qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan mengajukannya ke DPR pada 2011. DPR Aceh lalu membahas pasal demi pasal, termasuk berdiskusi dengan ahli rekonsiliasi dari Afrika Selatan dan Spanyol melalui jaringan Skype. "Kami jadikan draf itu sebagai inisiatif Dewan," kata Nurzahri.
Di DPR Aceh, inisiatif membuat aturan itu bukan tanpa tentangan. Sejumlah fraksi partai lokal dan nasional ragu terhadap pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Kekhawatiran terbesar adalah tak sinkronnya qanun yang mereka buat dengan undang-undang yang dibuat pemerintah pusat. Soalnya, jika berbeda, qanun itu bisa bubrah mengingat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh akan berada di bawah Komisi Rekonsiliasi Nasional.
Di luar soal aturan, para politikus di sana juga ragu terhadap efektivitas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Menurut Yunus Ilyas, Ketua Fraksi Demokrat DPR Aceh, sudah banyak lembaga yang mendatangi korban dan menggali informasi tentang kekerasan militer Indonesia di Aceh selama periode daerah operasi militer. "Jika nanti ada lembaga lagi, apa mereka masih mau ngomong?" ucapnya.
Kekerasan selama operasi militer dan pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka, kata Yunus, meninggalkan trauma yang tak mudah hilang. Setelah perjanjian Helsinki dan pentolan GAM menduduki jabatan penting di provinsi ini, orang Aceh lebih tertarik membicarakan masa depan. "Kami lebih senang omong kesejahteraan," ujarnya.
Jika terbentuk, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia sejak 1976 hingga 2005 yang dilakukan tentara Indonesia ataupun kombatan GAM. Pelanggaran hak asasi berat akan diajukan ke sidang pengadilan hak asasi yang dibentuk secara ad hoc di Jakarta. Sedangkan pelanggaran ringan akan diselesaikan dengan memberi kompensasi kepada para korban.
Ini juga problem lain Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Menurut Ketua Fraksi Golkar Husen Banta, anggaran Aceh tak cukup jika harus menanggung seluruh biaya kompensasi. Anggaran Aceh 2013 sebesar Rp 32 triliun, misalnya, kini tersedot untuk membangun kembali provinsi ini.
Dalam qanun yang sudah digodok, besar kompensasi belum diatur secara jelas. Karena anggaran Aceh diperkirakan tak cukup, kata Husen, bebannya akan dibagi dua dengan pusat. Skemanya bisa 70 persen pemerintah pusat dan sisanya pemerintah Aceh. Masalahnya, jika berbagi seperti ini, Komisi Rekonsiliasi Nasional mesti terbentuk lebih dulu.
Menurut Wahiduddin Adams, pemerintah pusat belum bisa memastikan kapan rancangan aturan pembentukan Komisi Rekonsiliasi Nasional bisa diajukan ke DPR. "Tahun depan masa kerja DPR sekarang sudah habis," ujarnya. Walhasil, RUU Pembentukan Komisi Rekonsiliasi Nasional belum bisa diajukan akhir tahun ini untuk dimasukkan ke daftar Program Legislasi Nasional DPR.
Karena itu, meskipun DPR Aceh sudah membuat qanun, realisasi pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bisa terganjal. Apalagi jika sejumlah pasal bertentangan dengan rancangan itu. DPR Aceh mesti merumuskan ulang. "Jika tak sinkron, qanun harus mengalah atau dibatalkan," kata Wahiduddin.
Menurut Wahiduddin, pemerintah pusat juga tak bisa mengalokasikan anggaran Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara jika undang-undang belum ada. Anggaran operasional ataupun kompensasi akan diatur dalam Komisi Rekonsiliasi Nasional. "Kalau qanun menyebutkan sumber anggaran dari APBN," ucap Wahiduddin, "keputusan itu jadi tak punya dasar hukum."
Bagi Nurzahri, alasan Wahiduddin ini hanya akal-akalan pemerintah pusat yang keberatan mengeluarkan anggaran untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tak jelasnya pengajuan rancangan aturan, kata dia, menunjukkan keengganan pemerintah pusat menguakkan kembali kekerasan selama perang di sana.
Soalnya, menurut Nurzahri, dasar hukum pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh adalah Undang-Undang Pemerintahan Aceh, yang terbit pada 2006. Benturan terjadi karena pemerintah pusat mewajibkan komisi rekonsiliasi yang dibentuk di daerah menginduk ke pusat, karena berkaitan dengan anggaran dan personel.
Seluruh debat hukum selama tujuh tahun yang membuat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tunggang-tunggit ini membuat para korban dan keluarganya makin kehilangan kepercayaan. Murtala, yang menjadi korban kekerasan tentara Indonesia dalam "Insiden Dewantara" di simpang jalan dekat pabrik PT Kertas Kraft Aceh pada 3 Mei 1999, bingung dengan berlarut-larutnya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. "Segeralah ada penyelesaian," ucap laki-laki 43 tahun itu.
Murtala tertembak dalam insiden itu. Bersama warga Dewantara lainnya, ia berÂunjuk rasa memprotes penembakan warga Cot Murong sepekan sebelumnya. Penembakan itu dipicu oleh hilangnya seorang tentara kesatuan Rudal Pulo Rungkom. Tentara yang menyisir kampung-kampung menembaki warga desa.
Dalam unjuk rasa di Dewantara, tentara kembali menembaki masyarakat yang berdemo. Setidaknya 46 orang meninggal, 156 luka-luka, dan 10 orang hilang. Bagi Murtala, peristiwa itu lekat di ingatannya hingga kini. "Hingga sekarang saya mengalami trauma kalau lihat kerumunan," katanya.
Maria Hasugian, Subkhan J. Hakim (Jakarta), Adi Warsidi, Imran M.A. (Aceh)
Jalan Panjang Rekonsiliasi
1976
»»» 4 Desember
Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka.
2000
»»» Januari-Mei
Henry Dunant Centre memfasilitasi dialog antara pemerintah Indonesia dan perwakilan GAM di Jenewa, Swiss. Hasilnya, gencatan senjata hingga Januari 2001.
2001
»»» 9 Januari
Perubahan aspirasi GAM dari angkatan bersenjata menjadi politik.
»»» 9 Agustus
Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Nanggroe Aceh Darussalam.
2005
»»» 15 Agustus
Pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani perjanjian damai di Helsinki, Finlandia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo