RIBUAN balon berwarna-warni menyeruak dari halaman Pan American, Plaza, dibawa angin. Udara pun semarak ketika sekitar 5.000 jemaah yang menatap ke langit kemudian bertepuk tangan. Acara pembukaan di gedung Balai Sidang di Indianapolis, Indiana, itu lalu disusul dengan iringan doa, pada saat berkibarnya sehelai spanduk bertuliskan Muktamar Tahunan ke-25 Masyarakat Islam di Amerika Utara. Tiga hari, awal September lalu, di kota itu berkumpul sejumlah tokoh muslim di Amerika Serikat. Jesse Jackson, kontestan calon presiden dari Partai Demokrat, hadir pula. Jackson, seorang Kristen yang saleh, tak cuma dapat tepukan. Ia juga disiram dengan takbiran Allahu-akbar. Kemudian Ahmad Zaki Hammad, Ketua Umum Islamic Society of North America (ISNA), maju ke depan, dan menghadiahkan kepadanya sebuah kitab tafsir Quran karya Abdullah Yusuf Ali. "Inilah kunci ke peradaban Islam," bisik Hammad, sambil ketat menyalaminya. Sebelumnya, Jackson memperoleh suara, konon juta, dari warga muslim AS. Dia mendukung keturunan Arab yang memasang poster pro-Palestina di kereta-kereta bawah tanah. Umat Islam Amerika yang bernaung di ISNA kembali melakukan introspeksi, sembari menengok pada nasibnya di tengah mayoritas. Di muktamar itu tergetar pentingnya organisasi persaudaraan Islam. Pada mulanya adalah Muslim Students Association (MSA). Berkat pendekatan Ismail al-Faruqi, kelompok ini tumbuh jadi organisasi nasional bagi Muslim di Amerika Utara. Karena kian berkembang -- bukan hanya tempat bernaung mahasiswa -- MSA lalu membuat induk dengan nama ISNA. Sejak 1970-an di ISNA, al-Faruqi membentuk beberapa organisasi profesional. Awalnya ia menghimpun sarjana ilmu sosial, terus ke sarjana sains, insinyur, dokter, dan pengusaha. Di situ pula al-Faruqi mengembangkan ide "islamisasi" ilmu pengetahuan. Sebelum mati tertusuk (1986) al-Faruqi membeberkan pemikirannya di Tahid. Impian para tokoh muslim bahwa Islam akan menjadi agama kedua, setelah Kristen -- menggeser Yahudi -- diramalkan jadi kenyataan. Pada 30 tahun mendatang, jumlah muslimin akan lebih banyak dari Yahudi. Tapi Dawud Zwink, Wakil Ketua ISNA, menyebut tiga masalah besar yang perlu pemecahan segera. Di antaranya, sekolah yang permanen. Sekolah umum dianggapnya gagal melahirkan generasi rakyat Amerika yang bermoral tinggi, akibat pengaruh kebebasan seks dan tindak kriminal. Sekolah Islam, katanya, akan menjadi alternatif baru bagi pendidikan agama untuk anak-anak Islam. Ia juga mengungkit kesulitan mencari jodoh akibat berbeda kelas dan ras. "Islam berkembang bila umatnya menjadi teladan," ujar Dr. Ahmad Zaki. Selama ini masyarakat memberi penilaian terhadap Islam menurut berita-berita di media massa Barat yang menonjolkan pergolakan atau revolusi Iran dan kaum teroris. Selama ini Islam yang sampai ke masyarakat AS seolah bertampang keras. Ini, kata Zaki, merupakan tugas umat untuk meluruskan citra itu. Tapi masalah baru muncul, misalnya, ISNA belum punya surat kabar berskala luas. Media yang ada baru majalah dan penerbitan berkala. Tapi cetusan untuk mendirikan Kota Muslim, seperti dilakukan kaum emigran Italia, Yunani, dan Cina diduga bakal melahirkan masyarakat muslim yang eksklusif. Karena itu, menurut Zwink, biarkan umat terpencar ke segenap penjuru. "Kalau umat terlibat di semua aktivitas masyarakat, maka citra itu akan tercium dari sana," tambahnya. Sedangkan ide islamisasi ilmu terus dikembangkan di The International Institute of Islamic Thought yang didirikan al-Faruqi pada 1981-1982. Para sarjana muslim yang bergabung di bawah ISNA memang menyadari esensi ide itu. Mereka juga berinisiatif menampilkan citra Islam kepada sesama sarjana, di AS, lewat etika berilmu menurut cara yang Islami. AT, P. Nasution dan Zulkafly Baharuddin (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini