Vonis Amir dan Istri Kedua Tokoh utama FKM, yang menggerakkan peristiwa Lampung, dihukum 17 tahun. Di penjara, mereka mau mengambil istri kedua. KETIKA Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Din Muhammad, mengetukkan palunya Kamis pekan lalu, terdakwa Nur Hidayat sempat terpana. Terdakwa kaget karena hakim hanya memvonisnya 17 tahun. "Tadinya saya kira minimal 20 tahun," ujarnya kepada TEMPO. Kekagetannya itu agaknya sah-sah saja. Karena, sebelumnya, Jaksa Lukman Kartaprawira menuntut penjara seumur hidup bagi terdakwa kasus subversi Front Komando Mujahidin (FKM) itu. Nur lantas mengambil contoh anak buahnya, Zamzuri, salah satu pelaku Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) Warsidi, Lampung, yang dihukum seumur hidup. Padahal, katanya, Nur-lah yang mendorong dan memberi semangat kelompok Lampung itu. "Saya kok cuma dapat 17 tahun," ujarnya. Maka, ketika membacakan pledoinya yang berjudul "Menuntut Keadilan", Nur meminta agar majelis hakim menjatuhkan hukuman mati. Bekas karyawan Bea Cukai Tanjungbalai Karimun, Riau, itu menurut hakim terbukti hendak mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) dan mengganti Pancasila dan UUD 1945 dengan Quran dan Hadis. Terdakwa juga kerap mengadakan pertemuan berkedok pengajian di berbagai tempat di Jakarta, untuk membahas dan mematangkan rencana makarnya. Setelah terpilih sebagai amir musafir, ayah dua anak itu lalu membaiat dan menghijrahkan jemaahnya ke Cihideung, Lampung Tengah. Eks karateka nasional itu juga membuat dan mengirimkan anak panah ke Lampung. Majelis hakim menganggap terdakwa terbukti menyebarkan selebaran, mau membakar pusat pertokoan Glodok, serta meledakkan beberapa pompa bensin di Jakarta. Aksi yang direncanakan 2 Maret 1989 itu sebagai balasan atas peristiwa berdarah Cihideung, Lampung, yang menewaskan 36 jemaahnya. Hakim memang melihat ada hal yang meringankan hukuman, seperti usianya masih muda, sopan, dan punya anak-istri. Yang lebih penting, tindakan Nur masih berupa rencana dan belum terwujud. Hari yang sama, pengadilan itu juga menjatuhkan vonis 17 tahun penjara bagi Ahmad Fauzi bin Isnan, lebih rendah dari tuntutan penjara seumur hidup Jaksa Prasetyo. Majelis Hakim -- dipimpin Yoesoef -- menganggap eks karyawan Biro Pusat Statistik itu terbukti melakukan tindak pidana subversi, membantu secara langsung gerakan kelompok FKM. Anak buah Nur yang lain, Sudarsono alias Masdar, kini tengah disidangkan pula di pengadilan yang sama. Pria tinggi dan bercambang itu didakwa sebagai penghimpun dana FKM. Karena itu, Jaksa Ramli Hafid meminta majelis yang diketuai H.P. Hartoko tersebut agar menghukum terdakwa 20 tahun penjara. "Sebetulnya percuma juga. Toh, setelah keluar, saya akan membuat gerakan lagi," ujarnya. Para pentolan FKM menganggap peradilan itu tak sah. Sejak hari pertama disidangkan, kata Nur, mereka selalu menyebut diri sebagai warga NII. "Berarti kan saya bukan warga negara RI," ujar "Amir". Maka, mereka mengharapkan diperlakukan sebagai tawanan perang. Namun kendati tak mengakui sahnya peradilan dan menganggap hukuman itu terlalu ringan, mereka mengaku tak berniat mengajukan banding. Tokoh FKM itu memang harus segera masuk penjara. Dari balik penjara, mereka masih melancarkan "jurus baru". Yakni, kata Fauzi, "menjalankan sunah Rasul dan memerangi monogami yang dipaksakan pemerintah lewat PP/10." Memperistri lebih dari satu wanita muslim diyakininya sebagai sunah Rasul. Bersama "Amir", dia bermaksud mengambil salah satu jemaah wanitanya sebagai istri kedua. Artinya, LP Cipinang mesti siap-siap mantu. Tri Budianto Soekarno dan Ahmadie Thaha (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini