MUSIBAH kereta api Bintaro belum putus meminta korban. Masinis Slamet Suradio, 48 tahun, jatuh sebagai "korban" berikutnya. Slamet, bersama tiga sejawatnya, menurut kesimpulan sementara tim penyelidik, dianggap melakukan kesalahan yang menimbulkan kecelakaan kereta api 19 Oktober itu. "Mereka kemungkinan akan diadili secara pidana, dan dikenai PP 30 Tahun 1980 tentang disiplin kepegawaian," kata sumber TEMPO di Departemen Perhubungan. Adung Sapei, 31 tahun, kondektur kereta KA-225 yang dikemudikan Slamet dianggap bersalah pula. Sedangkan Amung Sunarya, masinis KA-220, yang menjadi lawan KA-225 dalam tabrakan maut itu, dinyatakan bebas dari kesalahan. Dua petugas dari stasiun tempat dua kereta itu bertolak -- masing-masing Jamhari, Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA) stasiun Sudimara, dan Umriyadi, PPKA Kebayoran Lama -- juga dinilai bersalah. Hasil penyidikan Gappka (Gabungan Penyidik Peristiwa Kecelakaan Kereta Api) itu dibeberkan kepada pers Kamis pekan lalu oleh Soeharso, Kepala PJKA. Pukul 06.36, seusai memberangkatkan KA-251, Jamhari menelepon Mad Ali, yang pagi itu bertugas sebagai PPKA Kebayoran Lama. Ia memberitahukan keberangkatan KA-251, dan meminta agar KA-225, yang akan berangkat sesudah KA-251, dapat dipindahkan persilangannya di Kebayoran. "Gampang, Pak. Nanti bisa diatur," jawab Mad Ali dari seberang. Permintaan Jamhari itu agar KA-225 menggunakan jalur lebih dulu dari KA-220, yang sedianya akan meluncur dari arah berlawanan, setelah KA-251 tiba di Kebayoran Lama. Permintaan itu diajukan karena KA-220 dianggap terlambat. Lalu Jamhari membuat memo pemindahan tempat persilangan (PTP) untuk KA-225, lalu menyampaikannya kepada Masinis Slamet. Itulah kesalahan Jamhari menurut tim penyidik. Sebab, stasiun Kebayoran Lama sendiri sebetulnya belum memberikan jawaban tegas. Beberapa menit setelah KA-251 berangkat, di stasiun Kebayoran Lama, terjadi pergantian PPKA: Mad Ali digantikan oleh Umriyadi. Mungkin permintaan Jamhari itu tak disampaikan kepada Umriyadi. Maka, ketika KA-251 memasuki stasiun, langsung saja PPKA Kebayoran Lama ini mengayunkan gagang eblek, papan bulat hijau berplisir putih. KA-220, yang sudah siap di situ, segera berangkat. Umriyadi lalai, menurut tim penyidik. Mestinya, dia meminta persetujuan dari Sudimara, sebelum melambaikan gagang eblek. Tindakan Umriyadi dianggap menyalahi prosedur baku. Pemberitahuan ke Sudimara dilakukan beberapa menit setelah KA-220 berangkat. Jamhari kontan menengok ke KA-225, yang saat itu tengah bergerak perlahan. Dengan panik, Jamhari meminta salah seorang petugas untuk menyampaikan perintah langsir, bergerak menyisih dari lintasan utama. Tapi ayunan bendera merah dan tiupan trompet itu tak didengar oleh KA-225. Kereta itu makin melaju. Upaya Jamhari menggerakkan palang sinyal, turun-naik, tak memberi hasil. Akhirnya, Jamhari mencoba mengejar dengan berlari. Sia-sia. Dia pingsan di atas rel. Memo Jamhari, kata tim penyidik, rupanya diterjemahkan sebagai tanda pemberangkatan. Itu kesalahan Slamet. Mestinya masinis tak memberangkatkan kereta sebelum ada aba-aba resmi dari PPKA: semboyan 40, yang berupa ayunan eblek itu. Kondektur Adung Sapei pun bersalah. Seharusnya dia cepat-cepat menarik rem jika kereta bergerak tanpa semboyan 40. Vonis itu mendapat reaksi keras dari Senayan. Krissantono, dalam jumpa pers komisi V DPR pekan lalu, memandang kesalahan itu tak layak ditimpakan semata pada petugas rendahan itu. "Tak ada prajurit yang bersalah. Kalau prajurit bersalah, komandanlah yang mesti bertanggung jawab," kata Kris. Wakil sekretaris F-KP ini berharap, mudah-mudahan penjelasan PJKA tak hanya sampai di situ.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini