Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tak melayu hilang di dunia

7 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETEGANGAN di Malaysia memuncak lagi. Sejak Selasa malam (27/10) polisi telah menangkap 91 tokoh oposisi yang dituduh mengocok pertentangan rasial -- yang memang sudah tajam itu. Mungkin akan ada lagi yang dikerpus. Sementara, empat surat kabar diberangus. Sebelumnya, di Kuala Lumpur, seorang tentara menembak mati seorang penduduk keturunan Cina. Klimaks ini, setelah Penang kembali jadi berita hangat, tiga pekan lalu. Empat belas guru yang tak bisa berbahasa Mandarin diangkat pemerintah sebagai guru kepala di Sekolah Rendah Jenis Kebangsaan Cina (SRJKC). Lalu, sekitar 20 ribu murid di sana mogok belajar tiga hari, karena mereka hanya mau menerima guru-guru yang mampu berbahasa Cina. Warisan penjajah Inggris dalam "politik berbahasa" untuk kalangan Melayu, Cina, dan India, kini, bumerang bagi pemerintah. Bila satu diunggulkan, ada yang harus dilenyapkan. Sedangkan slogan "bahasa itu jiwa bangsa" pilihannya memang bahasa Melayu -- bukan bahasa dari etnis lain. Itulah yang ditolak keturunan Cina di Penang. Kemudian mereka memperalat anak-anaknya untuk mogok, menentang keputusan Menteri Pengajaran Anwar Ibrahim -- juga asal Penang dan bekas pimpinan ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia). Pengangkatan guru-guru tadi berkait dengan pengukuhan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, di sekolah-sekolah, yang makin digalakkan. Posisi etnis Cina bukan hanya berpengaruh di Pulau Pinang saja, tapi merebak ke negara bagian lain. Apalagi muasal bertebarnya keturunan Cina di Malaya pada pertengahan abad ke-18, memang melalui Penang, ketika di Tanah Semenanjung baru dibuka tambang timah dan perkebunan karet. Scbelum ditampung di pusat-pusat kerja tersebut, keturunan Cina itu, yang datang dari Tiongkok via Hong Kong dan Siam, lebih dahulu dikonsentrasikan di Pulau Pinang, yang luasnya 277 km2. Dalam waktu bersamaan menyusul orang Tamil dari India, yang juga mengadu nasib sebagai buruh tambang dan perkebunan. Pada 1867, masyarakat keturunan Cina di Penang melakukan pemberontakan. Gerombolan ini menyebut dirinya "Tong-Peng-Kong Society". Mereka mengibarkan bendera dengan simbol Dewa Perang Cina, Kwan Kung, bermarkas di Ghee Hin. Sedangkan markas bawah tanahnya di Jalan Chuvut, Penang. Syarat sebagai anggota perkumpulan harus lebih dahulu minum darah manusia. Bila mati, mereka tak boleh dikuburkan di makam yang pernah seagama, tetapi mayatnya boleh dibakar. Harian berbahasa Inggris, Penang Gazette, pada 4 Agustus 1867 menyiarkan, komplotan itu berontak karena ingin menguasai pulau strategis ini untuk dijadikan sarang lanun. Inggris yang sudah menyewa Penang dari Sultan Kedah -- 6 ribu ringgit setahun, untuk pangkalan dagangnya -- cepat menggulung pemberontakan tersebut. Setelah huru-hara padam, dibuatlah perjanjian antara Sultan dan penguasa Serikat Dagang India Timur (milik Inggris) yang berpangkalan di Madras, India. Isinya: menjaga keselamatan Sultan Kedah, terutama melawan serangan Raja Ligor Chauphaya dari Siam, di utara. Itu adalah lanjutan perjanjian antara Sultan Abdullah Tajuddin Halimsyah dan tokoh Serikat Dagang India Timur, Francis Light pada 1786. Setelah perjanjian itu diteken, Light menabalkan Pulau Pinang menjadi Prince of Wales Island, dan kawasan permukiman awak Inggris di situ diberi nama George Town -- sebagai penghormatan kepada Pangeran Wales, yang kemudian dinobatkan menjadi Raja George IV. Inggris menguasai Pulau Pinang dari 1826 hingga 1964. Ini sama seperti terhadap Singapura dan Melaka yang tak pernah lagi punya sultan -- setelah Mahmudsyah dikejar Portugis dan mangkat di Kampar. Penguasaan di bawah satu atap ini tercantum dalam The Straits Settlement. Sejak 1948, Pulau Pinang -- seperti juga Melaka merupakan "negara bagian" dalam Federasi Malaya (sebelum merdeka, 31 Agustus 1957, dan menjadi Malaysia setelah bergabung dengan Singapura, kemudian pada 1965 berpisah lagi). Pinang juga disebut Pulau Mutiara. Kota pelabuhan ini adalah pusat perdagangan di utara Tanah Semenanjung, dan keturunan Cina menguasai kehidupan perekonomian. Sedangkan keturunan Melayu sama sekali tak berkutik. Penduduk pulau ini sekarang lebih dari 270 ribu, dengan mayoritas Cina. Antara 1957 dan 1967 ada kerusuhan yang berbau rasial yang digerakkan dari Penang, tetapi mara di Pangkor (Perak) dan Bukit Mertajam. Pada 1967, sumbu itu pernah pula disundut Partai Buruh hingga menyeberang ke pelabuhan ferry Butterworth. Alasan protes: devaluasi ringgit. Karena bibit "pemberontakan" memang sudah tertanam, tak heran bila anak-anak yang belum selayaknya "berpolitik" berani mogok memprotes keputusan seorang menteri. Pemogokan ini seperti "sambungan" adegan akhir 1985. Ketika itu Ketua Menteri Khor Gark Kim mengeluarkan pengumuman dalam bahasa Inggris dan Cina, untuk mengadakan "pesta budaya" pada 1986. Khor, bak menantang arus: sembari mengabaikan bahasa Meayu, bermaksud mengenang 200 tahun hari jadi Penang yang, katanya, dibangun Light pada 11 Agustus 1786. Kapten kelahiran Suffolk, Inggris, ini meninggal di Penang pada 21 Oktobcr 1794, dalam usia 54 tahun. Keturunan Cina di Penang sering diibaratkan si kuda hitam: menjadi test case, yang kerap merisaukan Kuala Lumpur. Di Penang, para etnis Cina selain tetap tak peduli, sebagai perantau di tanah yang baru, mereka seperti tak pernah merasa "jadi" Melayu. Penang adalah sebuah "cermin" yang selalu jadi ganjalan tumbuhnya semangat dan cita-cita. Di negara tetangga ini, soal multirasial belum juga berakhir -- mengingat kekuatan etnis Melayu-Cina yang nyaris berimbang itu. Selain itu, sikap saling curiga masih melekat di tengah 15,8 juta penduduk Malaysia dengan perbandingan 6,05 juta Melayu dan lebih dari 4 juta Cina. Itulah di antara "dilema Melayu", yang kemudian jadi judul buku PM Mahathir sendiri. Buku yang ditulis sewaktu ia di Singapura itu dilarang beredar ketika "Bapa Bangsa" Tunku Abdul Rahman masih perdana menteri. "Bapa Bangsa" kemudian mengundurkan diri sebagai perdana menteri (digantikan Tun Razak) setelah pecah peristiwa rasial 13 Mei 1969 di Kuala Lumpur, yang menelan banyak korban. Ketika itu, keturunan Cina memang menjadi-jadi tingkahnya. Mereka, selain mengejek polisi, juga menuding, "Ini negeri bukan Melayu punya, kita mahu halau semua Melayu." Mahathir, atau siapa saja, tak ingin kejadian itu terulang. Sebagai menteri dalam negeri, ia bertindak cepat. Sembari di antaranya mengingatkan kasus Penang itu, di Dewan Rakyat, Rabu kemarin, ia menilai situasi di negaranya kini sangat rawan. Sedangkan doktrin "Rukun Negara" yang dikibarkan selama ini, tampaknya, memang masih tumpul menggalang persatuan bangsa. Malah kini pihak pribumi -- yang telah bangkit itu -- bersiteguh pula pada kata-kata peninggalan Laksamana Hang Tuah, "Tak Melayu hilang di dunia."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus