Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Waktunya Guru Jadi Murid

Ribuan guru di Jakarta mendapat nilai merah saat mengerjakan soal muridnya. Mereka harus kembali disekolahkan.

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI memang cuma kuis. Pekan lalu, di televisi, tiga orang peserta, semuanya guru fisika sekolah menengah umum di Jakarta, diberi empat pertanyaan kuis seputar ilmu pasti itu. Ternyata, cuma satu pertanyaan yang dijawab dengan benar. Selebihnya, "Coba kita tanya kepada Galileo," kata pembawa acara kuis populer itu ketika sang guru menjawab salah. Tak adil rasanya mengukur mutu guru dari empat pertanyaan kuis itu. Tapi penelitian Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Pendidikan DKI Jakarta membuktikan bahwa mutu guru kita masih jauh dari memadai. Sejak November dua tahun lalu, Kanwil DKI mengadakan uji pemahaman ilmu dan kurikulum untuk 3.000 guru SMU dari berbagai disiplin ilmu di Jakarta. Hasilnya, dari 421 guru fisika yang diberi soal fisika, lebih dari 90 persen mendapat nilai di bawah lima. Kemudian, dari 411 guru kimia, 81 persen nilainya di bawah empat. Angka yang hampir sama terjadi pada seribu guru biologi dan matematika. Soal apa yang disodorkan kepada mereka? Soal ujian sarjana atau master? Tidak juga. Para guru itu disuruh mengerjakan soal ujian evaluasi belajar tahap akhir nasional?dikenal populer sebagai ebtanas?untuk murid SMU. Hanya angka dalam soal yang diganti-ganti. Di sekolah menengah kejuruan (SMK), kejadiannya serupa. Awalnya, Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan, Gatot Hari Priowirjanto, ingin meningkatkan kemampuan siswa SMK berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Untuk itu, guru-guru bahasa Inggris perlu dilatih lebih dulu. Sebelum mengikuti pelatihan, mereka harus mengikuti test of English for international communication (TOEIC). Sedangkan siswa diberi soal yang sama. Sama halnya dengan di SMU, ternyata dari 128 guru bahasa Inggris, lebih dari separuhnya mendapat skor di bawah 600. Ironisnya, skor ini hampir sama dengan rata-rata nilai yang dicapai siswa. Memang sebagian siswa pernah mengikuti kursus bahasa Inggris di luar sekolah. Namun, menurut Yayuk, siswi kelas tiga SMK Negeri 8, banyak temannya yang hanya belajar bahasa asing dari sekolah. Rismauli, guru bahasa Inggris SMK Negeri 8 Jakarta, mempersalahkan sistem yang dipakai dalam tes. Pengukuran yang hanya melalui tes mendengarkan dan membaca (listening and reading) membuat nilai guru jatuh. "Kami (guru) rata-rata sudah tua, jadi pendengaran sudah menurun," kata Rismauli membela korpsnya. Boleh jadi dampak mundurnya mutu guru ini bisa dijelaskan dengan melihat menurunnya nilai ebtanas siswa di Jakarta tiga tahun terakhir. Nilai rata-rata ebtanas siswa SMU di Jakarta terus merah. Rata-rata nilai pelajaran matematika, fisika, dan biologi hanya berkisar di angka empat. Barangkali ini juga yang membuat lembaga kursus dan kelompok studi di luar sekolah menjamur di Jakarta. Apa yang dilakukan pemerintah? Sejak tahun lalu, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan mulai mendidik kembali tenaga pengajarnya, terutama guru bahasa Inggris. Mereka mendapat latihan di berbagai pusat pelatihan guru (PPG) di Jakarta dan Jawa Barat. Pimpinan Kanwil Departemen Pendidikan DKI Jakarta sejak Oktober lalu juga mengirimkan guru-guru fisika untuk dididik oleh Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI). Dalam tiga minggu, nilai rata-rata mereka meningkat. Sebelum mengikuti pendidikan, hasil tes 28 guru fisika menunjukkan sembilan orang guru mendapat nilai nol dan hanya dua orang yang nilainya di atas lima. Seusai pelatihan, nilai rata-ratanya meningkat hingga di atas lima. Lumayanlah. Rencananya, akhir bulan ini, guru yang masih belum mengikuti program pendidikan akan direparasi. "Sekitar 2.500 guru akan kita sekolahkan kembali," kata Darsana Setiawan, Kepala Seksi Kurikulum di Kanwil Departemen Pendidikan Jakarta. Menurut Darsana, peningkatan kualitas guru sudah mendesak. Pada saat otonomi sekolah nanti, orang tua berhak ikut menentukan kebijakan sekolah. "Kalau ada guru yang rendah kualitasnya, bisa-bisa orang tua menolak mereka mengajar anaknya," kata Darsana. Karena itu, guru yang nilainya jelek akan disekolahkan lagi agar tak ketinggalan dari muridnya?apalagi jika sang murid mampu membayar mahal untuk kursus apa saja. Ini penting agar sang murid tak perlu bertanya kepada Galileo. Agung Rulianto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus