Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sang Guru, yang Makin Merana

Guru semakin tak berwibawa. Kini, di depan kelas pun mereka kalah pintar dengan muridnya.

4 Februari 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang harus dikatakan lagi jika negeri ini belum berhasil mengangkat derajat, apalagi kehormatan, seorang guru? Kemuraman mereka tak beranjak jauh dari lagu Oemar Bakri, yang diciptakan penyanyi Iwan Fals bertahun-tahun silam. Di pedesaan, mereka datang ke sekolah dengan naik sepeda butut, sementara murid-muridnya sudah naik sepeda motor. Di perkotaan, sang guru naik-turun angkutan kota, sementara muridnya diantar pakai mobil mewah. Pakaiannya sederhana atau sedikit lusuh, membawa map, dan wajahnya kuyu. Penghasilan sang guru, semua orang tahu, sangat kecil. Dulu, di masa negeri ini disebut Orde Baru, penghasilan yang kecil itu masih digerogoti oleh berbagai pungutan, baik resmi, setengah resmi, maupun liar?semisal membeli kalender wajib. Untuk menghibur mereka, diciptakan sebuah lagu, Pahlawan tanpa Tanda Jasa. Sekarang, ketika negeri ini katanya menuju era reformasi, nasib mereka belum terangkat benar. Kalaupun di desa sudah banyak guru yang meninggalkan sepeda bututnya lalu menggantinya dengan sepeda motor, harap maklum, itulah semangat "dwifungsi" yang mereka sandang: siang mengajar, malam menjadi pengojek sepeda motor. Uniknya, kepada merekalah kita menyerahkan anak-anak negeri ini untuk menjadi pintar, bijaksana, cerdik, cendekia, dan sejenisnya. Lalu, kepada Pak Guru yang berbaju lusuh dengan bermuka kuyu itulah kita meminta pertanggungjawaban kenapa mutu pendidikan kita saat ini amburadul. Dengan gaji yang tidak bisa mengejar kebutuhan hidup minimal, para guru tak bisa lagi meningkatkan wawasannya. Mereka jelas tak bisa membeli buku untuk menggandakan ilmunya agar bisa diberikan kepada murid-muridnya. Mereka hanya menggantungkan buku di perpustakaan sekolah, atau kalau ingin maju, mereka menunggu kesempatan untuk "disekolahkan lagi" oleh instansinya. Tanpa fasilitas dari luar, sulit bagi seorang guru saat ini untuk menambah ilmu, kecuali barangkali bagi guru-guru di sekolah swasta, yang memang bernasib lebih mujur. Karena itu, sebenarnya tak mengherankan jika mutu pendidikan di pedesaan, apalagi di daerah terpencil, merosot tajam. Dan juga sangat tidak mengherankan jika guru di perkotaan kalah pintar dengan muridnya sendiri (lihat rubrik Pendidikan). Sang murid bisa menambah ilmunya di luar jam pelajaran resmi. Kursus dan bimbingan belajar menjamur di kota-kota. Sang murid, yang orang tuanya mampu, pun dengan mudah mengakses "pelajaran tambahan" lewat buku-buku, majalah, atau bahkan melalui media internet. Sekolah-sekolah swasta ataupun yang kini disebutkan sekolah favorit diserbu para orang tua murid karena di situ berkumpul guru yang memang layak "digugu" dan "ditiru", bukan guru yang malam harinya menjadi pengojek. Menteri Pendidikan Nasional harus segera membenahi masalah ini. Tak usah dengan teori yang berbelit atau pembuatan kurikulum yang terus diseminarkan, tetapi perbaiki dulu nasib Oemar Bakri-Oemar Bakri yang berdiri di depan kelas. Selain kebutuhan perutnya diselesaikan, otak sang guru ibarat baterai, yang perlu secara berkala di-charge.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus