CAKRAWALA dunia usaha, yang tertutup mendung, tiba-tiba berkilat sekejap. Ada petir menyambar, menggunturkan janji BPPN untuk menalangi utang Grup Sinar Mas di Bank Internasional Indonesia (BII) dengan pola pertukaran aset atau asset swap. Para pengamat, anggota DPR, dan kalangan pers segera menyambut "petir" itu dengan kecaman bertubi-tubi, mirip hujan deras yang tercurah ke bumi.
Masalahnya, apakah reaksi itu berlebihan? Kalau ya, mengapa sampai berlebihan? Bukankah ketidaksanggupan Grup Sinar Mas untuk membayar utangnya sudah terendus sejak tahun lalu? Bukankah kelompok usaha yang pernah disanjung-sanjung itu ternyata sama persis dengan konglomerat lain, yang berani utang tapi tak mampu bayar? Kebobrokan Sinar Mas bahkan menjadi kian lengkap ketika akhir pekan lalu, anak perusahaannya, PT Tjiwi Kimia, dinyatakan default (gagal bayar) oleh Standard & Poor's. Dalam waktu dekat, anak perusahaannya yang lain, Asia Pulp & Paper?berkedudukan di Singapura?diperkirakan akan mengalami nasib yang sama.
Ini agaknya dipicu oleh reaksi keras atas asset swap yang dianggap kontroversial. BPPN menegaskan itu bukan bailout, tapi kalangan DPR sulit menerimanya sebagai bukan bailout. Di pihak lain, masyarakat kecewa kepada Sinar Mas. Konglomerat yang beberapa anak perusahaannya sudah masuk bursa ini telah tidak berhati-hati mengelola utang. Grup ini juga tidak betul-betul menghargai pemegang saham publik yang ikut membeli sahamnya?25 persen saham BII, misalnya, dikuasai publik. Kalaupun mereka tak diberi dividen, minimal diberi rasa aman?misalnya dengan tidak berutang secara jorjoran, lalu default. Dan jangan lupa, saham BII berbulan-bulan dihargai hanya Rp 50 per unit. Tentu saja pemegang saham publik?di antaranya banyak pemegang saham minoritas?hanya gigit jari. Uang mereka menguap, nilainya terpangkas tuntas.
Tapi rakyat yang bukan pemegang saham juga terimbas. Kalau utang macet Sinar Mas ke BII akhirnya diatasi dengan pertukaran aset?oleh BPPN, utang ini ditukar dengan obligasi?ujung-ujungnya berpotensi menggerogoti anggaran negara. Dalam implementasinya, asset swap secara tak langsung mengurangi jatah rakyat dalam porsi anggaran karena teralihkan ke bunga obligasi. Risiko seperti inilah yang dicemaskan berbagai kalangan.
Risiko lain yang juga dikhawatirkan, pemerintah sebagai pemilik 57 persen saham BII mungkin tak akan berhasil menarik seluruh uangnya kembali, terutama karena nilai aset Sinar Mas sudah anjlok. Sempat pula dikhawatirkan bahwa pemerintah juga bisa diusik oleh kreditor Sinar Mas di mancanegara (utang grup ini kepada pihak asing berjumlah US$ 12 miliar-13 miliar atau sekitar Rp 100 triliun). Setidaknya, pemerintah mungkin akan berhadapan dengan para kreditor asing dalam memperebutkan aset-aset Sinar Mas tersebut.
Kendati asset swap belum final dan bukan satu-satunya opsi, berbagai risiko itu dikemukakan karena perilaku BPPN yang tak jelas dalam menyikapi para konglomerat. Padahal, seharusnya berani bersikap lugas walau mungkin terasa pahit. Sikap pahit dan lugas memang tak dikenal di BPPN. Formula IMPA untuk menyelesaikan kredit macet Sinar Mas di BII membuktikan hal itu. Juga penilaian bahwa kredit Sinar Mas di BII tergolong utang lancar, padahal default di depan mata, sungguh-sungguh mengherankan. Antisipasi BPPN terhadap goyahnya bisnis Sinar Mas?sejak tahun 2000?bahkan nyaris tak ada. Apalagi berinisiatif menegur, agar aset dijual supaya tidak default. Kini semua terlambat, dan tak banyak lagi yang bisa dilakukan.
Namun, masih ada yang menyarankan agar utang Sinar Mas ke pemerintah dibayar secara tunai (cash settlement). Ini usul yang baik, yang mudah dikatakan, tapi mustahil direalisasikan. Jika Sinar Mas berperilaku seperti konglomerat yang lain, ujung-ujungnya pemerintah juga yang harus mengais-ngais aset yang tersisa, yang isinya barangkali sampah belaka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini