Dengarkan kisah horor ini. Mereka anak-anak usia belasan tahun yang segar yang seharusnya tengah menyaksikan film Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, sibuk mengerahkan tenaga untuk pertandingan bola basket dan belajar untuk tes matematika, atau tengah terkejut dengan seluruh perubahan tubuhnya. Mereka ada pada usia menjelang remaja, ketika seharusnya hak dalam hidupnya dilindungi oleh orang tua dan negara.
Syahdan di sebuah pojok Jakarta bernama Menteng Atas, anak-anak perempuan yang masih mengenakan seragam sekolah itu ternyata mengisi siang hari dengan ?bekerja? memenuhi hasrat para lelaki tua. Seorang germo, ternyata ibu dari dua orang anak, menjual mereka kepada para lelaki dengan justifikasi bahwa anak-anak remaja berusia 15 tahun itu memang ?dasar gatal? dan ?tidak berteriak? ketika ditawarkan bergabung dalam proyek ?Cara Mudah Mencari Uang? (baca rubrik Kriminalitas: Nestapa dari Menteng Atas).
Para germo dan lelaki penggemar anak-anak ini berdalih bahwa anak-anak sekolah menengah itu melakukan segalanya dengan ?penuh kesadaran? dan atas dasar ?mau sama mau.? Ini problem klasik. Ini fenomena yang tidak hanya memprihatinkan, tapi juga mengerikan. Ini bukan hanya perkara perilaku seksual yang menyimpang, melainkan tindakan kriminal yang mematikan. Mereka, anak-anak itu, ada pada usia curious, ingin tahu, ingin serba merasakan dunia seksualitas yang begitu asing dan begitu penuh tanda tanya. Para lelaki dewasa memanfaatkan ini. Mereka memanipulasi anak-anak remaja ini untuk bersedia ke sebuah dunia gelap, dunia yang kemudian mematikan jiwa.
Para germo dan para pengumbar nafsu ini seolah menganggap, karena usia anak-anak itu sudah di atas 14 tahun, sudah tumbuh dan berkembang seperti wanita dewasa, ?wajar dan normal? bagi mereka untuk bertransaksi dengan anak-anak remaja itu atas nama kepuasan seksual. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 1, yang disebut anak-anak adalah mereka yang belum berusia 18 tahun. Implikasinya, mereka yang belum berusia 18 tahun berhak dilindungi bukan saja oleh orang tua dan keluarganya, tapi juga oleh negara.
Menurut majalah The Economist, di penjara-penjara Eropa, para pedofil, pemerkosa anak, dan pemakai pelacur anak lazimnya dihukum penjara hingga puluhan tahun lamanya. Dan lazimnya pula para pelaku kejahatan seksual ini bunuh diri di penjara. Mengapa? Para narapidana punya ?kode etik? sendiri. Mereka yang dipenjarakan karena membunuh, mencuri, atau merampok menganggap kejahatan seksual terhadap anak-anak adalah tindakan kriminalitas yang tak terampunkan.
Di Indonesia, para pelaku kejahatan seksual masih bisa menyeringai. Tak jarang mereka hanya dijerat oleh Pasal 297 KUHP, yang memberikan hukuman penjara maksimal enam tahun, yakni pasal yang mempersoalkan perdagangan perempuan. Padahal seharusnya mereka dijerat oleh Pasal 88 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang bisa menghukum pelaku kejahatan seksual 10 tahun penjara.
Hukuman maksimal itu pun sebetulnya masih tak sebanding dengan jiwa anak-anak ini, yang sudah habis tandas digerayangi. Para polisi dan jaksa harus bersekutu dengan para orang tua dan psikolog memerangi kejahatan seksual terhadap anak. Kita tidak hanya harus memerangi tindakannya, tapi juga memerangi sikap orang dewasa yang menganggap bahwa melakukan seks dengan anak-anak adalah sesuatu yang normal dan ?segar?.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini