Ada LSM pelat merah -- dibiayai pemerintah -- ada yang murni mengandalkan bantuan pihak swasta. Beberapa LSM mengurus masalah dampak lingkungan, tapi ada juga yang melulu mengurus soal perempuan saja. Ada yang sudah memiliki gedung sendiri dan beraset milyaran rupiah. Tapi umumnya pengurus bergaji kecil. PERKUMPULAN Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Inilah LSM tertua di Indonesia yang berpusat di Jakarta. Didirikan 23 Desember 1957, di tengah-tengah anggapan bahwa rakyat merupakan sumber daya perjuangan yang paling andal. Karena itu, pemerintah saat itu melihat rakyat lebih dari segi kuantitas, bukan kualitasnya. KB waktu itu masih dianggap aneh. Sehingga kegiatan PKBI, "terpaksa dilakukan dengan bergerilya," kata Abdullah Syarwani, Direktur Pelaksana PKBI, pada Nunik Iswardhani dari TEMPO. Gerak langkah LSM itu semakin mantap, karena kondisi kesehatan saat itu jauh dari memadai. "Tingkat kematian ibu (maternal mortality) begitu tinggi," ujar Abdullah mengenang. Kematian itu sering bersama-sama dengan bayinya. Inilah yang menggugah Sarwono Prawirohardjo, Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ketika itu, untuk memelopori berdirinya PKBI. Dengan dana terbatas, PKBI mengembangkan konsep Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) lewat klinik Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) di seluruh Indonesia. Sebagai LSM yang mendasarkan pada tugas-tugas advokasi, PKBI mengadakan penyuluhan dan pelayanan medis serta nonmedis. Misalnya melakukan seleksi terhadap alat kontrasepsi dan mengubah pandangan masyarakat bahwa seolah-olah hanya perempuan yang patut berhubungan dengan alat KB. Ini tak berarti bahwa PKBI dan pemerintah berada dalam satu konsep yang sama dalam melihat keluarga berencana. "KB menurut kami tak semata-mata bertujuan untuk mencapai penurunan demografis, melainkan lebih menekankan aspek human right-nya. Jadi, tidak masif, melainkan selektif. Menurut kami, KB adalah sebuah pilihan bebas. Bukan karena paksaan," ujar Abdullah, yang menolak bila PKBI disebut LSM pelat merah. Berdasarkan pandangan itu, PKBI lebih memilih istilah planned parenthood (keluarga yang bertanggung jawab) ketimbang family planning. Karena itu, dana yang diperoleh PKBI sejak awal sebagian besar diperoleh dari International Planned Parenthood Federation (IPPF) yang berpusat di London. Kini gedung kantor cabang PKBI bertebaran di beberapa kota. Asetnya di 21 provinsi antara 15 dan 20 milyar rupiah. Dan anggaran per tahun mencapai Rp 4 milyar. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sebuah gedung anggun bercat putih bertingkat dua, bekas milik Adam Malik, berdiri tegak di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Di gedung ini pada 1971 Adnan Buyung Nasution dan sejumlah pengacara idealis memprakarsai terbentuknya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) -- - lebih dikenal dengan LBH. Dari gedung yang ber-AC itu pula, para penasihat hukum, yang umumnya masih muda, memberikan bantuan hukum bagi masyarakat yang secara politis dan ekonomis terbilang lemah. Di kantor pusat dan di 13 kantor cabang YLBHI di 13 provinsi, orang-orang "lemah" mengadukan nasibnya. Misalnya, korban-korban penggusuran tanah, tukang becak yang diuber-uber, wanita yang digebuki suaminya, atau mereka yang dituduh melakukan tindak subversi. Mungkin karena itu, YLBHI pernah dituding memasuki wilayah politik praktis. Contohnya ketika Adnan Buyung Nasution yang membela para ketua dewan mahasiswa setelah Sidang Umum 1978. Waktu itu hubungan antara LBH dan pemerintah sempat renggang. Tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi. Kini, selain memberi bantuan hukum secara gratis terhadap perorangan, LBH semakin giat menggarap kasus-kasus publik yang menyentuh hati nurani semua lapisan masyarakat. Misalnya memperjuangkan nasib rakyat di Kedungombo, penduduk Dukuh Tapak yang tambaknya terkena pencemaran, dan sebelumnya kasus pencemaran Sungai Asahan. Lembaga ini bukan sumber duit bagi sarjana hukum yang ingin lekas kaya. Putaran roda LBH amat tergantung bantuan lembaga-lembaga lain. Antara lain dari NOVIB, Frederich Nieumann Stiftung (FNS), USAID, dan Frederich Ebert Stiftung (FES). Dulu, ketika Ali Sadikin menjabat Gubernur DKI, LBH memperoleh bantuan Rp 1 juta tiap tahun, tapi kemudian dihentikan ketika Tjokropranolo menggantikannya. Setiap tahun NOVIB memberi Rp 600-700 juta. Uang NOVIB pula yang dipergunakan untuk membeli kantor pusat di Jakarta, yang kabarnya lebih keren ketimbang kantor pusat NOVIB sendiri. Baru-baru ini Yayasan Persahabatan Indonesia-Kanada (Yapika) pun mengirim US$ 4 juta untuk empat LSM, termasuk Walhi dan YLBHI. Dan Walhi sendiri, selaku mitra LBH dalam masalah lingkungan, menyuntik Rp 5 juta setiap bulan. Belakangan LBH berniat cari duit sendiri. "Kami akan berusaha mengurangi ketergantungan itu dengan membentuk Dana Mitra Hukum," ujar Abdul Hakim Garuda Nusantara, Direktur YLBHI. Kalyanimitra Kaum lelaki Indonesia tampaknya harus semakin berhati-hati pada kaum perempuan. Di sebuah rumah kecil di Kramat Jati, Jakarta Timur, ada Kalyanimitra, kalau diterjemahkan berarti "sahabat baik". Lembaga swadaya masyarakat yang berdiri pada 1985 ini memproklamasikan diri sebagai pusat komunikasi dan informasi wanita. Lembaga ini menyuguhkan informasi tentang gerakan perempuan mancanegara untuk melibas kejumawaan lelaki. Juga memberikan petuah-petuah bagaimana menindak pria yang sontoloyo. Lihat saja, di dinding ruang tamu markas Kalyanimitra terpampang poster-poster patriotik yang umumnya dalam bahasa Inggris. Misalnya yang artinya kira-kira begini: Hentikan tindak kekerasan terhadap perempuan. Jadilah lelaki tulen, bukan tukang gertak. Jangan gebuk istrimu. Tindak kekerasan di rumah adalah kebrengsekan rumah tangga. Di bawah poster-poster itu tertera Women Crisis Centre, yang berpusat di London. Sebentar lagi, aktivis-aktivis Kalyanimitra yang didominasi wanita-wanita muda itu akan membikin poster sejenis dalam bahasa Indonesia. "Kami memang berangkat dari ide feminis. Tapi bukan female chauvinist," ujar Sita Aripurnami, salah seorang pendirinya. Maksudnya, persepsi perjuangan Kalyanimitra adalah kepedulian terhadap ketidakadilan yang dialami kaum wanita, bukan untuk menekuk batang leher pria di bawah telapak kaki perempuan. Itu sebabnya, isu yang diangkat lebih banyak persoalan wanita kelas bawah: pelacur, pembantu rumah tangga, buruh wanita, dan mbok bakul. Kalyanimitra dibiayai NGO luar negeri. Kendati kantornya mungil, fasilitasnya cukup lengkap. Ada dua buah personal computer, mesin ketik listrik, pesawat telepon, dan perpustakaan dengan empat ribu buku koleksi. Pusat Informasi dan Pengelolaan Hutan Lingkungan Indonesia (PIPLI) Berkantor di Jalan Kramat, Jakarta Pusat, di gedung milik sendiri seharga Rp 200 juta, PIPLI didirikan pada 1988. Sebagai LSM yang memperhatikan masalah-masalah lingkungan, PIPLI memberikan informasi tentang cara pengelolaan lingkungan hidup kepada para pengusaha. "Agar mereka juga memikirkan kerusakan akibat kegiatan usahanya," ujar Ilhami Elias, Ketua Pelaksana PIPLI. Artinya selain menghitung untung, pengusaha juga harus menjaga kelestarian lingkungan. Mungkin PIPLI termasuk segelintir LSM yang tak tergoda bantuan NGO luar negeri. "Kami tidak mau menerima dana asing yang sifatnya untuk memaki-maki Indonesia," ujar Ilhami, sambil mengutuk aksi boikot sejumlah LSM terhadap sejumlah perusahaan, baru-baru ini. Biasanya, PIPLI akan memonitor setiap pencemaran yang dilaporkan masyarakat maupun perorangan. Setelah diteliti -- antara lain dengan bantuan laboratorium -- PIPLI akan mendatangi perusahaan yang diduga menjadi biang keroknya, dan mencoba selain menyadarkan yang bersangkutan, juga memberi tahu cara penanggulangannya. Baru dilaporkan ke pemda, bila si pabrik tak mampu mengatasi pencemaran itu, atau bila sama sekali tak mempedulikan saran-sarannya. Beranggotakan sekitar 200, terdiri dari perusahaan (Pupuk ASEAN, Pusri, Pupuk Kal-Tim), dan perorangan, PIPLI Juni tahun ini merencanakan akan memberikan plakat Pengusaha Berwawasan Lingkungan dengan nama Sahwali Award. Dari perusahaan-perusahaan itulah LSM ini memperoleh dana untuk menjalankan aktivitasnya yang makan ongkos Rp 7 juta per bulannya, termasuk gaji karyawan. Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) Ini juga jenis LSM yang mesra dengan pengusaha. Berkantor di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta. Pendirinya saja Bob Hasan, raja perkayuan Indonesia, yang sampai sekarang masih menjadi Ketua MPI. Ketika dibentuk pada 1974, namanya Masyarakat Perkayuan Indonesia. Baru pada 1983 diubah menjadi Masyarakat Perhutanan Indonesia, untuk menunjukkan bahwa sembilan anggotanya tergolong perusahaan yang tak melupakan kelestarian hutan. Memang anggota MPI merupakan perusahaan yang berurusan dengan tetumbuhan hutan. Antara lain Asosiasi Pengusaha Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) yang membawahkan sekitar 540 pengusaha HPH, Asosiasi Kilang Kayu Terpadu Indonesia (Apkindo), Asosiasi Rotan dan Permebelan Indonesia (ARPI). Perusahaan-perusahaan inilah yang menyokong dana bagi kegiatan-kegiatan MPI. Yakni, dengan cara membayar iuran dengan perhitungan tertentu. Misalnya untuk satu kubik kayu yang ditebang, APHI harus menyetor US$ 10 sen ke kas MPI. Dari dana yang terkumpul, MPI menyelenggarakan penghijauan lahan kering, bina desa, konservasi hutan, dan proyek-proyek "balas budi" terhadap masyarakat di sekitar lokasi kegiatan sebuah perusahaan. Misalnya, baru-baru ini MPI menanam pohon johar dan ekaliptus di atas 40 ha lahan kering di Palu, Sulawesi Tengah. Ribuan hektare lahan di Balikpapan juga dihijaukan. Lalu, sekolah, rumah sakit, dan masjid, dibangun di sekitar lokasi HPH. Pokoknya, MPI merupakan LSM untuk mengangkat citra pengusaha. Dan Hendro Prastowo, salah seorang pengurus MPI, tidak menolak bila MPI dikatakan membela kepentingan HPH. "Tapi dalam arti secara menyeluruh," katanya pada Siti Nurbaiti dari TEMPO. Maksudnya, selain tidak memojokkan HPH, juga tidak melupakan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan rakyat di sekitarnya. Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya Di ujung timur Indonesia, ia berdiri dengan tujuan sama seperti teman-temannya di bagian barat. Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-Irja) didirikan 8 Desember 1984, terdiri dari individu asal pemerintah, gereja, dan universitas. Selain melayani masyarakat desa, mereka juga menyediakan informasi untuk LSM, mengadakan penelitian terapan, dan menumbuhkan LSM baru. Untuk kegiatannya, YPMD-Irja menerbitkan buletin dua bulanan, Kabar dari Kampung (KdK). Buletin yang dicetuskan oleh direktur pertama YPMD-Irja George Junus Aditjondro bertujuan mengangkat pelbagai masalah yang ada di sana, terutama masalah lingkungan hidup, migran, dan hak orang kampung. Tapi, gebrakan ini tidak berkenan di hati pemda. Juli 1986, KdK dilarang terbit oleh Kakanwil Penerangan Irian Jaya karena dinilai menghasut masyarakat. Karena munculnya pelbagai surat rekomendasi dan dukungan terhadap buletin itu, dari dalam dan luar negeri -- termasuk Gubernur Izaac Hindom dan Asisten Menteri Negara KLH Alwi Dahlan -- KdK bisa nongol kembali setahun kemudian. Oplah tiap terbit 750 eksemplar yang disebar di Irian, provinsi lain, dan luar negeri. "YPMD tidak menjual informasi pada pers asing. Informasi kami biasanya digunakan sebagai alat politik yang merugikan kami. Laporan penelitian hanya dikutip sepenggal lalu dianalisa sehingga cenderung merugikan pemda," kata direktur pelaksana YPMD-Irja Anthonius A. Rahawarin. Dana yang didapat dari luar negeri cukup besar. Bantuan rutin dari USAID tahun 1989/1991 sebesar Rp 300 juta, dan dari CIDA tahun 1990/1991 lebih dari Rp 65 juta. Yayasan Mandiri LSM ini didirikan oleh 22 mahasiswa lTB, yang melakukan aksi mogok kuliah selama dua bulan, tahun 1978. Nah, waktu selama mogok itu mereka pergunakan untuk melihat pesantren di Jawa dan Madura dan akhirnya mereka sepakat membentuk LSM dengan kegiatan penerapan teknologi tepat guna untuk masyarakat desa. Proyek pertama adalah pembangunan instalasi pompa ram hidraulik untuk penyediaan air bersih di Desa Pabelan, Magelang. Bersama dengan beberapa LSM lain, Mandiri juga memperkenalkan pompa tali untuk air bersih pada desa-desa di Sumatera Selatan, Bali, Kalimantan, dan Irian Jaya. Bahkan, dengan UNHCR, tahun 1985 LSM ini menyurvei kualitas air di penampungan pengungsi Vietnam di Pulau Galang. Penerapan teknologi itu, menurut direktur eksekutif Yayasan Mandiri Iskandar B. Kuntoadji, hanya sebagai media untuk berdialog dengan masyarakat sehingga mereka sadar akan potensi dirinya. "Kami nggak mau masyarakat jadi bergantung pada kami," tutur Iskandar, yang melepaskan pekerjaannya di Bakrie Brothers. Misalnya, saat ini mereka sedang membangun jalan dan kincir angin tenaga listrik di Desa Padasuka, Cianjur. Lalu, secara swadaya masyarakat membangun dan mengelola pemancar radio sendiri. Selain dana dari dalam negeri, Mandiri juga menerima dari luar negeri. Salah satunya, Swiss Contact, memberi dana Rp 300 juta untuk pembinaan 50 bengkel kecil di Bandung selama tiga tahun. Sementara itu, terhadap keuangan LSM, sejak tiga tahun lalu, sudah dilakukan public audit. Sedangkan untuk para anggotanya, Mandiri juga memberikan imbalan yang cukup baik. Lembaga Penelitian, Pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Didirikan 1971, LP3ES bertujuan menampung ilmuwan-ilmuwan yang tidak terjun di pemerintahan. Itu sebabnya kegiatan utamanya adalah penerbitan buku teks (buku pegangan di lembaga pendidikan formal), buku-buku umum, dan majalah bulanan Prisma. "Idenya memang untuk membantu penyediaan buku teks bagi mahasiswa kita yang kemampuan bahasa Inggrisnya masih lemah. Juga untuk merangsang penulis-penulis kita," kata Za'ran Ngadimin, Wakil Direktur Keuangan LP3ES. Makanya, banyak buku terbitannya yang merupakan terjemahan buku-buku berbahasa asing. Karena tidak berorientasi pada laba, sejak 1971 hingga 1978, lembaga ini disubsidi sepenuhnya oleh Frederich Nieumann Stiftung (FNS). Dari bantuan tersebut, LP3ES mampu membeli kantor di Jalan S. Parman, Jakarta Barat, lengkap dengan peralatannya. Tetapi, setelah FNS menghentikan bantuannya -- entah karena apa -- LP3ES mencari dana sendiri dengan menjual buku, riset, dan jasa konsultasi. Di samping itu, LP3ES juga mengandalkan bantuan dari sejumlah lembaga luar negeri lainnya seperti Swiss Development Cooperation, USAID, Ford Foundation, dan Toyota Foundation. "Bentuknya program support yang nilainya paling rendah Rp 100 juta per program," kata Za'ran. Saat ini, kegiatannya meliputi penerbitan buku, penelitian, pengembangan pesantren, partisipasi (khusus di bidang irigasi), dan jasa konsultasi. Khusus untuk mengembangkan pesantren, pada waktu Dawam Rahardjo menjabat direktur, LP3ES membentuk Pusat Pengembangan Pesantren (P3M) yang disubsidi sepenuhnya oleh FNS. Penerbitan Prisma tidak lagi. Sebab, sejak Departemen Perdagangan mengeluarkan peraturan yang mengharuskan penerbitan majalah berada di bawah payung sebuah PT, Prisma berdiri sendiri. Tetapi, LP3ES masih memiliki saham di majalah ilmiah yang bergengsi itu. LP3ES menggaji karyawannya Rp 250 ribu hingga Rp 500 ribu. "Sudah termasuk berbagai tunjangan kesejahteraan," ujar Za'ran. Untuk editor buku tergantung negoisasi, sesuai dengan royalti yang disepakati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini