WALAU masih muda usia, "prestasi" LSM Indonesia umumnya diakui cukup hebat. Ada PKBI yang telah mengurus keluarga berencana, sebelum BKKBN lahir. Ada LP3ES yang berhasil menghimpun banyak pemikir dan terlibat dalam berbagai kegiatan termasuk menyumbang konsep-konsep pembangunan. Namun, yang belakangan membuat LSM di sini makin mencuat ke permukaan tentu saja adalah kasus-kasus yang memperoleh pemberitaan luas media massa. Beberapa di antaranya malah diberitakan sampai ke luar negeri. Dalam presentasi pada The Southeast Asia Regional Consultation on People's Participation in Environmentally Sustainable Development Maret 1990, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menginventarisasi beberapa kasus tersebut. Yang terbesar dan dengungnya masih menyengat sampai kini mungkin kasus Kedungombo. Kasus ini merupakan kerja keroyokan banyak LSM. Dimulai dari kerja LBH Yogyakarta dengan Yayasan Bina Kesejahteraan Sosial Solo untuk membantu ribuan warga mendapat ganti rugi yang wajar, kasus ini kemudian melibatkan beberapa LSM dengan aksi yang berbeda-beda. Kelompok Solidaritas Korban Pembangunan Kedungombo, misalnya, mengangkat kasus dengan mengadakan aksi jalanan di beberapa kota. Kelompok yang terdiri dari mahasiswa pelbagai kota ini juga yang mengantar para penduduk "berani" menemui bupati, DPRD, dan DPR. Sedang budayawan Y.B. Mangunwijaya, yang tergabung dalam Panitia Dharma Karya bagi Anak-Anak Kedungombo, mencoba membantu dengan memberi perlengkapan dan menyelenggarakan pendidikan bagi anak-anak Kedungombo yang telantar. Hasilnya segera tampak. Tiap aksi yang dilakukan memperoleh liputan luas pers baik dalam maupun luar negeri. Gaung di mancanegara makin keras ketika aide memoire INGI dua tahun lalu mengecam penanganan kasus ini. Walau beberapa aksi dihalangi -- seperti penutupan kelompok belajar Romo Mangun -- kerja LSM ada yang berhasil. Sebagian penduduk diperbolehkan menempati tanah Perhutani tak jauh dari waduk. Tiga kasus tanah yang terjadi berturut-turut dan melibatkan banyak mahasiswa dan LSM, adalah tanah Badega, Cimacan dan Majalengka. Kemelut di Badega, Garut, Jawa Barat, terjadi di atas tanah seluas 498 hektare yang telah lama digarap 500 petani. Usaha petani untuk mendapat sertifikat hak milik sejak 1984 belum berhasil, tapi Juli 1986 permohonan hak guna usaha PTI Surya Andaka Mustika (SAM) dikabulkan. Ketika terjadi kerusakan di kebun teh PT SAM, 13 petani dituduh sebagai pelakunya, dan perkara berlanjut ke pengadilan. LBH Bandung turun tangan membantu petani yang diganjar hukuman kurungan 8-16 tahun, tapi di Pengadilan Tinggi tuduhan itu dibatalkan. Usaha para LSM-wan membantu petani dalam kasus Cimacan dan Majalengka terus berlanjut. Pertengahan Maret lalu mereka sibuk mengantar petani menemui wakil rakyat di DPR. Kasus Cimacan sebenarnya untuk sementara sudah berakhir dengan dikalahkannya petani di pengadilan melawan PT Bandung Asri Mulya (BAM). Kedua pihak terlibat konflik ketika Kepala Desa Cimacan tahun 1987 menyewakan tanah titisara di Kampung Rarahan pada perusahaan itu senilai Rp 90 juta selama 30 tahun. Lahan garapan 287 kk itu akan disulap jadi lapangan golf dan penduduk dipersilakan hengkang dengan ganti rugi Rp 30/m2. Konflik atas tanah seluas lebih dari 1.000 ha di Kecamatan Ligung, Majalengka, Jawa Barat, terjadi antara penduduk dan TNI AU. Tanah tersebut pada zaman pendudukan Jepang direbut, tapi penduduk mengambilnya kembali setelah Jepang kalah. Pada 1950 Komando Lapangan Udara Cibeureum menetapkan tanah itu sebagai Lapangan Udara Sugiri Sutani. Diantar para mahasiswa yang tergabung dalam Komite Solidaritas Mahasiswa untuk Pembebasan Tanah Rakyat Jatiwangi, Majalengka, mereka menghadap Mendagri dan DPR. Kerja LSM yang patut dicatat adalah kasus Indorayon. Dalam kasus ini, dua LSM, Walhi dan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), menggugat PT Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara dengan tuduhan pencemaran dan perusakan lingkungan. Walau gugatan ditolak, kasus ini merupakan langkah baru: hakim mengakui eksistensi Walhi sebagai warga masyarakat yang berhak menggugat PT IIU. Sebelum kasus ini naik ke pengadilan, gaung polemiknya amat nyata terdengar. Sampai-sampai, Menko Polkam Sudomo merasa perlu mengajak empat menteri dan puluhan wartawan meninjau pabrik berharga Rp 213 milyar itu. Kasus yang juga menggegerkan Jakarta terjadi tahun lalu di Teluk Bintuni, Irian Jaya. PT Bintuni Utama Murni Wood Industries tiba-tiba mendapat konsesi 137.000 ha di hutan bakau yang semula berstatus hutan lindung. Masalah yang ramai dibicarakan pers Jepang itu sampai ke Menteri KLH Emil Salim. Tim dari Departemen Kehutanan segera mengusut kasus itu, dan hasilnya segera tampak. Ada konsesi perusahaan itu yang dicabut, dan mereka juga harus membayar denda Rp 1,2 milyar. Masih banyak lagi kasus lain. Jangan dilupakan, misalnya, usaha gigih dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang selama bertahun-tahun berusaha melindungi konsumen dari ulah produsen yang seenaknya. Pertengahan November lalu, umpamanya, Pemerintah menarik peredaran semua obat diare yang mengandung loperamid hidroklorida berkat imbauan YLKI. Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini