Kesediaan para donor membantu LSM banyak tergantung tema proyek. Tak ada yang merasa mendikte mitra Indonesia. Yang terbesar USAID. MENARIK dana dari kantung donatur, gampang-gampang sulit. Tingkat persaingan antar-LSM lumayan tajam. Donor yang telah 41 tahun di Indonesia, USAID umpamanya, kebanjiran lebih dari 100 usul proyek, yang minta pembiayaan pada tahun anggaran berjalan. Baru sekitar 10% yang diluluskan, dibagikan kepada 10 LSM besar. Untung, banyak jalan menuju donor. Sebab, banyak lembaga asing yang punya tradisi menyalurkan bantuan ke Indonesia semacam USAID itu. Kalau mereka diteliti, statusnya macam-macam. USAID dan CIDA, misalnya, merupakan badan yang dibentuk oleh pemerintah Amerika dan Kanada untuk membantu pembiayaan program pembangunan, baik lewat lembaga pemerintah maupun LSM. Ada pula bantuan berasal dari swasta asing, seperti Yayasan Ford dan Rockefeller. Ada pula donor yang berbentuk LSM disebut PVO (Private Voluntary Organization), seperti Yayasan Asia (Amerika), NOVIB (Belanda), Oxfam (Inggris), FES (Jerman), dan PATH (Amerika). Di antara lembaga itu, USAID paling kondang kedermawanannya. Untuk 1991-1993, misalnya, ia menyumbang US$ 3,15 juta, atau sekitar Rp 6 milyar. Angka ini lebih besar dari sumbangan Yayasan Ford yang US$ 1 juta, dan Yayasan Asia yang rata-rata sekitar US$ 500 ribu setahun. Dan Oxfam tahun lalu mengklaim menyalurkan bantuan Rp 1,2 milyar. Diam-diam CIDA (Canadian International Development Agency) termasuk penyandang dana yang cukup potensial bagi LSM Indonesia. Akhir Maret lalu misalnya CIDA menyerahkan bantuan C$ 5,4 juta hampir Rp 8 milyar kepada 13 LSM, di antaranya Walhi, Bina Swadaya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Bantuan itu, menurut Sari Hasanudin, seorang staf CIDA di Jakarta, disalurkan lewat proyek-proyek yang lahir dari kerja sama 5 LSM Kanada dan 13 Indonesia. Ke-18 LSM dari kedua negara itu bernaung dalam wadah Yayasan Persahabatan Kanada-Indonesia (Yapika). Proyek-proyek mereka berjangka tiga tahun. Seperti halnya donatur yang lain, CIDA telah langganan jadi donatur LSM Indonesia. Sebelumnya, dia juga menggalang dengan LSM-LSM di daerah, seperti Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa (YPMD) yang beroperasi di Irian Jaya, dan Etadep di Tim-Tim. Dananya sekitar Rp 850 juta setahun. Kendati banyak donor yang buka kantor perwakilan di Indonesia, proyek tetap harus diperebutkan. LSM-LSM adu bagus membuat usul, yang mereka kirim ke kantor-kantor donatur. Alhasil, "Banyak yang terpaksa kami biarkan menumpuk, tanpa bisa kami layani," kata Gordon R. Hein, kepala perwakilan Yayasan Asia di Jakarta. Namun, bagi Zaim Saidi, Sekretaris Eksekutif Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), soal dana bantuan itu bisa disiasati. "Asal proposal kita kena dengan tema-tema yang disodorkan donatur, proyek kita bakal diluluskan," katanya. Jadi, tema proyek menentukan kesediaan donor untuk membiayainya. Ambil contoh, tema yang dipilih USAID untuk Indonesia pada 1991-93 ini: Pluralism, menyangkut soal demokratisasi dan keterbukaan. Untuk proyek-proyek pluralism yang dikerjakan LSM, USAID menyediakan dana sekitar Rp 6 milyar. Menyambut tema pluralism, YLKI menyiapkan usul, antara lain, penerbitan Warta Konsumen. Buletin ini sebetulnya telah lama dikeloni YLKI, tapi kondisinya "mati enggan hidup tak mau", gara-gara tak ada dana. Dengan majalah itu, kata Zaim, YLKI akan membangun suara alternatif, di luar suara resmi pemerintah, untuk kepentingan konsumen. Alhasil, bantuan US$ 100.000 mengalir dari kantung USAID ke YLKI. Tema-tema resmi memang digemari USAID. Pada 1988/90 misalnya, badan pemerintah AS ini menggelar tema intitution building. Mau tak mau LSM-LSM yang ingin mendapat dana dari USAID harus membuat usul proyek yang sejalan dengan tema yang telah digariskan. Namun, Zaim menolak jika dikatakan LSM disebut didikte oleh donatur. "Paling tidak, YLKI tak pernah merasa hanyut dalam tema-tema itu," katanya. Tema apa pun yang diputuskan USAID, YLKI merasa tetap bertahan pada mainstream-nya yang telah dipatok: membela konsumen. Dan untuk menghindari ketergantungan, YLKI berhubungan dengan sejumlah donatur sekaligus. Lagi pula, tak semua donatur memaksakan tema. "Kami tak pernah punya niat mendiktekan solusi gaya Amerika kepada problem Indonesia," tutur Gordon Hein kepada Leila S. Chudori dari TEMPO. Pihak Yayasan Asia, kata Gordon, hanya memberikan bantuan kalau memang diminta. Proyek yang paling sering dibiayai adalah program pendidikan, khususnya untuk eksponen LSM sendiri. LSM-LSM Kanada yang bergabung dalam Yapika pun tak merasa mendikte mitra Indonesianya. "Kami tak pernah berdebat soal tema dengan kawan-kawan di Indonesia," kata Mary Lindsay, dari LSM USC (Unity Service Cooperation) yang bermarkas di Vancouver. Bagi Mary, yang sudah pernah malang melintang di Indonesia, tak sulit menyatukan pendapat dengan rekan-rekannya di sini. "Bagi kami tema yang selalu cocok dengan Indonesia ialah memerangi kemiskinan," tutur Mary kepada koresponden TEMPO di Vancouver, Toeti Kakiailatu. Kalaupun ada perubahan prioritas dari tahun ke tahun, kata Mary, bukan gara-gara tema. "Tapi kami menyesuaikan dengan anggaran yang ada," tambahnya. Prinsip tak memaksakan tema, seperti dianut Yayasan Asia, barangkali merupakan hasil pengalamannya "menggarap" 27 negara di kawasan Asia Pasifik. LSM yang berpangkalan di San Francisco ini didirikan 37 tahun lalu. Dana yang disalurkan berasal dari pemerintah AS 50%, dan 50% lainnya dikumpulkan dari masyarakat. Dalil 50:50 itu rupanya berlaku pula bagi LSM Kanada. USC misalnya, tahun ini dapat pasokan CIDA C$ 300.000 (hampir Rp 500 juta) untuk proyek-proyeknya di Indonesia. Ini berarti dia harus memiliki C$ 300.000 pula sebagai dana pendamping. "Pokoknya setiap C$ 1 dari CIDA harus kami imbangi C$ 1 dari kantung sendiri," kata Linda Lindsay. Kendati tak persis harus 50:50, NOVIB pun mengalami hal sama. Setiap tahun NOVIB mampu menyumbang Rp 600-700 juta ke LBH, yang kemudian dibagi-bagikan kepada 13 kantor cabangnya di pelbagai provinsi. Tak syak lagi, NOVIB adalah penyandang dana terbesar bagi LBH. Selain gandrung bicara soal hak asasi manusia, NOVIB juga dicatat sebagai pemrakarsa pembentukan INGI. Yayasan asing lainnya yang juga aktif di Indonesia adalah Friedrich Ebert Stiftung (FES). FES ini bernaung di bawah Partai Sosial Demokrat (SPD) Jerman. Di Indonesia, ia berhubungan dengan banyak LSM, antara lain Walhi, Yayasan Hatta, ISWI, LBH, PMK-HKBP (Huria Kristen Batak. Protestan), dan Yayasan Tenaga Kerja Indonesia. Kehadiran LSM Oxfam (Oxford Famine and Relief Service) dari Inggris tak bisa diabaikan. Kendati tak sebesar USAID atau Yayasan Ford, dia punya hubungan luas dengan LSM-LSM di enam provinsi: Bengkulu, Sum-Sel, DKI, Ja-Teng, DIY, dan NTT. Oxfam yang berpangkalan di kota tua Oxford tak mengenal tema-tema atau kepentingan. "Pokoknya, asalkan proyeknya bermanfaat, layak, dan kami tertarik, ya kami bantu," kata Bonar Saragih, project officer perwakilan Oxfam di Jakarta. Oxfam punya sejarah unik. Dia didirikan 1948 untuk membantu korban Perang Dunia II di Yunani. Sejak awal dia berdikari dalam urusan dana, tak bergantung pada pemerintah Inggris. Toh dia sanggup berkembang. Kini dia punya donatur-donatur fanatik. Di pelbagai kota di Inggris, Oxfam punya 180 toko yang khusus menjual pakaian bekas hasil sumbangan donaturnya. Jangkauannya, 70 negara. Di antara penyandang dana, Yayasan Asia, Yayasan Ford, USAID, dan CIDA punya persamaan. Mereka rajin tak hanya membantu LSM, tetapi juga pemerintah negara setempat. CIDA, USAID, Yayasan Asia dan Ford, misalnya, telah banyak membantu pemerintah RI. Putut Trihusodo, Bambang Sujatmoko, Reza Rohadian (Jakarta), Ashari N. Krisna (Belanda), dan Andriyono K. Adhi (Jerman)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini