Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ragam

Tradisi Nyorog Betawi Menyambut Bulan Ramadan

Tradisi nyorog sudah ada sejak dulu. Orang Betawi zaman dahulu menjadikan tradisi nyorog sebagai pengingat untuk memasuki bulan Ramadan.

31 Maret 2022 | 09.20 WIB

Rumah adat Betawi merupakan lambang multikultural, yang merupakan perpaduan berbagai etnik di Jakarta. TEMPO/Bram Setiawan
Perbesar
Rumah adat Betawi merupakan lambang multikultural, yang merupakan perpaduan berbagai etnik di Jakarta. TEMPO/Bram Setiawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang bulan suci Ramadan masyarakat Betawi menjalankan tradisi Nyorog. Tradisi ini rutin dilakukan setiap tahun dan seolah tidak bisa ditinggalkan. Nyorog adalah cara orang Betawi menghormati orang tua, maupun sanak keluarga yang usianya jauh di atasnya.

Biasanya kalangan muda akan menghantarkan berbagai macam barang, termasuk makanan dan buah-buahan, beberapa hari menjelang masuknya hari puasa pertama. Laman Dinas Kebudayaan DKI Jakarta menulis beberapa bingkisan yang umum dibawa ke sanak saudara dan keluarga tua yakni kue-kue, bahan makanan mentah berupa gula, susu, kopi, sirup, beras, ikan bandeng dan daging kerbau, termasuk kuliner tradisional Betawi yang dimasukkan ke dalam rantang, misalnya saja gabus pucung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tradisi nyorog sudah ada sejak dulu. Orang Betawi zaman dahulu menjadikan tradisi nyorog sebagai pengingat untuk memasuki bulan Ramadan. Selain itu, nyorog juga dijadikan sebagai ajang silaturahmi dan saling bermaafan sebelum memasuki bulan puasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Bagi masyarakat Betawi, orang tua dan keluarga paling penting dan wajib untuk dihormati. Membawa sejumlah bingkisan, termasuk makanan menjadi salah satu sarana untuk mempererat tali silaturahmi yang lama terhalang jarak.

Saat Nyorog anak, ayah, dan ibu, maupun mertua berinteraksi dan bersantap bersama sembari saling memaafkan.

 

Menghormati Dewi Sri

Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan jurnal.uinsu.ac.id, menulis, dahulu, tradisi Nyorog identik dengan tradisi memberi sesajen kepada Dewi Sri sebagai simbol kemakmuran. Nyorog lalu disesuaikan dengan nilai Islam untuk menyambut bulan Ramadan. Sehingga Nyorog dikenal sebagai ajang silaturahmi.

Orang Betawi mulai menyesuaikan budaya leluhur dengan ajaran Islam. Misalnya, dulu tradisi tahlilan yang bersifat animisme, disesuaikan menjadi upacara yang bernafaskan Islam dengan bacaan doa-doa Islam.

Dari beberapa catatan, Nyorog berakar dari  tradisi ‘Sedekah Bumi’ dan ‘Baritan’. Keduanya merupakan ritus upacara adat yang menyimbolkan refleksi antara interaksi manusia, lingkungan, dan kepercayaan kepada sang pencipta.
 
Sebelum agama Islam masuk ke ke Pulau Jawa, masyarakat sering membawakan makanan untuk sesajen yang akan dipersembahkan kepada Dewi Sri atau lambang kemakmuran. Ritual ungkapan rasa syukur kepada setiap rezeki yang sudah didapatkan.

Sumber lain yang menyebutkan tradisi Nyorog telah dilakukan masyarakat Betawi sejak 1800-an yang diperkenalkan para wali saat menyebarkan ajaran Islam.

 Ilustrasi sayur Gabus Pucung. Dok.TEMPO/ Arif Fadillah

Pernikahan

Tradisi Nyorog tak hanya dekat dengan bulan Ramadan saja, karena juga dilaksanakan dalam acara pernikahan. Biasanya, sebelum lamaran, sorogan (bawaan) akan diberikan dari pihak mempelai lelaki ke mempelai perempuan. Seserahan itu akan berbentuk bahan makanan disertai dengan bingkisan.

Salah satu fungsinya untuk mempererat kedua keluarga mempelai. Selain itu juga sebagai upaya untuk mengikat mempelai pria dan wanita, menjelang pengesahan status suami dan istri.

Baca juga: Cucurak, Tradisi Warga Bogor Menyambut Ramadan
 

IDRIS BOUFAKAR

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus