Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gas air mata ikut ramai diperbincangkan menyertai tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur, yang menewaskan sedikitnya 125 orang pada Sabtu lalu, 1 Oktober 2022. Dari yang pernah terjadi di bagian lain di dunia, seperti di Timur Tengah dan Eropa, penggunaan senjata yang dimaksud ternyata telah sejak lama dipertanyakan manfaatnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sven-Eric Jordt, seorang anesthesiologist di Duke University, AS, pernah mengungkap adanya laporan penggunaan gas air mata dengan bahan aktif kimia yang lebih kuat di masa demonstrasi Arab Spring di Timur Tengah pada 2010-2011 lalu. "Dalam periode Arab Spring dilaporkan banyak kasus kelahiran prematur dari para perempuan hamil yang terpapar gas air mata. Kemungkinan karena syok dan stress dan paparan bahan kimia," katanya dikutip dari artikel di Scientific American terbit akhir 2018 lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rohini Haar, dokter di organisasi Physicians for Human Rights dan peneliti di University of California, Berkeley, AS, juga mengungkap pengalaman studinya di kamp Palestina, Aida dan Dheisheh, di Tepi Barat, Israel. Warga di kamp-kamp itu boleh dibilang setiap minggu terpapar gas air mata. Dari wilayah itu pula dilaporkan kasus orang-orang yang mengalami kesulitan bernapas kronis, gatal-gatal dan sakit.
"Ada bukti kalau gas air mata dapat menyebabkan trauma emosional, yang akan memiliki dampak jangka panjang," kata Haar dalam artikel yang sama.
Sementara ada risiko luka atau kerusakan atau trauma itu, Haar mengatakan, hampir tidak ada skenario di mana penggunaan gas air mata masuk akal untuk pengendalian massa. "Saya melihat sedikit sekali situasi di mana ada kebutuhan langsung terhadap senjata gas air mata untuk melindungi keselamatan publik," katanya.
Sebaliknya, Haar menambahkan, yang semakin diperlihatkan adalah gas air mata yang menyebabkan kepanikan, kekacauan dan rusuh. Tepat seperti yang terjadi di Stadion Kanjuruhan pada Sabtu malam lalu, Haar pada tiga tahun lalu telah dikutip mengatakan, "Ada kematian massal dari peristiwa orang-orang yang berdesak-desakan karena penggunaan gas air mata."
Aparat keamanan menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter yang masuk ke lapangan usai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu malam, 1 Oktober 2022. Polda Jatim mencatat jumlah korban jiwa dalam kerusuhan tersebut sementara sebanyak 127 orang. REUTERS TV melalui REUTERS
Yang digunakan sebagai contoh peristiwa oleh Haar saat itu adalah ketika polisi menembakkan gas air mata di dalam stadion sepak bola di Mesir dalam upaya membubarkan suporter sepak bola yang mulai merusak. "Sebanyak 25 orang malah tewas karena sesak napas ataupun jatuh terinjak-injak."
Penggunaan gas air mata yang berlebihan membuat Jordt juga skeptis senjata itu benar-benar pernah berguna. "Saya melihat di Jerman pada 1980-an dan 1990-an penggunaannya malah meningkatkan eskalasi kekerasan," katanya. Saat itu, Mei 1986, pendemo merespons granat gas air mata dengan racikan bom molotov saat demonstrasi Hari Buruh di Berlin.
"Saya kira gas air mata malah menyebabkan duka, kebingungan, dan agresi yang meningkat. Jelas sekali mereka tidak se-aman seperti yang kita kira."
SCIENTIFIC AMERICAN