Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menekankan pentingnya pelestarian motif Megalitik Tutari sebagai sumber inspirasi seni kontemporer Papua. Peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN, Hari Suroto, mengatakan bahwa motif ini perlu dihidupkan kembali dalam berbagai bentuk seni Sentani masa kini, seperti pada gerabah Abar dan lukisan kulit kayu Asei.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ini adalah bagian dari kontribusi penelitian arkeologi pada ruang lingkup Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan,” kata Hari kepada Tempo soal penelitian Megalitik Tutari ini, Rabu, 30 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Hari, penelitian soal ini tidak hanya bertujuan untuk menjaga warisan budaya, tapi juga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat setempat, khususnya di kawasan Danau Sentani.
Situs Megalitik Tutari sendiri menyimpan sejarah panjang dari zaman neolitik akhir di tepi Danau Sentani. Pada zaman itu, manusia sudah mulai hidup bercocok tanam, berkelompok, menetap, dan tinggal bersama di dalam kampung.
Hari menjelaskan, batu-batu di situs ini tergambar dengan berbagai motif, seperti manusia, manusia setengah ikan, binatang, tumbuhan, dan benda-benda budaya seperti gelang, kapak batu serta motif geometris seperti lingkaran dan matahari. “Semua adalah ekspresi pengetahuan manusia saat itu tentang alam sekitar,” tuturnya.
Tradisi melukis juga memiliki akar kuat di wilayah Sentani, terutama di Pulau Asei, yang masyarakatnya terampil membuat lukisan kulit kayu terinspirasi dari alam sekitar. “Kulit kayu yang dipakai untuk melukis pun bukan kayu sembarangan. orang Asei menyebutnya kayu khombow,” kata dia.
Motif lukisan ini sangat beragam, dan “Tak ada seorangpun warga Pulau Asei yang dapat memastikan sejak kapan seni lukis kulit kayu mulai ada di Asei,” kata Hari. Sebab, keterampilan ini diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Pengaruh motif Megalitik Tutari pada seni Sentani masa kini dapat dilihat pada berbagai benda budaya, seperti ukiran tiang rumah, alat musik tifa, piring kayu, dan gerabah Abar. Motif-motif ini terus dihidupkan kembali dan diterapkan pada seni modern sebagai bentuk pelestarian budaya leluhur. “Dalam seni Sentani masa kini ditorehkan atau dikreasikan dengan berbagai jenis media seni,” ujarnya.
Hari menyatakan, motif Megalitik Tutari dapat menjadi sumber kreativitas dalam produk ekonomi kreatif, seperti desain sablon kaos, desain logo produk, atau sebagai inspirasi bagi pelukis kanvas. “Motif ini berpotensi mengangkat produk seni Sentani kekinian,” katanya.
Motif Megalitik Tutari juga telah menjadi bahan buku muatan lokal yang diajarkan pada siswa sekolah menengah di tiga sekolah pilot project, yaitu SMPN 6 Kota Jayapura, SMPN 1 Sentani, dan SMPN 2 Sentani, Kabupaten Jayapura. “Buku muatan lokal ini perlu diajarkan secara lebih luas lagi ke sekolah-sekolah menengah se-Provinsi Papua,” ujar Hari.