Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Pusat Riset Veteriner (PRVet) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Angela Mariana Lusiastuti menyatakan, pihaknya tengah fokus meneliti pengembangan vaksin dan obat ikan, serta metode deteksi penyakit dan resistensi antimikroba untuk menjaga tingkat produktivitas pangan akuatik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Mengelola kesehatan ikan budi daya menjadi semakin penting, karena wabah penyakit pada budi daya ikan dapat mengurangi produktivitas dan profitabilitas," kata Angela dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 13 Desember 2024 yang dikutip Antara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angela mengungkapkan, vaksin cair memiliki kelemahan, yaitu tidak praktis dan mudah rusak selama penyimpanan dan pengangkutan. BRIN mengembangkan vaksin beku-kering berlapis kitosan yang dinilai memiliki sejumlah kelebihan. "Ia mudah dimobilisasi, mampu mempertahankan kualitas dan efektivitas vaksin pada suhu panas, serta pengangkutan yang memerlukan jarak jauh," ujarnya.
Menurut Angela, hewan akuatik seperti ikan merupakan sumber protein hewani lebih rendah lemak daripada sumber protein hewani lainnya. Selain juga mengandung Omega-3 yang tidak diproduksi oleh tubuh sehingga ini menjadi salah satu kunci dalam mencegah stunting.
Lebih lanjut Angela menuturkan, ikan berminyak mengandung asam lemak Omega-3 yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh. Contohnya, ikan yang tulangnya dapat dimakan seperti sarden, merupakan sumber vitamin D yang berharga. Konsumsi ikan yang tinggi telah dikaitkan dengan penurunan risiko beberapa penyakit autoimun.
Selain vaksin, Angela juga menekankan perlu dilakukannya pengembangan dan kolaborasi penelitian terhadap penyakit zoonosis. Penyakit ini muncul kembali akibat kontaminan seperti toksin, logam berat, hormon, pestisida, dan bahan kimia lainnya.