Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia termasuk di antara negara yang mencoba pengobatan Covid-19 menggunakan plasma darah atau konvalesen. Ini adalah upaya pemberian imunisasi pasif--karena plasma darah mengandung antibodi pasien yang sudah sembuh--kepada pasien yang masih berjuang melawan infeksi virus corona 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim Peneliti Plasma Konvalesen Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Elida Marpaung, menegaskan bahwa pengobatan itu masih dalam tahap uji. Plasma darah pun diingatkannya tidak boleh diperjualbelikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Seperti transfusi pada umumnya bahwa memang darah manusia itu tidak boleh diperjualbelikan," kata Elida dalam diskusi daring yang diselenggarakan oleh Indonesian Clinical Training and Education Center (ICTEC) dan Bagian Penelitian RSCM-FKUI di Jakarta, Selasa lalu.
Peraturan yang sekarang ada untuk proses transfusi darah, kata dokter dari Unit Pelayanan Transfusi Darah (UPTD) RSCM itu, juga berlaku untuk plasma darah. Dia menerangkan bahwa biaya yang digantikan oleh pasien adalah biaya pengolahan darah, meski hal itu tidak berlaku untuk penelitian.
Elida menegaskan bahwa donor yang diterima adalah yang diberikan secara sukarela. Dalam rangka penelitian terapi plasma darah, yang sekarang tengah dilakukan di Indonesia, pasien penerima terapi juga tidak akan dibebankan apapun.
Elida mengingatkan itu setelah penggunaan terapi plasma konvalesen untuk pasien COVID-19 dengan gejala berat menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam beberapa pengujian. Tim Peneliti Plasma Konvalesen RSCM/FKUI pun sedang mengumpulkan pasien COVID-19 yang sudah sembuh untuk secara sukarela menyerahkan plasma darah.
Anggota tim penelitian yang sama, Lugyanti Sukrisman, menguatkan catatan bahwa pengobatan masih dalam tahap uji dan membutuhkan data lebih besar untuk memastikan efektivitasnya. "Seyogyanya kita akan memerlukan data yang lebih besar yang bisa mencapai secara statistik signifikan dalam clinical trial (uji klinis)," katanya.
Kesimpulan, dia menambahkan, bisa diambil setelah melihat pula data dari penelitian-penelitian terdahulu tentang penggunaan terapi plasma konvalesen kepada pasien SARS dan Ebola. Selain yang sekarang sedang dilakukan terhadap Covid-19.
Pengujian yang dilakukan pada 80 pasien SARS di Hong Kong pada 2003, Lugyanti menjelaskan, menunjukkan pasien dapat pulang pada hari ke-22 jika diberi plasma konvalesen sebelum hari ke-14 dari masa awal dia sakit. Tapi pasien yang menerima plasma konvalesen setelah hari ke-14 harus tinggal di rumah sakit lebih lama dan memiliki tingkat mortalitas lebih tinggi.
Penelitian pada pasien Ebola di Guinea memperlihatkan pada umumnya pasien yang menerima plasma konvalesen menunjukkan durasi gejala yang lebih pendek. Tapi ada efek samping seperti sulit bernapas dan mata merah pada pasien yang mendapat terapi tersebut.
Menurut studi tersebut, transfusi 500 mililiter plasma konvalesen pada 84 pasien Ebola tidak berasosiasi dengan peningkatan tingkat kesembuhan yang signifikan.
Penelitian mengenai penggunaan terapi itu juga dilakukan terhadap lima pasien COVID-19 dengan kondisi berat di Shenzhen, Cina, dari 20 Januari sampai 25 Maret 2020. Hasilnya menunjukkan ada perbaikan signifikan pada pasien yang diberi plasma konvalesen. Sebanyak empat pasien bisa melepas ventilator mekanik sembilan hari setelah mendapat transfusi plasma.
Yang bisa disorot dari penelitian tersebut, kata Ligyanti, adalah kemungkinan antibodi dari plasma konvalesen berkontribusi pada pembersihan virus dan perbaikan gejala pasien. Namun skala penelitian itu masih tergolong kecil berdasarkan jumlah pasien terlibat dalam pengujian.
"Plasma darah konvalasen adalah suatu pasif antibodi menunjukkan hasil yang menjanjikan pada kasus SARS-CoV-2 yang berat tetapi masih dalam jumlah subjek atau pasien yang terbatas," kata Lugyanti.