ECENG gondok alias Eichornia crassipes alias bengok, belasan
tahun lamanya jadi musuh para pencinta danau. Pertumbuhan jenis
kiambang ini jadi wabah di banyak danau dan waduk yang penting
artinya bagi pariwisata, persediaan air PLTA, irigasi dan
penangkapan ikan. Yang paling top di danau Kerinci, propinsi
Jambi. Di situ tanaman pengganggu ini menyita 750 Ha dari luas
danau yang 4500 Ha itu. Sedang di danau purba Rawa Pening, 10%
dari luas danau yang 2500 Ha itu sudah ditutupi kiambang yang
memadat dan jadi pulau terapung.
Tergugah oleh kenyataan itu, Lembaga Ekologi Universitas
Padjadjaran yang dipimpin Dr Otto Soemarwoto sudah setahun
lamanya meneliti tanaman yang menghebohkan itu. "Ada lima alasan
mengapa kami tertarik menyelidiki eceng gondok ini", kata Prof.
Otto Soemarwoto di rumahnya pada Abdullah Mustappa dari TEMPO.
Pertama, eceng gondok mempercepat penguapan air di danau dan
sungai yang dihuninya. Dibandingkan dengan permukaan air biasa,
penguapan air dari tempat eceng gondok itu hidup 3 sampai 7 kali
lebih tinggi.
Kedua, eceng gondok mempercepat pendangkalan danau dan sungai
yang dihuninya. Lumpur yang tersangkut di akar tanaman terapung
itu, plus penguapan di permukaan yang dipercepat, mengakibatkan
air menipis. Alasan ketiga: dalam jumlah kecil eceng gondok
merangsang perkembangan ikan. Untuk melindungi ikan dari terik
mentari tentara Jepang di masa Perang Dunia II dulu menyebar
kiambang itu di danau Kerinci (TEMPO, 26 Jufi 1975). Tapi jika
jumlahnya bertambah banyak, penambahan populasi ikan justru
terhambat. Padahal pertumbuhan eceng gondok sangat pesat dan
sukar dikendalikan.
Alasan keempat, pertumbuhan eceng gondok di sungai akan
mengganggu pelayaran sungai. Alasan kelima: gangguan eceng
gondok terhadap keindahan lingkungan sungai dan danau. Dari segi
pariwisata dan olahraga air, ini jelas tidak menguntungkan.
Dalam penelitiannya itu, menurut Otto Soemarwoto,
"penanggulangan eceng gondok selama ini, baik dengan cara
mekanis maupun kimiawi, sampai sekarang ternyata hasilnya tidak
memuaskan".
Melihat kenyataan itu, lembaga yang hanya punya 7 orang tenaga
penuh itu berfikir: mengapa enerji tinggi yang dikandung eceng
gondok itu tidak dimanfaatkan saja? "Selama ini yang kita
lakukan malah melenyapkan satu sumber enerji dengan
menghamburkan enerji lain untuk mengangkut atau menyemprotnya",
kata Prof. Soemarwoto.
Seorang mahasiswa staf Lembaga Ekologi Unpad lantas dikirim ke
Curug, dekat waduk Jatiluhur. Di situ eceng gondok tumbuh dengan
asyiknya, yakni sebanyak 40 ton/Ha/tahun. Memang, dibandingkan
dengan di tempat lain, itu masih agak rendah. Sebab eceng gondok
yang dipelihara di kolam Kebun Raya Bogor bisa mencapai 100
ton/Ha/tahun. Sedang di India malah bisa mencapai 125 sampai 200
ton/Ha/ tahun, karena memang dipelihara secara khusus. Namun
untuk kepentingan riset, populasi eceng gondok di Curug itu
sudah memadai.
Ketika eceng gondok dari Curug itu kemudian dibusukkan dengan
bakteri metan dalam tabung hampa udara di laboratorium, timbul
gas-bio yang terdiri dari 60% gas metan (CH4) dan 40 gas asam
arang (CO). Metan itulah yang kemudian menjaai sasaran perhatian
utama, "sebab dengan gas itu kita akan memperoleh enerji yang
murah", kata Otto Soemarwoto.
Angka-angka perbandingan dari I ndia dan Zambia cukup memikat.
Di sana, 1 kilo eceng gondok kering dapat menghasilkan 273 liter
gas-bio. Maka 5 ton eceng gondok kering yang dapat dipanen tiap
hari dari Curug cukup untuk memenuhi keperluan enerji panas dari
350 keluarga a 5 orang di negeri tropis begini. "Jika
dibandingkan dengan gas-bio lain yang diperoleh dari penguraian
kotoran sapi misalnya", kata Otto Soemarwoto, "gas-bio eceng
gondok ini hampir sama nilainya".
Dengan demikian, Lembaga Ekologi Unpad berusaha mengatasi
masalah eceng gondok itu "dengan merubah sesuatu yang mengganggu
lingkungan menjadi sumber enerji yang bermanfaat", katanya lagi.
Lebih-lebih mengingat di desa rakyat kekurangan bahan bakar.
sampai mereka menebang hutan dengan akibat erosi, banjir, dan
ketandusan.
Namun setelah sukses di laboratorium, timbul problem bagaimana
memindahkan proses itu ke lapangan, sehingga mudah ditiru oleh
rakyat di pedesaan. Pertama-tama, perlu dibuat kolam untuk
memelihara eceng gondok secara kecil-kecilan. Tapi kalau tidak
direncanakan dengan matang, "salah-salah kolam eceng gondok
dapat menjadi sarang nyamuk yang berbahaya bagi rakyat", kata
sang profesor. Sebaliknya, kolam eceng gondok itu ada manfaat
sampingannya, yakni "untuk mencegah pengotoran lingkungan akibat
air buangan dari pabrik dan rumah penduduk". "Air sungai yang
sudah tercemar, jika dialirkan melalui kolam eceng gondok akan
tersanng kotorannya secara efektif oleh tanarnan itu sehingga
keluar dari kolam sudah jernih", tuturnya lebih lanjut.
Selain pengadaan kolam, perlu juga dicari bagaimana cara yang
terbaik untuk 'berkebun' eceng gondok itu. Kata direktur Lembaga
Ekologi Unpas itu: "Eceng gondok itu harus dipelihara, dipanen
dan kemudian dibiarkan dalam batas-batas yang masih bisa kita
tolerir". Artinya: tidak menggangu lingkungan, tapi juga tidak
mengganggu 'stok' eceng gondok yang ada sehingga tidak
mengurangi penen yang akan datang.
Betapapun, pendekatan seperti itu tidak serta merta
menyelesaikan soal. Terutama karena revolusi eceng gondok ini
baru dalam tahap awal sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini