Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Revolusi eceng gondok ? revolusi eceng gondok ?

Lembaga ekologi unpad dipimpin otto soemartono sudah setahun meneliti tanaman eceng gondok. india dan zambia sudah berhasil memanfaatkan tumbuhan air itu untuk energi.

28 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ECENG gondok alias Eichornia crassipes alias bengok, belasan tahun lamanya jadi musuh para pencinta danau. Pertumbuhan jenis kiambang ini jadi wabah di banyak danau dan waduk yang penting artinya bagi pariwisata, persediaan air PLTA, irigasi dan penangkapan ikan. Yang paling top di danau Kerinci, propinsi Jambi. Di situ tanaman pengganggu ini menyita 750 Ha dari luas danau yang 4500 Ha itu. Sedang di danau purba Rawa Pening, 10% dari luas danau yang 2500 Ha itu sudah ditutupi kiambang yang memadat dan jadi pulau terapung. Tergugah oleh kenyataan itu, Lembaga Ekologi Universitas Padjadjaran yang dipimpin Dr Otto Soemarwoto sudah setahun lamanya meneliti tanaman yang menghebohkan itu. "Ada lima alasan mengapa kami tertarik menyelidiki eceng gondok ini", kata Prof. Otto Soemarwoto di rumahnya pada Abdullah Mustappa dari TEMPO. Pertama, eceng gondok mempercepat penguapan air di danau dan sungai yang dihuninya. Dibandingkan dengan permukaan air biasa, penguapan air dari tempat eceng gondok itu hidup 3 sampai 7 kali lebih tinggi. Kedua, eceng gondok mempercepat pendangkalan danau dan sungai yang dihuninya. Lumpur yang tersangkut di akar tanaman terapung itu, plus penguapan di permukaan yang dipercepat, mengakibatkan air menipis. Alasan ketiga: dalam jumlah kecil eceng gondok merangsang perkembangan ikan. Untuk melindungi ikan dari terik mentari tentara Jepang di masa Perang Dunia II dulu menyebar kiambang itu di danau Kerinci (TEMPO, 26 Jufi 1975). Tapi jika jumlahnya bertambah banyak, penambahan populasi ikan justru terhambat. Padahal pertumbuhan eceng gondok sangat pesat dan sukar dikendalikan. Alasan keempat, pertumbuhan eceng gondok di sungai akan mengganggu pelayaran sungai. Alasan kelima: gangguan eceng gondok terhadap keindahan lingkungan sungai dan danau. Dari segi pariwisata dan olahraga air, ini jelas tidak menguntungkan. Dalam penelitiannya itu, menurut Otto Soemarwoto, "penanggulangan eceng gondok selama ini, baik dengan cara mekanis maupun kimiawi, sampai sekarang ternyata hasilnya tidak memuaskan". Melihat kenyataan itu, lembaga yang hanya punya 7 orang tenaga penuh itu berfikir: mengapa enerji tinggi yang dikandung eceng gondok itu tidak dimanfaatkan saja? "Selama ini yang kita lakukan malah melenyapkan satu sumber enerji dengan menghamburkan enerji lain untuk mengangkut atau menyemprotnya", kata Prof. Soemarwoto. Seorang mahasiswa staf Lembaga Ekologi Unpad lantas dikirim ke Curug, dekat waduk Jatiluhur. Di situ eceng gondok tumbuh dengan asyiknya, yakni sebanyak 40 ton/Ha/tahun. Memang, dibandingkan dengan di tempat lain, itu masih agak rendah. Sebab eceng gondok yang dipelihara di kolam Kebun Raya Bogor bisa mencapai 100 ton/Ha/tahun. Sedang di India malah bisa mencapai 125 sampai 200 ton/Ha/ tahun, karena memang dipelihara secara khusus. Namun untuk kepentingan riset, populasi eceng gondok di Curug itu sudah memadai. Ketika eceng gondok dari Curug itu kemudian dibusukkan dengan bakteri metan dalam tabung hampa udara di laboratorium, timbul gas-bio yang terdiri dari 60% gas metan (CH4) dan 40 gas asam arang (CO). Metan itulah yang kemudian menjaai sasaran perhatian utama, "sebab dengan gas itu kita akan memperoleh enerji yang murah", kata Otto Soemarwoto. Angka-angka perbandingan dari I ndia dan Zambia cukup memikat. Di sana, 1 kilo eceng gondok kering dapat menghasilkan 273 liter gas-bio. Maka 5 ton eceng gondok kering yang dapat dipanen tiap hari dari Curug cukup untuk memenuhi keperluan enerji panas dari 350 keluarga a 5 orang di negeri tropis begini. "Jika dibandingkan dengan gas-bio lain yang diperoleh dari penguraian kotoran sapi misalnya", kata Otto Soemarwoto, "gas-bio eceng gondok ini hampir sama nilainya". Dengan demikian, Lembaga Ekologi Unpad berusaha mengatasi masalah eceng gondok itu "dengan merubah sesuatu yang mengganggu lingkungan menjadi sumber enerji yang bermanfaat", katanya lagi. Lebih-lebih mengingat di desa rakyat kekurangan bahan bakar. sampai mereka menebang hutan dengan akibat erosi, banjir, dan ketandusan. Namun setelah sukses di laboratorium, timbul problem bagaimana memindahkan proses itu ke lapangan, sehingga mudah ditiru oleh rakyat di pedesaan. Pertama-tama, perlu dibuat kolam untuk memelihara eceng gondok secara kecil-kecilan. Tapi kalau tidak direncanakan dengan matang, "salah-salah kolam eceng gondok dapat menjadi sarang nyamuk yang berbahaya bagi rakyat", kata sang profesor. Sebaliknya, kolam eceng gondok itu ada manfaat sampingannya, yakni "untuk mencegah pengotoran lingkungan akibat air buangan dari pabrik dan rumah penduduk". "Air sungai yang sudah tercemar, jika dialirkan melalui kolam eceng gondok akan tersanng kotorannya secara efektif oleh tanarnan itu sehingga keluar dari kolam sudah jernih", tuturnya lebih lanjut. Selain pengadaan kolam, perlu juga dicari bagaimana cara yang terbaik untuk 'berkebun' eceng gondok itu. Kata direktur Lembaga Ekologi Unpas itu: "Eceng gondok itu harus dipelihara, dipanen dan kemudian dibiarkan dalam batas-batas yang masih bisa kita tolerir". Artinya: tidak menggangu lingkungan, tapi juga tidak mengganggu 'stok' eceng gondok yang ada sehingga tidak mengurangi penen yang akan datang. Betapapun, pendekatan seperti itu tidak serta merta menyelesaikan soal. Terutama karena revolusi eceng gondok ini baru dalam tahap awal sekali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus