Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, New Jersey - Uji klinis vaksin Covid-19 yang dikembangkan perusahaan Amerika Serikat, Johnson & Johnson (J&J), telah dihentikan sementara. Seperti yang pernah dialami uji vaksin AstraZeneca dari Inggris, uji disetop untuk memberi kesempatan investigasi atas temuan penyakit yang muncul pada relawannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perusahaan Johnson & Johnson mengungkap penghentian sementara itu, Senin 12 Oktober 2020. Dijelaskan, kasus sedang ditinjau dan dievaluasi oleh Data and Safety Monitoring Board (DSMB)--badan pengawas uji klinis independen bentukan otoritas kesehatan di Amerika Serikat--serta dokter dari internal perusahaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
J&J menegaskan bahwa keputusan jeda merupakan hal biasa dalam uji klinis berskala besar yang bisa melibatkan puluhan ribu partisipan. "Jeda studi karena inisiatif sendiri dalam pemberian dosis calon vaksin berbeda dengan penangguhan terkait aturan atas instruksi otoritas kesehatan," bunyi pernyataan perusahaan itu.
Johnson & Johnson tak membeberkan penyakit yang ditemukan tersebut dengan alasan masalah privasi. "Kami juga sedang mempelajari lebih dalam tentang penyakit itu, dan sangat penting untuk mendapatkan seluruh faktanya sebelum kami menabahkan informasi yang lebih detail."
Menurut perusahaan perawatan kesehatan terbesar di dunia itu, sejumlah partisipan dalam uji klinis menerima plasebo atau air biasa sebagai kontrol. Sehingga, selalu tidak jelas apakah seseorang yang mengalami peristiwa buruk serius dalam uji klinis tersebut penerima vaksin atau plasebo tersebut.
Reuters mengutip keterangan dari seorang profesor bidang penyakit menular di Vanderbilt University School of Medicine, William Schaffner, yang mengatakan bahwa semua orang kini waspada atas apa yang terjadi dengan AstraZeneca. Menurutnya, bisa butuh waktu sepekan untuk mengumpulkan informasi dalam kasus J&J. "Ini kemungkinan peristiwa neurologis lagi," katanya.
Baik J&J maupun AstraZeneca mengembangkan kandidat vaksin Covid-19 dengan teknik viral vector menggunakan adenovirus. Virus yang telah dimodifikasi tidak berbahaya itu sejatinya akan memerintahkan sel-sel untuk memproduksi protein vaksin penghadang virus corona penyebab Covid-19.
Namun dua kali kasus yang terjadi membuat Olga Smolentseva, analis di Bryan Garnier, bertanya-tanya, "jangan-jangan vaksin pakai adenovirus tidak aman."
Johnson & Johnson pada bulan lalu mengklaim bahwa vaksin Covid-19 buatannya menghasilkan respons imun yang kuat melawan virus corona dalam uji klinis tahap awal hingga menengah. Kemudian perusahaan meluncurkan uji klinis fase tiga atau final pada akhir September yang melibatkan 60 ribu relawan.
Menjadi di antara yang terbesar di dunia, uji klinis final itu dilakukan di Amerika Serikat, Afrika Selatan, Argentina, Brasil, Cile, Kolombia, Meksiko dan Peru. Hasilnya baru akan diketahui pada akhir tahun ini atau awal 2021.
REUTERS | BUSINESS INSIDER | GLOBAL NEWS