Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

"MASA PENAHANAN POLITIK ADALAH PEMBODOHAN INTELEKTUAL"

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hanya jalan setapak diperlukan pejalan kaki
bagiku hari ini adalah kelahiran kembali...
(dari sajak Kelahiran Kembali, kumpulan puisi
Selat Bali, 1982)

PUTU Oka Sukanta lahir kembali, setelah "mati" berkali-kali. Seperti yang dialami korban penangkapan G30S lainnya, kekejaman selama penahanan itu kemudian melahirkan sebuah sosok baru yang tangguh, meski penuh trauma yang sungguh dalam. Yang membedakannya dengan tahanan politik (tapol) lain, laki-laki kelahiran Singaraja, Bali, 60 tahun lalu, itu adalah seorang penulis, sehingga Oka bisa menuliskan kepahitan sejarah dalam bentuk novel dan puisi.

Putu Oka sudah terjun ke dunia sastra sejak muda dan kerap menulis di Minggu Pagi, Basis, Merdeka, Zaman Baru, HR Minggu, Bintang Timur, Pesat, dan lainnya. Novel Merajut Harkat, yang diluncurkan awal bulan ini di Galeri Cemara, menunjukkan bahwa Putu Oka masih setia untuk berekspresi melalui kata-kata. Meski novel sepanjang 590 halaman itu adalah sebuah fiksi, ia tidak menyangkal bahwa banyak pengalaman pahitnya sebagai tapol yang terpancar dalam novel itu. Mawa, protagonis dalam novel itu, seperti dirinya, adalah sosok yang tak memahami apa yang sesungguhnya terjadi pada 30 September 1965, meski ia menjadi bagian yang disapu bersih oleh pemerintah.

"Saya tetap tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada saat itu," kata Oka, yang menjadi anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sejak 1963. Menurut Oka, yang 10 tahun (1966-1976) dipenjarakan di rumah tahanan Salemba dan Tangerang tanpa proses peradilan, hukuman yang dijalaninya itu—lebih dari sekadar hukuman fisik—merupakan pembodohan intelektual. "Sebab, untuk bertahan tetap punya pikiran dengan dilarang membaca dan menulis, itu berat," tutur Putu Oka.

Berikut ini adalah wawancara Putu yang sekarang menjadi ahli akupunktur dan aktivis AIDS itu dengan Mustafa Ismail dari TEMPO.


Bagaimana ceritanya Anda bergabung dengan Lekra?

Lekra itu suatu pergumulan pergaulan. Sejak mulai menulis, saya selalu menuliskan orang miskin. Komunitas saya di Bali adalah komunitas orang miskin. Jadi, saya tahu, hafal benar, bagaimana kehidupan orang miskin. Kemudian, saya bertemu dengan beberapa pengarang, saya menulis di Zaman Baru, lalu saya diakui sebagai anggota Lekra.

Apa sebetulnya kegiatan Lekra?

Menghidupkan dan mengembangkan sastra dan kesenian yang bertemakan kerakyatan.

Waktu itu, apakah Anda menyadari konsekuensi politik bergabung dengan Lekra?

Enggak. Konsekuensi apa? Pada waktu itu, kita sedang gairah-gairahnya mengganyang kolonialisme dan feodalisme. Yang sama sekali tidak pernah terpikirkan adalah akan ada peristiwa G30S. Yang bikin siapa, sampai sekarang, tidak terjawab. Hanya, akibatnya, terjadi pembabatan habis-habisan terhadap orang yang dianggap kiri, karena permainan politik.

Apakah orang menjadi saling mencurigai?

Orang pada saat itu sangat takut ketemu dengan temannya yang sudah lama tidak pernah dijumpai. Katakanlah, tersebar berita, si Anu sekarang sudah menjadi interogator, si B sudah menjadi tukang tunjuk, sehingga semua orang yang tidak ditahan atau belum ditangkap pada saat itu curiga satu sama lain.

Anda merasa kalau akan ikut diciduk waktu itu?

Setelah November-Desember 1965, semua orang yang ada hubungannya dengan PKI berpikir akan ditangkap. Tinggal tunggu kapan akan diciduk. Orang sibuk menyembunyikan diri untuk survive. Saya tetap saja tinggal di rumah, di daerah Manggabesar, walaupun selalu waswas, misalnya ada demonstrasi lewat di depan rumah, "Oh, ini giliran kita."

Bagaimana Anda ditangkap?

Saya ditangkap di rumah oleh serombongan tentara yang membawa senapan laras panjang, pada suatu malam, sekitar setahun setelah peristiwa G30S. Tapi jangan harap ada surat penangkapan. Mereka sudah punya file lengkap tentang saya.

Tolong ceritakan soal penyiksaan.

Waktu pemeriksaan, saya dipukul, ditendang dengan sepatu tentara, disundut rokok. Tapi, ketika sudah di penjara, hanya disiksa kalau melakukan kesalahan.

Apa saja kegiatan Anda di penjara?

Cara saya survive antara lain dengan belajar dari sesama tahanan untuk ilmu-ilmu yang sederhana, misalnya menjadi tukang cukur, membuat jamur merang, belajar bahasa Prancis, memperdalam Inggris, dan belajar ekonomi dari ekonom-ekonom yang ada di dalam. Saya tahu, kalau sudah keluar, sulit mendapat pekerjaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus