Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

"SAYA PUNYA OBSESI MEMBONGKAR PEMBUNUHAN G30S"

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerwani, untuk 32 tahun, mewakili sosok yang mengerikan. Di dalam film Pengkhianatan G30S-PKI dan buku-buku sejarah buatan pemerintah Orde Baru, Gerwani digambarkan sebagai sekelompok perempuan yang menari dan menyanyi Genjer-Genjer, sementara para jenderal disiksa. Benarkah itu?

Sulami mencoba menjawabnya. Dia adalah bekas Wakil II Sekjen DPP Gerwani yang dipenjara selama 20 tahun karena keanggotaannya.

Sulami memang bukan perempuan biasa. Putri keempat pasangan Dalyo Djoyoprawiro dan Marminah Sutiyah itu adalah bekas Wakil II Sekjen DPP Gerwani. Lahir di Sragen, Jawa tengah, 74 tahun silam, pada 1958 Sulami sudah ikut Kongres Wanita Sedunia di Wina. Sebelum di Gerwani, Sulami sudah aktif di berbagai pergerakan wanita sejak zaman kolonial Belanda

Setelah G30S, Sulami menjadi buron: 15 bulan berpindah-pindah tempat di Jakarta. Akhirnya, dia ditangkap dan ditahan, disiksa, dan diinterogasi di markas tentara Bukitduri, Jakarta Selatan. Sulami baru diadili pada 1975, dan selama 20 tahun ia dipenjara di Rumah Tahanan Perempuan, Tangerang, potong masa tahanan. Sulami bebas bersyarat pada 1984. Dia menolak grasi karena merasa tak bersalah.

Dunia Sulami adalah dunia perjuangan dan aktivis. Perempuan yang tidak menikah itu membantu TNI dalam serangan semasa Agresi II. Sulami ditahan ketika ada kasus PKI Madiun, 1948. Selama buron, Sulami masih sempat menjadi anggota Panitia Pendukung Komando Presiden Soekarno.

Setelah bebas, Sulami bersama tokoh-tokoh narapidana politik G30S mendirikan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966. "Saya punya obsesi mengungkap pembunuhan yang menyusul G30S. Kabar mati ratusan ribu itu harus ada makamnya. Di mana mereka dikubur?" katanya tegas. "Saya yakin, kalau masalah G30S diungkap dan pelakunya diadili, tidak akan terjadi pembunuhan massal lainnya," tuturnya.

Sulami tetap berjuang, walaupun dalam keterbatasan: dia terkena herpes di dada kiri. Berikut adalah petikan wawancara Bina Bektiati dan Dewi Rina Cahyani dari TEMPO dengan Sulami, di rumah kontrakannya di Tangerang:


Berdasarkan pengalaman Anda, bagaimana sesungguhnya situasi pasca-30 September 1965?

Siang itu, 1 Oktober, saya bertemu Ibu Suharti, Ketua Gerwani, di kantor. Ia bertanya, "Apakah kamu dengar radio?" Saya jawab "tidak". Dia memberi tahu bahwa di Lubangbuaya terjadi pembunuhan Dewan Jenderal. Waktu itu, radio di kantor kami rusak. Karena kami tidak tahu apa-apa, lalu Suharti pergi mencari informasi dari orang-orang PKI.
Sekitar jam sembilan malam, saya kembali ke kantor. Di depan kantor ada satu truk militer. Mereka berteriak melalui pengeras suara, minta supaya Gerwani menyerah dan meletakkan senjata. Padahal, yang ada hanya kami berdua (Sulami dan Waldjinah, penerjemah Gerwani—Red) dan beberapa pegawai kebersihan. Tidak ada senjata, yang ada hanya angklung, bekas acara ulang tahun Gerwani.
Saya enggak ngerti, Gerwani salah apa. Kegiatan kami sehari-hari itu mempersiapkan kongres, Desember nanti. Kami tidak berani keluar. Tentara pun pergi. Sejak itu, saya mulai merasa gelisah. Tidur juga sudah tidak nyenyak.
Hari berikutnya, saya pergi ke kantor yang punya hubungan dengan PKI. Tapi saya tetap tidak dapat informasi yang jelas tentang apa yang terjadi. Pada hari keenam setelah 30 September, kami tidak berani lagi tidur di kantor. Jendela-jendela kantor sudah dirusak, walaupun belum dijarah. Yang tidur di kantor malah para ketua Gerwani karena mereka tidak berani tidur di rumah. Kantor mulai dirusak pada 15 September. Para ketua Gerwani pun ikut diangkut.

Setelah itu Anda buron?

Saya tidur di rumah saudara, di Kebayoran, lalu saya berkali-kali pindah. Paling lama hanya tiga malam saya berada di satu tempat. Kalau siang, saya keluar bersama Waldjinah untuk mencari informasi. Misalnya saya ke Pasar Senen, tempat berkumpul aktivis PKI. Saya dapat informasi bahwa yang terjadi adalah pertentangan sesama tentara. Karena di dalam tentara ada PKI juga, yang diisukan adalah PKI terlibat. Di PKI sendiri tidak ada perintah untuk membunuh jenderal-jenderal itu.
Mungkin saja Untung terlibat. Dia PKI atau bukan, saya tidak merasa jelas. Jadi, analisis saya, peristiwa tersebut terjadi awalnya karena pertentangan di antara elite politik, bukan pertentangan di bawah.

Sebenarnya Gerwani itu organisasi apa, sih? Organnya PKI? Kerjanya apa?

Motonya organisasi perjuangan dan pendidikan. Kegiatan Gerwani memberi pendidikan kepada para ibu dan kaum wanita untuk memberantas buta huruf. Cabang Gerwani ada di seluruh Indonesia, kecuali Kalimantan.

Lalu, kenapa ada kisah Gerwani menari-nari di Lubangbuaya saat para jenderal diculik?

Tidak ada anggota Gerwani yang terlibat peristiwa itu. Tapi, yang punya sumur Lubangbuaya itu kebetulan istrinya adalah pengurus Gerwani.

Bagaimana cerita mengenai Angkatan Kelima, yang dipersenjatai?

Sampai peristiwa G30S meletus, tidak jelas kabar itu. Baru sekadar rumor.

Bagaimana Anda tahu Gerwani ditangkapi?

Waktu itu, di Jatinegara ada kantor polisi. Banyak teman-teman Gerwani yang ditangkap di sana. Juga di markas tentara Tanahabang.
Saat buron, saya selalu berkeliaran ke markas polisi dan tentara untuk mencari keterangan tentang kawan-kawan. Baru menjelang malam, sebelum jam malam pukul enam, saya kembali ke persembunyian. Saya mencari informasi karena teman-teman dari daerah malah mengungsi ke Jakarta dan menanyakan apa yang terjadi. Mereka lari dari daerahnya karena di luar Jakarta sudah mulai terjadi pembunuhan. Itu sekitar tanggal 16 Oktober.

Kapan dan bagaimana Anda ditangkap?

Ketika saya mengungsi di keluarga kolonel teman saya yang tinggal di Roxy (daerah Tanahabang, Jakarta Pusat—Red). Dia kan sering kedatangan tamu dari kalangan militer. Ketika saya sedang mencuci piring di dapur, seorang militer tamunya melihat saya. Ia kemudian mengatakan kepada tuan rumah untuk mengusir saya dari rumahnya. Tuan rumah tidak menanggapi.
Malam berikutnya, 12 Februari 1967, saya ditangkap. Saya biasanya baru bisa tidur sekitar jam 12 malam, sedangkan tentara datang jam satu dinihari. Jadi, saya sedang pulas-pulasnya tidur sehingga tidak mendengar bunyi langkah sepatu. Tahu-tahu mereka sudah di dalam kamar. Yang masuk ada tiga orang, tapi yang di luar banyak. Mereka membangunkan saya dan menodongkan pistol di kening saya. Katanya, "Kamu, Bu Lami, saya tangkap." Lalu, mereka membawa saya ke markasnya.
Yang memberi perintah penangkapan saya adalah Amir Machmud, Panglima Kodam Jaya waktu itu. Padahal, saya sudah lama kenal Amir Machmud, waktu di acara-acara Gerwani ataupun di Istana.

Bisa Anda ceritakan penyiksaan yang Anda alami?

Potongan-potongan rotan ditaruh di antara jari-jari tangan saya, lalu diremas keras, tiap tangan oleh satu tentara. Rasa sakitnya menjalar ke seluruh tubuh. Tapi saya tahan rasa sakitnya, saya tidak menjerit. Itu dilakukan berkali-kali. Hingga sekarang, tangan saya masih sakit, jemari tangan kiri saya masih sulit digerakkan (sambil menunjukkan jari-jarinya—Red).
Lainnya, paha saya dipukuli dengan sebilah rotan yang batangnya sudah dipilah-pilah. Jadi, kalau dipukulkan, pilahan rotan itu menjepit kulit. Saya juga disuruh berdiri merapat ke tempok, sementara tentara melemparkan pisau dari kejauhan dan menancap dekat kepala saya.
Saya pernah disuruh telanjang ketika diinterogasi. Tapi, untungnya, saya tidak diapa-apakan, tidak diperkosa. Padahal, itu yang saya takutkan, yang selalu saya pikirkan setiap malam. Sedangkan tahanan lain ada yang disuruh telanjang dan berjalan merangkak di depan tahanan laki-laki. Siksaan itu belum termasuk kata-kata jorok, seperti "sundal", yang diteriakkan tepat di belakang telinga.

Siksaan itu masih berbekas trauma?

Ya, karena semua siksaan itu sangat berat. Bila di televisi ada adegan kekerasan, malamnya sering terbayang. Bahkan ketika tidur pun saya sering terbangun karena memimpikannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus