Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Meski novel Enny Arrow meraih popularitas yang tinggi pada 1980-1990-an, sosok penulis dan penerbitnya tetap tak diketahui hingga kini. Setiap terbit, stensilan mesum itu memang hanya mencantumkan nama Enny Arrow di sampulnya yang bergambar perempuan dengan berbagai pose menantang. Adapun nama penerbitnya adalah Penerbit Mawar. Keduanya tak jelas siapa dan ada di mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah tulisan tentang Enny Arrow menyebut nama Enny Sukaesih Probowidagdo sebagai penulis novel itu. Enny adalah perempuan yang lahir di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, pada 1924. Dulu dia bekerja di toko usaha jahit "Arrow" di kawasan Kalimalang, Jakarta Timur. Entah bagaimana prosesnya, Enny kemudian menulis novel pertamanya berjudul Sendja Merah di Pelabuhan Djakarta-yang terkesan "kiri"-pada 1965. Lalu dia kabur ke Filipina dan Hong Kong serta tinggal di Seattle, Amerika Serikat, pada April 1967.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Enny disebut-sebut sebagai wartawan yang memulai karier pada masa Jepang. Belajar Steno di Yamataka Agency, lalu ia menjadi salah satu propagandis Heiho dan Keibodan. Pada masa revolusi, dia bekerja sebagai wartawan Republikein, yang mengamati jalannya perang di wilayah Bekasi.
Di Amerika, Enny belajar penulisan kreatif gaya sastrawan dan peraih Hadiah Nobel John Steinbeck. Setelah menemukan irama Steinbeck, dia mencoba menulis untuk beberapa koran terkenal di Amerika. Salah satunya cerita bersambung berjudul Mirror Mirror.
Pada 1974, dia kembali ke Jakarta dan bekerja sebagai copywriter di salah satu perusahaan asing. Setelah itu, dia kembali menulis. Begitulah kisah penulis Enny Arrow yang sebenarnya tak jelas sumbernya. Cerita itu pula yang dikutip Sunardian Wirodono dalam tulisan berjudul Enny Arrow, Pejuang, Pendidik, Generasi Bangsa yang diunggah di blog pribadinya pada Sabtu, 14 November 2015.
Enny Arrow. youtube.com
Menurut Sunardian, dia mendapatkan cerita itu dari penulis novel misteri Abdullah Harahap. Pada awal 1980-an, ketika sedang menulis tentang perkembangan buku-buku bawah tanah di Jakarta, Sunardian mewawancarai penulis kelahiran 1943 itu. Tapi belakangan Sunardian justru curiga kepada Abdullah. Sebab, selain menceritakan kisah sosok Enny Sukaesih, Abdullah menyebut Enny Arrow sebagai nama samaran seorang penulis laki-laki.
Sunardian kemudian menduga Enny Arrow adalah tokoh ciptaan Abdullah Harahap. Apalagi, menurut Sunardian, Abdullah-yang aktif menulis ketika Enny Arrow booming-juga mempelajari gaya penulisan Steinbeck.
Sunardian mengatakan, pada masa itu, nama samaran ada kemungkinan sering dipakai penulis yang kepepet masalah duit. Sebab honorarium penulis waktu itu kecil, cuma Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu. Sayangnya kecurigaan Sunardian tak bisa dikonfirmasi lantaran Abdullah Harahap meninggal pada 2015. "Enny Arrow masih gelap sampai sekarang," ucapnya.
TIM TEMPO