Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Aida pulang ke amenhotep

Grup opera verona arena dari italia menyajikan opera "aida" karya guiseppe verdi di luxor, mesir. menampilkan mendemonstrasikan kebesaran, kekuasaan & sejarah mesir. mengungkap cinta segitiga.

16 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJARAH berulang pada malam semarak di Luxor. Jaraknya 820 km dari Kairo, kota itu tempat bersemayamnya kuil kuno Amenhotep III yang berumur 3.000 tahun. Bendera Mesir dan umbulumbul dikibarkan di setiap lentera yang menerangi kota yang resik, menantikan Aida pulang. Grup Opera Verona Arena dari Italia, yang biasa menyajikan Aida secara berkala pada musim semi sejak 1913, kini menampilkannya kembali di lembah Nil persis seperti pada salah satu babak aslinya. Seorang tua bergumam, "Tak pernah kota ini begini meriah sejak tahun 1923 setelah ditemukannya makam kuno Tutankhamen itu." Ia memandang rombongan yang berkereta kuda atau mobil menuju ke candi itu. Wanita-wanita anggun hadir dan menyilaukan, ketika bulan sabit menyinari pernik-pernik gaun mereka. Dan sekitar delapan ribu kursi siap diduduki pengunjungnya. Caroline, putri Kerajaan Monaco, menyita perhatian orang. Ia duduk berdampingan dengan Pierre Cardin, perancang mode yang beken dari Prancis itu. Kemudian mata pengunjung teralih dengan hadirnya Suzanne Mubarak, istri presiden Mesir Husni Mubarak, Ratu Sophia dari Spanyol, Pangeran Charles dan Putri Diana dari Inggris. Bilady (Negeriku), lagu kebangsaan Mesir, segera digemakan anak-anak Luxor, sebagai tanda pergelaran dimulai. Panggung besar, lengkap dengan orkestra, berlatarkan Sungai Nil yang agung. Di sebelah kiri tampak kuil Luxor, sedang di sebelah kanan memanjang jalan dua mil menuju kuil Karnak, berpagar ratusan sphinx. Celesta Aida mengentak penuh gairah dari tenor bintang opcra ternama, Placido Dominggo. Ia diiringi 150 penyanyi, 50 penari balet, 60 pasukan berkuda, dan 587 pengawal. Domingo, yang dibayar US$ 250.000 untuk sekali tampil pada 2 Mei lalu itu, mengawali perannya sebagai Radames, kesatria Mesir yang menyatakan cintanya pada gadis budak Etiopia. Padahal, sebenarnya si gadis adalah anak raja negeri itu. Dialah Aida yang diperankan oleh Maria Chiara. Pada babak pertama itu sebenarnya terjadi gangguan pada mikrofon - yang disematkan di pakaian pemain - hingga penonton yang duduk pada deretan terakhir kurang dapat menyimak jalannya adegan. Kepada pers, Domingo menyatakan, ia kecewa dengan sound systern dan akustik untuk arena terbuka seperti itu. "Verdi akan gembira dengan suasana sekeliling. Tapi kalau dia hadir, ia harus mendengarkan dengan lebih baik," kata Domingo. Seta del Grande, sopran kelahiran Armenia yang menggantikan Chiara untuk memerankan Aida di malam berikutnya, mengungkapkan pada Reuters, penyanyi-penyanyi itu kesulitan menyesuaikan diri dengan microphone, dan itu hampir tak mereka gunakan. Meski demikian, tepuk hadirin selalu riuh memberikan sambutan dari setiap babak yang dimainkan dalam pertunjukan tiga jam ini. Mereka puas menyaksikan pergelaran opera dengan harga hingga US$ 700 untuk satu tempat duduk ini. "Sungguh suatu pengalaman yang sangat menakjubkan," kata bekas menteri Inggris, Michael Heseltine, di antara 5.000 pengunjung yang datang dari berbagai negara. Meski pementasan terbuka yang berakhir 10 Mei ini agak terganggu kualitas suaranya, tata pentasnya serba memukau. Renzo Giaccheri menggunakan efek pencahayaan penuh untuk menerangi kuil Ahmenhotep III yang kekar, dipadukan dengan gaya pertunjukan Hollywood, lengkap dengan kuda dan singa. Tata busana pemain diperhatikan sampai ke yang sekecilnya -- seolah berada di alam kebesaran Mesir kuno. Guiseppe Verdi, yang dilahirkan di Parma - Italia, 174 tahun lalu, sebenarnya menulis Aida atas dasar naskah yang ditawarkan Ismail Pasha. Tawaran dengan biaya 150 ribu frar itu diajukan kala untuk mengisi acara pembukaan terusan Suez, 1869 - dengan latar perang, pengkhianatan serta tragedi kemalangan cinta. Selama kariernya sebagai komposer, Verdi menanjak sampai ia dapat menciptakan satu bentuk banunan musik dan drama khasnya sendiri, bahkan sejajar dengan drama musik Richard Wagner. Dalam blantika musik, Verdi, yang kemudian meninggal di Milan 1901 itu, dianggap sebagai pahlawan di negaranya. Ia telah menciptakan opera-opera termasyhur hingga saat ini, seperti Rolletto (berdasarkan naskah drama Victor Hugo). La Forza del Destino dan La Traviata. Malam itu Opera Aida menampilkan sisi lain, mereka mendemonstrasikan kebesaran kekuasaan, dan sejarah Mesir. "Saya boleh puas sekarang," ujar Maria. "Cerita yang saya perankan langsung menyentuh buminya." Kisah cinta segitiga yang melibat Firaun ini (Radames dihukum mati dalam gua, lalu disusul oleh Aida), diangka dari lembaran papyrus yang ditulis dengan huruf hieroglif. Ide pementasan yang di sutradarai Renzo Jacqierr ini datang dari Fawzi Metwalli. Pengusaha Austria kelahiran Mesir ini menyediakan dana 10 juta dolar AS atau Rp 16 milyar lebih untuk mendatangkan kembali Aida ke tanah airnya. Inilah pertunjukan luar biasa di Mesir, setelah kesenian ini absen 116 tahun yang lalu. Antosiasmo, Laporan Djafar Bushiri (Kairo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus