Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Potret diri pemimpin desa

Pengarang : nico schulte nordholt jakarta : pustaka sinar harapan, 1987 resensi oleh : prijono tjiptoherijanto.

16 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OJO DUMEH: KEPEMIMPINAN LOKAL DALAM PEMBANGUNAN Oleh: Nico Schulte Nordholt Penerbit: Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987, 556 halaman ADA semacam persyaratan yang dikenakan masyarakat desa pada pemimpinnya. Di desa-desa di Jawa, pemimpm desa sering disebut pamong. Ini bukan tanpa maksud tertentu. Bagi mereka, pamong bisa berarti "orang yang bisa ngemong (mengasuh)". Selain itu, seorang pamong, harus juga bisa ngomong (berbicara, berkomunikasi). Lebih jauh lagi, seorang pemimpin desa harus siap "di-omong-ke" alias dibicarakan, dikomentari, atau dikritik. Itu sebabnya tugas pemimpin desa dalam pengertian masyarakat Jawa tidak ringan. Selain bisa mengasuh warga desa, semacam hubungan patron-client yang murni, ia juga harus pandai berkomunikasi dan selalu terbuka untuk dikritik. Namun, sejauh mana ia bisa memainkan perannya, faktor-faktor lain di luar dirinya banyak berpengaruh. Khususnya faktor lingkungan yang bukan saja datang dari dalam diri penduduk desa, tapi terlebih-lebih yang berasal dari "atas desa". Justru pengaruh terakhir ini yang sering kali sulit tak ditaati. Justru itu, tak jarang pemimpin desa terpaksa memiliki dua wajah. Sebagai bapak bagi penduduk desa, sekaligus abdi dari kepentingan "ata desa". Dengan meminjam ciri-ciri umum yang berlaku bagi kepemimpinan yang bermutu tinggi dari D.D. Fagg, yaitu: (a) orang pintar, artinya cerdas dan pandai berbicara, (b) ingkang ngertos, pemimpin yang dapat menghayati perasaan rakyatnya, (c) orang kuat, khusus dalam kepribadiannya, (d) besar hati, lapang dada dan berjiwa besar serta sering royal dari segi materiil, dan (e) tiyang saget, berkemampuan mencapai sesuatu, Nico Schulte Nordholt melakukan penelitian atas kepemimpinan camat dan lurah dalam pembangunan desa. Wilayah yang dipilih Kecamatan Gunungsari, daerah pegunungan yang terpencil Kecamatan Kaliwangi, dataran sungai yang subur dan Kecamatan Pasisir, daerah pantai. Semuanya di Jawa Tengah. Daerah pemilihan ini dimaksud untuk tidak mengulang penelitian Fagg yang hanya terpusat pada satu kecamatan saJa. Selain ltu penelitian atas kepemimpinan camat-lurah dimaksudkan untuk memperluas titik tumpu hubungan, tidak hanya terbatas pada peran camat dan kantor kecamatan saja. Sementara itu, untuk mengetahui seberapa jauh kepemimpinan tingkat paling bawah itu bisa diterima, perlu diuraikan istilah-istilah yang sering terdengar, seperti partisipasi, pembangunan, musyawarah, kekuasaan, dan hubungan antara pemimpin dan pengikut. Seperti juga hasil beberapa penelitian lain yang berhubungan dengan pembangunan desa, tampaknya peranan camat dewasa ini masih belum berubah seperti sebelum Perang. Para camat lebih merupakan kepanjangan kekuasaan eksekutif bupati daripada sebagai rantai penghubung yang efektif. Ia lebih mirip "ujung buntu" dari aparat pemerintah pusat (halaman 193). Kenyataan ini antara lain disebabkan oleh semakin banyaknya proyek pembangunan dari pemerintah pusat yang menyebabkan perhatian camat lebih banyak tertarik ke atas. Belum lagi persepsi pembangunan desa yang digambarkan oleh negara sering kali jauh berbeda dengan keinginan desa. Buku ini sarat dengan contoh. Bahwa proses pembangunan akan sulit diterima masyarakat lokal, bila persepsi yang dibawa agak berlainan dengan apa yang hidup dalam masyarakat tersebut. Selain itu, keengganan untuk mengindentikkan diri camat dengan tiyang alit (orang kecil) merupakan sikap yang banyak ditemui dalam diri para pemimpin lokal sejak tahun 1970-an. Orientasi ke atas tampaknya telah melenyapkan sifatsifat yang seharusnya dipandang baik. Tidak berbeda dengan posisi camat, peran lurah, yang diharapkan sebagai kunci pembangunan desa, juga tidak terwujud. Hampir setiap prakarsa desa ditekan. Hampir tidak ada lagi musyawarah dalam arti kata sebenarnya (halaman 331). Seperti halnya yang terjadi pada camat, lurah lebih berorientasi ke atas dalam pelaksanaan program pembangunan. Dua kenyataan menarik yang diungkapkan Nico Nordholt dalam buku ini, sehubungan dengan peranan lurah, adalah persamaan antara tahun 1970-an dan masa kolonial. Pertama, kenyataan bahwa justru orang-orang berwatak buruk tertarik menduduki jabatan lurah. Kedua, pemerintah lebih suka berhubungan dengan beberapa ribu lurah daripada dengan berjuta-juta penduduk desa. Untuk masa sekarang, pada saat sarana komunikasi dan infrastruktur semakin canggih, kenyataan bentuk kedua tersebut hendaknya berangsur-angsur dihindarkan. Kalau tidak. maka "orientasi ke atas dengan menginjak kepala yang di bawah" akan tetap berlangsung dalam proses pembangunan desa yang sedang berjalan saat ini. Beberapa kasus yang dipaparkan dalam buku ini merupakan hasil penelitian lapangan sekitar dua tahun, melukiskan kedudukan lurah yang dualistis, sejak dulu. Dan keadaan itu tampaknya masih bisa dijumpai pada masa pembangunan dewasa ini. Sifat dualistis ini semakin kuat karena hampir tidak ada organisasi swasta yang bisa bergerak secara bebas di pedesaan. Sebagai akibatnya, banyak program pembangunan daerah yang langsung ditangani oleh dinas pemerintahan. Sedangkan gaya pembangunan seperti ini bisa dinilai lebih merupakan komando yang akan memberikan tekanan di tingkat bawahan. Akibatnya, musyawarah, yang menjadi ciri masyarakat desa sejak dulu, tidak terlaksana. Dalam keadaan seperti itu, sifat blaka (berani mengemukakan pendapat secara terus terang), jadi luntur. Sedangkan sifat semacam inilah yang perlu ditumbuhkan dalam alam pembangunan, sesuai dengan tata krama Jawa sejati. Dewasa ini, memang sulit bersikap blaka. Mula-mula ada gagasan menghiasi cover buku ini dengan lakon "Petruk Jadi Raja," yang memang lebih tepat, sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Tapi berubah, berupa ilustrasi sampul sebagai gambaran betapa sulit bersikap blaka dalam keadaan yang sama-sama kita hadapi seperti pada saat ini. * Prijono Tjiptoherijanto * Ketua LPEM FE UI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus