Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Utang

Utang negara-negara berkembang kepada negara maju semakin memberatkan. widjojo nitisastro menghimbau agar negara yang tak mampu membayar, utangnya dihapus. modal tetap mengalir ke negara maju.

16 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASALAH beban utang luar negeri, di dunia ini, merupakan tanggung jawab bersama negara yang berutang dan negara pemberi utang. Karena itu, perlu ada suatu sistem yang memungkinkan penghapusan utang, jika negara yang berutang benar-benar tidak mampu membayar. Yang membuat pernyataan di atas bukan Robert Mugabe dari Harare atau de la Madrid dari Meksiko. Tetapi Profesor Widjojo Nitisastro, di Kuala Lumpur. Dan ini bukan pertama kali Prof. Widjojo menjadi juru bicara negara-negara berkembang. Ialam Forum Dialog Utara-Selatan, Forum 77, dan lain-lain, suara lembut beliau menyajikan akal sehat yang mengejutkan - walau gagasan lurusnya sering terpaksa dlpatahkan oleh real politic dalam perimbangan pengaruh negara maju dan negara berkembang. Ya, akal sehat - beliau menegaskan tegaknya prinsip hukum dagang yang paling dasar. Dalam sistem perbankan, dimungkinkan adanya rite off atau pecnghapusan (sebagian) utang atau kredit yang tidak bakal bisa ditagih lagi, yaitu kalau orang atau perusahaan yang diberi kredit tidak bisa membayar kembali. Masalahnya, betulkah utang itu sudah tidak mungkin dilunasi. Sampai akhir 1986, utang luar negeri negara berkembang sudah mencapai 1.035 milyar dolar. Padahal, cadangan devisa terus melorot. Tahun 1986 cadangan itu tinggal tak lebih dari 156 milyar dolar - dengan tingkat penurunan, dibanding tahun sebelumnya, 16,8%. Mudah dihitung, betapa sulitnya posisi negara pengutang untuk bisa melunasi kredit. Upaya penghematan cadangan devisa - dengan menekan pengeluaran di dalam negeri - ternyata kurang menolong mereka. Usaha meningkatkan cadangan dengan menggalakkan ekspor pun menghadapi hambatan luar biasa. Kini banyak negara berkembang yang harus merelakan 40%-50% pendapatan ekspornya untuk membayar cicilan dan bunga pinjaman itu. Karenanya, dalam beberapa tahun terakhir negara-negara berkembang yang tercekik utang menggeliat-geliat. Beban berat itu kemudian membangun akal sehat mereka. Nigeria, misalnya, tetap menyanggupi membayar kewajibannya - hanya saja dengan membatasi besarnya pembayaran cicilan dan bunganya (DSR-nya) sampai hanya maksimum 30% dari pendapatan devisanya. Bahkan Peru menetapkan batas DSR 10% dari pendapatan ekspor. Brasil, malah, sudah angkat tangan. Sejak Februari 1986, negara sanjungan model industrialisasi Amerika Latin itu ternyata sudah bokek. Padahal, utang Brasil mencapai 108 milyar dolar. Lain lagi dengan Argentina, Venezuela, Cili, Meksiko, dan, yang terakhir, Filipina. Negara-negara itu, setelah beberapa waktu mengalami kesulitan memenuhi kewajiban membayar cicilan, lalu berunding. Hasilnya: mereka memperoleh kredit tambahan dengan syarat lunak, penjadwalan ulang, dan kerangka penyelamatan lain. Memang kedengaran aneh. Negara-negara ini, dengan skala utang yang ada saja, sudah repot membayar cicilan dan bunganya. Tetapi masih ditambah lagi utangnya supaya bisa membayar cicilan itu. Teorinya, di samping teknik gali lubang tutup lubang ini merupakan upaya berkelit untuk menepis bunga yang terlalu tinggi (dengan swap), utang tambahan itu dimaksud memperkukuh peluang berproduksi, dan diharap utang secara bertahap bisa dilunasi. Tetapi, kini, kita semua bersaksi. Ketika produksi merangkak meningkat, pasar internasional tak mudah ditembus, dan harga komoditi pun jatuh karena proteksi dan substitusi. Walhasil, tak ada kenaikan penerimaan devisa yang setaraf. Hasil pergumulan ini membiaskan gambaran ekonomi internasional yang memilukan, khususnya dalam hubungan antara negara miskin dan negara kaya. Terjadi arus balik: mengalirnya modal dari negara berkembang ke negara industri. Sebab, kesulitan ekspor komoditi itu telah memaksa negara miskin mengekspor hardcash. Tahun 1986 saja, penerimaan negara berkembang dari utang jangka panjang hanya 72 milyar dolar. Tetapi mereka harus membayar cicilan dan bunga sebesar 101 milyar dolar. Belum dihitung jumlah uang dan modal swasta yang kabur (capitalfliht) dari negara miskin ke negara kaya. Kini, kenyataannya, negara miskinlah yang secara neto mentransfer uangnya ke negara kaya. Kalau sistem ekonomi membiarkan arus balik itu berjalan berlarut-larut, yang kasihan 'kan rakyat negara berkembang. Sebab, sumber-sumber ekonominya terhisap secara sistemik dan berlanjut ke negara kaya. Salut kepada pendirian Prof. Widjojo Nitisastro.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus