Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Antara Kapitalisme dan Demokrasi

Sebuah buku berisi kumpulan penelitian Robert Hefner yang mengulas, antara lain, hubungan pemerintah Orde Baru dengan sebagian warga Islam.

23 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Islam, Pasar, Keadilan: Artikulasi
Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi
Penulis:Robert W. Hefner
Penerbit:LKIS, Yogyakarta

Robert W. Hefner lazim digolongkan sebagai Indonesianis—peneliti Indonesia berkebangsaan asing—generasi ketiga. Generasi ini dianggap sebagai mereka yang datang ke Indonesia pada 1970-an ke atas. Generasi pertama adalah mereka yang datang di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia (1940-1950), seperti George Kahin dan Clifford Geertz. Sedangkan William Liddle adalah contoh generasi kedua, yang datang pada sekitar 1960-an. Dibandingkan dengan dua generasi sebelumnya, konon, Indonesianis generasi ketiga ini memiliki kelebihan, yaitu empati yang lebih dalam terhadap subyek kajian mereka, yakni masyarakat Indonesia.

Kategorisasi tersebut mungkin ada benarnya, meski tak sepenuhnya. Yang jelas, sikap empati dalam penelitian Robert Hefner terlihat pengaruhnya dalam pokok-pokok pikiran yang dituliskannya dalam buku berjudul "Islam, Pasar, Keadilan", yang memuat tujuh esai panjang plus satu esai pengantar. Sebagai seorang antropolog Amerika Serikat yang selama berpuluh tahun meneliti masalah ekonomi, politik, dan agama, Hefner mengklaim telah menyaksikan varian-varian lokal jalan menuju demokratisasi dan kapitalisme di Indonesia dan Asia pada umumnya.

Lewat pengalaman Indonesia di masa pramodern hingga masa kini, Hefner berkesimpulan bahwa "terdapat kolam air sumber daya kultural yang besar bagi demokrasi dan interpretasi pluralis politik Islam". Sebuah konstatasi yang bersilang-sengketa dengan pandangan-pandangan beberapa sarjana Barat lainnya, sebutlah Samuel Huntington, yang begitu percaya bahwa terdapat "ketidaksesuaian peradaban yang mendasar antara Islam dan demokrasi". Dengan nada kritis, Hefner mengungkap bahwa Huntington tampaknya membuat kesimpulan itu dari beberapa pemikir Islam konservatif yang telah membekukan politik Islam dalam cetakan historis yang tak berubah.

Menurut Hefner, perlu dibedakan juga antara ajaran normatif umum dalam Islam dan batasan-batasan zaman serta tempat spesifik yang kompleks. Di dalam sebuah dunia penindasan, buta huruf massal, dan penduduk urban yang dikuasai oleh tiran, kita jangan terkejut melihat bahwa realisasi ideal demokratis Islam akhirnya menjadi tak mungkin. Cerita akan lain bila ada kondisi pendidikan massal, kumpulan warga yang bersemangat, kemakmuran ekonomi, dan kontrol terhadap kekuasaan negara. Kesemuanya itu merupakan prospek awal bagi sumber daya kultural ataupun politis Islam yang akan mampu mewujudkan cita-cita sebuah negara demokrasi.

Selain itu, Hefner juga mengingatkan (seolah khusus ditujukan kepada koleganya sesama ilmuwan Barat) bahwasanya di Barat pun, jalan menuju demokratisasi begitu beragam. Prancis, misalnya, memiliki pengalaman yang berbeda dengan Amerika Serikat, sang kampiun demokrasi. Dalam kaitannya dengan komunitas Islam, mulai Spanyol, India, Amerika Serikat, sampai dunia Islam sendiri, Hefner berkesimpulan bahwa tatanan keagamaan yang paling mendukung kemajuan demokrasi adalah tatanan yang memperkuat dan melegitimasi pluralisme.

Hal ini relevan untuk Indonesia, tempat agama hanya akan memperkuat demokrasi ketika para pemimpin agama menjaga jarak dengan hati-hati, yaitu dengan tidak membiarkan diri disubordinasi oleh tingkah para penguasa atau program partai mana saja.

Persoalan (pemimpin atau intelektual) agama yang disubordinasi oleh kekuasaan—yang bersifat kontraproduktif terhadap proses demokratisasi—tampaknya dikemukakan Hefner karena kaitannya erat dengan pengalaman Islam di Indonesia, khususnya di era 1990-an, dengan fenomena Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)-nya.

Hefner juga menulis dominasi kepentingan politik pribadi Soeharto dalam ICMI melalui dua esainya, berjudul Islamisasi dan Demokratisasi dan Islam dan Bangsa Pasca-Soeharto.

Menurut dia, Soeharto sengaja menciptakan kedekatan dengan umat Islam sebagai pengimbang memburuknya hubungan dengan para perwira tinggi ABRI, terutama dengan tokoh berpengaruh mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI, Benny Moerdani. Sebagai orang paling kuat dalam militer Indonesia pada akhir 1980-an, Benny adalah orang yang berani bertanya kepada Soeharto mengenai kegiatan bisnis keluarganya yang korup. Tapi, seperti terhadap para penentang sebelumnya, Soeharto tidak menerima kritik. Dia melancarkan kampanye yang tak kenal ampun guna menetralisasi pengaruh Benny dalam ABRI, dan berusaha membuat perimbangan kekuatan ABRI dengan kekuatan umat Islam. ICMI sebagai alat kontrol politik Soeharto, lebih daripada cermin kesalehan pribadi, semakin tampak dari terbatasnya keterbukaan politik yang diberikan. Sejak awal, ungkap Hefner, warga Islam yang dianggap kritis terhadap rezim disingkirkan dari jajaran mereka yang mendapat kemurahan (posisi) dari Soeharto. Amien Rais mengundurkan diri (dicopot ?) dari posisi Ketua Dewan Pakar, sementara Sri Bintang Pamungkas digiring ke penjara. Pada 1994-1995, para birokrat negara begitu mendominasi kepemimpinan ICMI, hingga unsur muslim independen mengeluh bahwa mereka telah kehilangan kontrol atas organisasi mereka sendiri.

Yang menarik, sampai di sini tampaknya Robert Hefner secara tak langsung mengakui bahwa tesis William Liddle dalam Giliran Islam di dalam Politik Indonesia: Sebuah Penjelasan Berpusat Negara (Islam, Politik, dan Modernisasi, Sinar Harapan, Jakarta, 1997, halaman 65-99) mengenai raison d'etre ICMI ketika itu lebih mendekati realitas politik sebenarnya. Saya kira kita harus menghargai revisi interpretasi ini sebagai bentuk "sportivitas" akademik dari seorang ilmuwan sekaliber Robert Hefner.

Berhubungan erat dengan demokratisasi, Hefner mengangkat masalah kapitalisme dan bagaimana menciptakan ekonomi pasar yang lebih adil di Indonesia. Bertentangan dengan Marx dan beberapa ekonom modern lainnya, kapitalisme di mana-mana tidaklah sama. Kapitalisme merupakan sistem terkait-konteks (embedded system) yang sangat tergantung pada politik lokal, organisasi-organisasi sosial, dan moralitas. Betapapun kuat koneksi globalnya, kapitalisme dalam makna konteks lokalnya adalah plural dalam politik dan maknanya. Kapitalisme Swedia tidak sama dengan kapitalisme Amerika; Amerika tidak sama dengan Jepang.

Berbeda dengan kepercayaan lama, yang menganggap bahwa kapitalisme akan melunturkan ikatan-ikatan sosial dan menimbulkan individualisme yang tinggi, riset mutakhir di Asia dan di tempat lain menunjukkan bahwa sebagian dari keampuhan bisnis Cina, misalnya, terletak pada sifat dari jaringan kapitalisme. Bisnis Cina tidak saja terletak pada ikatan keluarga yang kuat, walaupun ini penting, tetapi pada kemitraan sejajar dan egaliter yang dikenal sebagai guanxi. Bersama-sama dengan guanxi dan ikatan keluarga, membantu apa yang menjadi sumber daya yang tepat untuk keberhasilan bisnis: kepercayaan kepada mitra.

Menurut Hefner, implikasi politik dan etis dari kebenaran ini penting dan vital bagi pemikiran ulang masa depan ekonomi Indonesia. Ketika kapitalisme menyatu dengan tatanan sosial yang tidak adil dan rezim diktatorial, maka sejarah menunjukkan bahwa kapitalisme hanya akan menambah kemalangan itu, sebagaimana Indonesia telah mengalami "kapitalisme perkoncoan" ala Orde Baru. Khusus bagi umat Islam Indonesia, pertanyaannya adalah apakah kapitalisme modern dalam masyarakat yang dominan Islam seperti Indonesia akan menunjukkan pengaruh konteks sosial lokal, dan terutama nilai-nilainya. Saya kira Hefner bermaksud mengatakan, di sinilah letak tantangannya.

Mohammad Qodari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus