Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AWAS, bahaya cyborg." Begitu judul surat pembaca yang dimuat di harian lokal Denpasar, pertengahan Juli lalu. Surat itu berisi kecaman terhadap sejumlah penganut Hindu yang dituduh ingin mengindiakan Hindu di Bali. Mereka, di mata penulis surat itu, adalah cyborg, robot setengah mesin, yang mengancam tradisi.
Pekan-pekan ini, sebagian tokoh agama Hindu setempat memang terlibat polemik tajam di media massa. Polemik itu menyangkut keberadaan aliran-aliran dalam agama Hindu yang dianggap baru dan impor dari luar negeri, di tengah masyarakat Bali. Yang dituding sebagai aliran baru itu antara lain Sai Baba (Sai Study Group), Hare Krisna, dan Ashram Bali Gandhi Vidyapith.
Agaknya "keramaian" itu adalah reaksi atas pernyataan I Wayan Suarjaya, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha Departemen Agama, di depan sejumlah tokoh agama di Pura Lenteng Agung, Jakarta, awal Juli lalu. Menurut Suarjaya, umat Hindu kini sedang dilanda "badai" masalah internal karena banyaknya aliran agama Hindu dari India, Jepang, Eropa, Amerika, dan Australia yang masuk ke Indonesia. Aliran-aliran baru itu dikhawatirkan bisa menggerus tradisi yang berkembang di Bali. Padahal, soal sekte-sekte di Bali telah lama tuntas dengan disatukannya semua aliran dalam konsep yang disebut Tri Murti Tattwa. Dalam perkembangan selanjutnya, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) memutuskan semua perwujudan itu bisa disatukan dalam Padmasana.
Menurut Ketua Lembaga Babad Bali Agung, I Nyoman Joni Gingsir, konsep agama Tri Murti Tattwa yang oleh sebagian orang disebut Hindu Bali telah berlangsung ratusan tahun dan menjadi tradisi Bali. Beberapa tradisi itu dikritisi oleh beberapa tokoh aliran "baru" tersebut. Contohnya, upacara ngaben dengan biaya besar-besaran . "Kami menolak upacara yang berlebihan, apalagi sampai harus utang," kata I Wayan Jendra, Koordinator Region III Sai Study Group. Tradisi lain yang dikritik adalah penggunaan daging hewan untuk upacara dan tabuh rah (persembahan darah hewan). Selain itu, Sai Baba dan kedua kelompok itu sama-sama menganjurkan upacara agnihotra, ritus penyembahan kepada Dewi Agni, yang relatif sederhana. Hal-hal itulah yang tampaknya mengusik kalangan penganut tradisi.
Tapi, apa sebenarnya ketiga kelompok spiritual itu? Sai Study Group adalah kelompok yang berusaha mendalami kitab suci Weda dan mengamalkannya. Dalam persembahyangan, kelompok Sai menekankan anggotanya untuk bisa menyanyikan syair suci dan mantram. Mereka masih memakai banten secara terbatas dan mempraktekkan upacara agnihotra. Salah satu ciri yang tampak dari Sai adalah ajaran vegetarian, dan karena itu menolak upacara yang menggunakan daging sebagai sesaji.
Merasa tak beda jauh dengan penganut Hindu di Bali pada umumnya, I Wayan Jendra menolak tudingan bahwa kelompoknya merupakan sebuah aliran. "Dalam ajaran Hindu, ada istilah adi-karana, yaitu kebebasan untuk memilih disiplin spiritual tertentu yang disenangi," kata Jendra. Jalan spiritual yang dimaksud adalah menjadikan Sai Baba sebagai guru dan meyakininya sebagai seorang avatara (pembawa sabda Tuhan). Kelompok yang masuk ke Bali sejak 1970-an itu kini beranggotakan 10 ribu orang.
Sementara itu, Ashram Bali Gandhi Vidyapith mulai didirikan di Denpasar pada 1976. Dinamakan Gandhi karena kelompok itu memakai spirit Mahatma Gandhi, guru bangsa India, yang mereka anggap telah berhasil menerapkan ajaran Weda dalam kehidupan sehari-hari. Kelompok ini punya beberapa ciri, antara lain vegetarian, antikekerasan, menolak upacara yang menggunakan penyembelihan hewan, dan menolak upacara tabuh rah. "Kami mengambil spiritnya saja bahwa yang harus kita sembelih adalah ego kita," kata Indra Udayana, Koordinator Ashram Gandhi.
Agak berbeda adalah Hare Krisna, aliran Hindu dari India yang menjadikan Krisna sebagai tekanan pemujaan. Ciri aliran ini antara lain adalah vegetarian, melakukan upacara agnihotra, mengkaji Weda secara intensif, mewujudkan tatanan pola hidup Weda, memakai musik untuk meditasi, dan memakai kasta berdasarkan bakat dan karya.
Fakta yang tampak: aliran-aliran yang disebut baru itu disambut oleh kalangan muda dan sebagian tokoh-totoh intelektual Bali, juga sebagian pengurus PHDI. Di mata Gedong Bagus Oka, pendiri Ashram Gandhi, kalangan muda berusaha mencari jawaban ala Hindu atas persoalan-persoalan baru, sesuai dengan zamannya. Jadi, keberadaan kelompok spiritual itu, menurut Ibu Gedong, tak perlu dipersoalkan. "Pemeluk Hindu boleh menafsirkan agama menurut kata hatinya," kata tokoh agama yang bereputasi internasional itu.
Kelik M. Nugroho, Rofiqi Hasan (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo