Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PBB menyatakan separuh bahasa daerah akan punah pada akhir abad ini.
Perubahan iklim yang mendorong migrasi menjadi faktor utama kepunahan bahasa lokal.
Kehilangan bahasa daerah berarti hilangnya mata rantai pengetahuan soal kawasan tersebut.
Laporan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu meresahkan. Pada akhir abad ini, separuh dari bahasa daerah akan punah dan hanya menyisakan 300-600 bahasa. Itu merupakan hitung-hitungan optimistis. Jika memakai skenario pesimistis tapi lebih realistis, 90-95 persen bahasa akan hilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyebabnya macam-macam. Namun banyak ahli menunjuk satu faktor utama, yaitu perubahan iklim. Berbagai bencana akibat krisis iklim memaksa banyak orang bermigrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam situs web 360info, Anouschka Foltz, lektor kepala bahasa Inggris di University of Graz, Austria, menuliskan suatu bahasa akan punah jika para orang tua tak mengajarkan bahasa ibu kepada anak-anak mereka. Situasi seperti ini kerap terjadi saat orang-orang dengan bahasa minoritas berganti ke bahasa lain yang lebih menguntungkan secara ekonomi.
Migrasi berperan besar terhadap kepunahan bahasa. “Contohnya, kebanyakan generasi kedua para imigran di Amerika Serikat sangat menguasai bahasa Inggris, tapi tidak tahu bahasa ibu mereka,” demikian Foltz menulis. “Bahasa Inggris menguntungkan mereka, baik secara ekonomi maupun budaya, tak seperti bahasa ibu.”
Ilustrasi bahasa. Shutterstock
Contoh yang lebih ekstrem ada di Australia dan Amerika Serikat. Foltz mengatakan 89 persen bahasa lokal di Australia dan 98 persen di AS terancam punah pada 2021. Kedua negara itu memiliki sejarah kolonialisme dan menjadi tujuan imigrasi besar-besaran dari Eropa.
Migrasi yang berlangsung sekian abad lalu itu mempengaruhi keadaan bahasa sekarang. Menurut Foltz, hampir semua orang menggunakan bahasa Inggris dan tak mewariskan bahasa ibu ke anak-anak mereka. “Jadi, imigrasi yang berlangsung sekarang menjadi kerugian bagi bahasa di masa mendatang,” kata dia.
Mari kita lihat kondisi sekarang. Global Trends Report 2022 menyatakan lebih dari 108 juta orang terusir dari kampung halamannya pada tahun lalu. Sebanyak 61 juta di antaranya mengungsi di dalam negeri.
Lebih dari separuh pengungsi dalam negeri itu meninggalkan rumah mereka akibat bencana alam, seperti banjir dan badai. Sisanya, mengungsi akibat konflik dan kekerasan.
Hampir semua pengungsi di Eropa dan Asia Tengah pada 2022 mengungsi akibat konflik serta kekerasan. Sebaliknya, sebagian besar pengungsi di Asia Selatan, Asia Timur, dan negara-negara Pasifik terkena dampak bencana alam, seperti banjir dan badai. Masalahnya, Foltz melanjutkan, negara-negara dengan kekayaan bahasa terbesar di kawasan itu sangat terkena dampak bencana lingkungan.
Papua Nugini, misalnya, memiliki 839 bahasa dan 313 di antaranya terancam. Di Vanuatu, ada 108 bahasa yang separuhnya terancam punah. Adapun Indonesia memiliki 704 bahasa, India (424), dan Filipina (175). “Hampir separuh dari bahasa di ketiga negara tersebut terancam punah,” Foltz menulis.
Kebanyakan pengguna bahasa yang terancam itu tinggal di wilayah yang sempit dan hanya memiliki ratusan orang yang menguasai bahasa daerah tersebut. Menurut Fotlz, jika pengguna meninggalkan komunitasnya dan menyebar, kemungkinan mereka menurunkan bahasa ibu kepada anaknya menjadi lebih kecil lagi.
Dampak lain perubahan iklim terhadap bahasa dapat dilihat di Teluk Bengal dan dijelaskan lewat penelitian Vysakh R, mahasiswa doktoral di Indian Institute of Technology di Gandhinagar. Dia menuliskan hasil penelitiannya di 360info. Pulau Teressa, bagian dari Kepulauan Andaman dan Nicobar; dan tetangganya, Pulau Chowra, memiliki bahasa yang mirip, yaitu Luro dan Sanenyo.
Pada akhir 2004, warga Chowra mengungsi ke Teressa setelah pulau kecil mereka diporak-porandakan tsunami. Sekarang, 19 tahun setelahnya, Saneyo—bahasa warga pengungsi—menggantikan Luro, bahasa tuan rumah.
Vysakh mengatakan bahasa pendatang menggusur bahasa tuan rumah karena antara penduduk Teressa dan Chowra terjalin hubungan erat selama berabad-abad serta perpindahan antarpulau merupakan hal yang biasa terjadi.
Kepulauan Andaman, India. Shutterstock
Kepunahan suatu bahasa bukan hanya kehilangan besar bagi ilmu linguistik, tapi juga bagi lingkungan. Foltz mengatakan bahasa daerah merupakan kunci pengetahuan bagi banyak tanaman lokal, termasuk manfaatnya bagi kesehatan. Hal yang sama berlaku pada pengetahuan tentang satwa dan cara hidup berkesinambungan di kawasan tersebut. “Artinya, kita kehilangan pengetahuan untuk hidup lebih baik dan sehat,” kata Foltz.