Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Biarkan Mereka Menyanyi (Saja)

Sebuah film dengan plot dan subplot yang bertumpuk dan jalan cerita yang klise. Untung saja, lagu, suara para pemain, dan tata artistik bagus.

28 Maret 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FANTASI Sutradara: Sergius Sutanto dan Putu Kusuma Wijaya Skenario: Hilman Hariwijaya Pemain: Micky, Rini, Cindy, Tia, Mathias Muchus, Cut Mini Produksi: Flying Fish Picture

Mohon izin. Terutama bagi para penggemar acara AFI (Akademi Fantasi Indosiar) yang fanatik (adapun permohonan izin ini disampaikan dengan kedua belah tangan yang ditangkupkan dan sedikit gemetar—Red.). Sebelum membicarakan film ini, boleh awak bertanya: Apakah kita akan memperlakukan film ini sebagai sebuah perayaan anak-anak negeri ini yang berbakat (menyanyi) saja; atau dengan kejam kita memasukkan film ini ke satu keranjang bersama film-film indonesia lainnya yang dibuat dengan serius, dengan tekun, dengan perjalanan riset dan penulisan skenario yang memakan waktu berbulan-bulan, yang dikerjakan demi kemajuan dunia penciptaan dan dunia sinematografi Indonesia?

Jika kita memilih yang pertama, tulisan ini cukup selesai dengan empat kalimat pendek. Lagu-lagunya enak. Aransemen musiknya oke punya. Suara Micky dan Rini merdu sekali. Dan, oh, Micky sungguh ganteng dan dia memang calon hunkie (ini istilah untuk idola pria—Red.). Tetapi, apa boleh buat. Para sineasnya menamakan produknya sebagai film layar lebar. Maka, sembari menghela napas, kita perlakukan film ini seperti film-film lainnya.

Tampaknya penulis skenario Hilman Hariwijaya dijatuhi tugas yang mahaberat. Menurut tugas, dia harus membuat cerita drama musikal yang harus melibatkan hampir semua finalis AFI 1 dan 2 yang berjumlah puluhan. Jadi, harus bisa dimaklumi dan dibayangkan bagaimana Hilman tersandung-sandung memasukkan puluhan subplot yang bergelantungan pada plot utama, dan terengah-engah menjahitnya menjadi satu benang merah panjang (dan oh, jangan lupa, dalam seluruh kisah itu harus ada gerak dan lagu!). Kisah utama film ini sebetulnya berpusat sebuah sekolah bernama Fantasi. Tak jelas ini sekolah apa. Tampaknya sekolah ini kurang lebih merupakan versi enteng dari Sekolah Musik New York yang menjadi latar belakang film Fame karya Alan Parker. Di sekolah itu, kita mengenal Ronald (Micky), siswa ganteng dengan suara emas; Bunga (Cindy), pacar Ronald, siswa cantik yang juga dikenal sebagai pemain sinetron kejar tayang yang luar biasa angkuh dan dominan; serta Indah (Rini), siswa kelas 2 yang sehari-hari bekerja sebagai pelayan kafe. Ringkasnya, Bunga is the bad girl; Indah adalah the good girl. Sejak awal, penonton sudah tahu bahwa Ronald akan bubar dengan Bunga yang gemar menjajah dan berhati buruk itu dan berpaling pada Indah yang baik hati dan bersuara luar biasa itu. Di antara itu, penonton kemudian ditumpuk dengan beberapa subplot. Cinta segi tiga Olla (Nia), Aldo (Adit), dan Yudi (Veri). Lalu ada trio Lili (Pasha), Lala (Rindu), Lulu (Lia)—ya ampun, kehabisan nama eui—yang kemudian dipasang-pasangkan dengan duo Jaka (Adi) dan Jeki (Dicky). Di bawah pimpinan Pak Arie (Mathias Muchus) yang feminin dan Twiggy (Cut Mini), semua anak-anak sekolah ini berlatih keras untuk sebuah pertunjukan drama musikal berjudul Jakarta Cinderella.

Ide untuk meramaikan genre drama musikal memang bisa dipahami, karena film ini berangkat dari sebuah acara kontes musik—yang belakangan menjadi ”industri”—yang memiliki penonton dan penggemar fanatik. Problem utama dari genre ini di Indonesia adalah musik sering dijadikan penunjang belaka seperti film Bollywood (yang memasukkan nyanyian pada saat tokohnya tengah jatuh cinta atau patah hati). Film seperti The Sound of Music (Robert Wise); Jesus Christ Superstar (Norman Jewison), Fame (Alan Parker) dan Chicago adalah film musikal yang menggunakan musik sebagai roh film. Dialog hampir tak diperlukan karena setiap sekuens dan setiap adegan merupakan sebab-akibat yang disajikan dengan musik. Adapun Tiga Dara (Usmar Ismail), Bawang Putih, Pacar Ketinggalan Kereta (Teguh Karya), Sherina (Riri Riza), adalah film yang ingin mengarah ke drama musikal.

Film Fantasi bukan mengarah ke drama musikal, melainkan sebuah film yang terlalu banyak keinginan, terlalu banyak permintaan, terlalu banyak plot dan subplot dan pemain yang lebih bagus saat bernyanyi dan kurang greget pada saat berperan. Justru karena saya termasuk penonton AFI yang agak berharap pada film ini; dan harapan itu runtuh seketika melihat betapa tidak rapinya pengadeganan dan penyuntingan film ini. Alhamdulillah, musik, tata artistik, dan suara pemain menutupi kekecewaan ini. Alhamdulillah pula, wajah anak-anak AFI enak dipandang. Tetapi itu semua memang bukan modal cukup untuk sebuah film drama musikal. Apa boleh buat, mereka sebaiknya dikembalikan pada fitrahnya: menjadi penyanyi yang dahsyat.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus