Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Bila Esok Ibu Tiada, FIlm Kegelisahan Seorang Ibu

Bila Esok Ibu Tiada bercerita tentang kasih sayang ibu yang menguras air mata. Kedekatan cerita dengan realita menjadi kunci.

 

14 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Film Bila Esok Ibu Tiada ditonton oleh 3,1 juta orang. 

  • Film ini menunjukkan ada perubahan pola kerja sutradara Rudi Soedjarwo yang signifikan.

  • Akting natural jadi kekuatan utama film Bila Esok Ibu Tiada.

KEDUA mata Lolita sembap ketika ia dan dua kawannya keluar dari salah satu studio di sebuah bioskop di Jakarta Selatan, Rabu, 11 Desember 2024. Ia masih menggenggam selembar tisu yang sesekali ia usap di kedua matanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rupanya belum habis air mata perempuan 30 tahun itu meratapi cerita film Bila Esok Ibu Tiada. Lolita terlalu larut dalam kesedihan film arahan sutradara Rudi Soedjarwo tersebut. "Saya jadi teringat almarhumah ibu," ujarnya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bila Esok Ibu Tiada adalah film adaptasi dari novel populer karya Nagiga Nur Ayati berjudul serupa. Film ini bercerita tentang kehidupan sebuah keluarga dengan empat anak yang sangat bergantung pada ibu mereka. Sang ibu, yang diperankan Christine Hakim, masih terpukul setelah suaminya, yang diperankan Slamet Rahardjo, meninggal. 

Alih-alih membantu ibunya bangkit, anaknya justru sibuk masing-masing. Paling parah, mereka melupakan hari ulang tahun sang ibu. Perpecahan makin menjadi ketika keempat anaknya—Ranika (diperankan Adinia Wirasti, Rangga (Fedi Nuril), Rania (Amanda Manopo), dan Hening (diperankan Yasmin Napper)—kerap bertengkar.

Pertengkaran itu berurusan dengan cara mereka merawat ibunya. Ya, seperti orang dewasa saat ini, mereka sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan masing-masing. Ditambah beberapa masalah lain, semacam Hening yang ketahuan berpacaran diam-diam, Rania yang merebut sahabat karib Ranika, dan Rangga yang tidak memiliki pekerjaan, seperti tumpukan daun kering yang mudah tersulut api. 

Adegan film Bila Esok Ibu Tiada. Leo Pictures

Film ini menjadi contoh peribahasa populer "seorang ibu bisa merawat 10 anak, tapi 10 anak belum tentu bisa merawat seorang ibu". Entah siapa gerangan yang menulis peribahasa tersebut. Namun kalimat ini memang sangat dekat dengan kehidupan nyata. 

Pujian layak diberikan kepada sutradara Rudi Soedjarwo yang berhasil menerjemahkan cerita Bila Esok Ibu Tiada serealiatis mungkin seperti kejadian nyata di keluarga Indonesia. Dari penggambaran hubungan antarkarakter yang dinamis tapi rumit. 

Rudi sukses memberikan gambaran perubahan drastis dari awalnya keluarga harmonis ketika sang ayah masih hidup hingga tercerai-berai. Kekuatan penokohan masing-masing karakter juga patut diacungi jempol.

Penampilan Slamet Rahardjo dan Christine Hakim sudah tentu tak perlu diragukan lagi. Terlebih Christine yang memang punya porsi akting lebih banyak. Aktris 67 tahun itu berhasil menampilkan kekosongan dan kesedihan mendalam dari seorang perempuan yang ditinggal mati suami dan mendapati anak-anaknya justru saling berkonflik. 

Adinia Wirasti juga mampu tampil luar biasa sebagai anak sulung yang otoriter dan keras kepala. Juga Fedi Nuril, anak tengah yang tak percaya diri dan kurang dewasa. 

Selain menuai pujian, Bila Esok Ibu Tiada mendapat sambutan baik di bioskop. Menurut akun media sosial mereka, film produksi Leo Pictures ini sukses meraup 3,7 juta penonton per 12 Desember 2024. Walhasil, Bila Esok Ibu Tiada masuk daftar 10 besar film terlaris tahun ini. 

Christine Hakim dalam film Bila Esok Ibu Tiada. Leo Pictures

Perubahan pola pengerjaan film digadang-gadang menjadi kunci sukses Bila Esok Ibu Tiada. Rudi mencoba meninggalkan proses produksi yang terlalu berpaku pada naskah. Ya, sebelumnya pria 53 tahun itu dikenal sebagai sutradara yang memegang teguh naskah dalam setiap pembuatan film. 

Adapun dalam produksi Bila Esok Ibu Tiada, Rudi lebih memberikan ruang kebebasan bagi para aktor dan aktris. Dia ingin para pemeran bisa meluapkan ekspresi senatural mungkin. Bahkan ia mempersilakan mereka berimprovisasi jika diperlukan. Sebab, improvisasi terkadang menyuguhkan kualitas akting yang alami tanpa dibuat-buat.

Perubahan ini diakui Fedi Nuril. Sebelum tampil di Bila Esok Ibu Tiada, Fedi pernah bermain untuk film Rudi berjudul Mengejar Matahari yang tayang pada 2004. Menurut Fedi, Rudi memberikan kebebasan bergerak dan berdialog selama proses pengambilan gambar Bila Esok Ibu Tiada. 

Aktor 42 tahun itu mengatakan sutradara ingin semua pemeran bisa bergerak 360 derajat dan sealami mungkin. "Kalau dibilang mirip film dokumenter," tutur Fedi. 

Selain itu, Rudi meminta para pemain sebisa mungkin menyelesaikan satu adegan dalam sekali ambil gambar. Walhasil, jika ada yang salah di bagian akhir, proses pengambilan gambar harus diulang sejak awal. "Seperti pentas teater atau tarian. Harus ingat dialog masing-masing. Juga ingat kamera habis ini akan ke sini," kata Fedi.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus