BAGI penggemar film India, ini niscaya berita buruk. Sejak akhir bulan silam, industri film di sana melakukan pemogokan besar-besaran. "Tidak pernah dalam sejarah film kita terjadi yang seperti ini," kata Sunil Dutt, bintang terkenal yang juga anggota parlemen. Bukan saja produksi dihentikan. Di sejumlah kota, bioskop-bioskop ikut solider dengan menyetop pertunjukan mereka. Akibat aksi boikot gedung bioskop itu saja, kas pemerintah Kota Bombay, misalnya, setiap hari kehilangan Rp 3,6 milyar pajak tontonan. Dan pajak ini, boleh diingat, baru satu jenis. Bagi sebuah film, untuk bisa sampai diputar di gedung bioskop, ada kewajiban membayar 21 macam pajak. Aneka macamnya jenis pajak itu bukan hal baru. Berbagai usul, saran, serta petisi sudah sering diteriakkan, dan semuanya dirasakan tidak mendapat tanggapan. "Mereka itu mendapat gambaran yang salah tentang dunia film kita," kata Sunil Dutt. Dutt tidak menyangkal adanya sejumlah bintang yang bergelimang kemewahan. "Tapi itu hanya berjumlah kecil dari sekitar sejuta orang yang hidupnya bergantung pada industri film." Gambaran keliru yang mendominasi kalangan pemerintah itu tampaknya disebabkan oleh jauhya jarak kaum terpelajar India dari film buatan negeri sendiri -- yang mutunya memang rendah. Dan rentangan jarak itulah, justru, yang telah menempatkan India ke kedudukan negara yang paling banyak menarik pajak dari dunia film. Pajak tontonan saja mencapai 60% harga karcis sekadar contoh. Padahal, industri film India juga sedang dilanda musibah video bajakan. "Orang India sekarang lebih suka menonton video. Sewanya 50% lebih murah dari karcis bioskop," kata seorang pembicara dalam rapat umum para artis dan pekerja film di sebuah studio besar di Bombay, pekan silam. Yang menyakitkan orang film, untuk pasal bajakan ini, adalah sikap pemerintah yang mereka anggap bisu. Dan terjadilah: para insan perfilman, kehilangan seluruh kesabaran, akhirnya melakukan aksi piket di berbagai penjuru kota. Hasilnya: sejumlah besar video bajakan, yang bisa mereka sita, diserahkan kepada polisi. Belum puas, pekan silam para insan itu memunculkan ide baru: mogok makan. Begitu pikiran disebarkan, muncul dengan segera 500 orang mencatatkan nama. Belum didapat keterangan kapan ulah itu akan dimulai. Yang terdengar, malah, Perdana Menteri Rajiv Gandhi mengirimkan seorang menterinya ke Bombay untuk penyelesaian. Soal yang harus segera diselesaikan: bagaimana memberi makan sejumlah besar pegawai film. Para pekerja di studio, di laboratorium, di bebagai kantor film, di gedung-gedung bioskop, semuanya toh harus hidup ? Usaha yang mereka lakukan, yang terpenting, adalah penyelenggaraan berbagai pertunjukan dengan menghadirkan para penyanyi dan bintang terkenal. Untungnya, cara seperti itu sudah terhitung lazim di sana -- misalnya yang sering diadakan pemerintah, bila dibutuhkan mobilisasi dana untuk sumbangan bencana alam. Dan sukses. Menurut sebuh sumber di Bombay, dalam acara sosial kalangan film ini Amitabhchan, aktor yang juga anggota parlemen, bisa mengumpulkan Rp 1,2 milyar lewat hanya satu show. Buat sementara keresahan orang kecil perfilman teratasi, memang, tapi bukan hari depan dunia film sendiri -- dan bukan peluang tetap mengalirnya pajak film ke kocek pemerintah. Belum didapat kesepakatan antara kalangan film dan pemerintah, khususnya menteri yang dikirimkan ke Bombay itu, mengenai pemecahan soal. Berarti, pemogokan akan masih tetap berjalan. Dan, sementara itu pihak film terus saja merambatkan langkah mereka. Mula-mula mereka menghentikan suplai film buat siaran televisi milik pemerintah. Sasaran meluas: juga musik-musik film, yang biasanya mereka berikan cuma-cuma kepada All India Radio yang juga milik pemerintah. Televisi dan radio akhirnya dipaksa mengulang bahan-bahan siaran lama. Dan, di berbagai penjuru dunia, tempat-tempat yang merupakan klien tetap film India sudah mulai memperdengarkan suara gusar. Timur Tengah, salah satu langganan utama Bombay, pekan silam mengeluh: dalam beberapa minggu ini persediaan bakalan habis. Afrika Timur hampir sama. Kalangan keturunan India, dalam pada itu, yang jumlahnya bukan main besar, dan yang selama ini menggantungkan hiburan mereka pada Bombay, juga "kehilangan pegangan". Begitu pula para pemilik bioskop Indian Hall di London, misalnya, tempat film India di tahun-tahun terakhir ini menarik banyak pembeli karcis. Jika pemogokan berjalan terus, sejumlah bioskop di sana akan ditutup. Tetapi, hitung-hitung, dunia perfilman juga yang akan mengalami kerugian besar dari kemelut ini. Yakni dari hilangnya hasil ekspor produksi mereka -- yang per tahun memasukkan rata-rata 20 juta dolar. Menariknya, kegiatan ekspor ini bukan hanya tidak banyak ditohok pajak, tapi juga mendapat insentif pemerintah. Sisi ekspor ini pulalah yang menyebabkan kalangan produser mampu menahan beban pajak yang begitu berat dan begitu lama. Di Indonesia, dampak ekonomi pemogokan ini memang tidak begitu berarti. Kuota film India di sini hanya 25 dari sekitar 200 film impor per tahun. Lagi pula, dominasi film negeri itu, yang pada 1950-an berhasil mendesak film Indonesia dari bioskop kelas bawah -- sementara bioskop kelas atas dikuasai Hollywood -- sudah lama berlalu. Yang tertinggal hanya teknik tertentu membikin film -- yang umumnya berdasarkan formula-formula atau resep-resep yang di India dikenal sebagai masala, alias campuran berbagai bumbu yang menjadikan masakan lezat dan digemari. Kita di Indonesia, konon, menerima resep itu dari para produser keturunan India, yang memang sangat aktif di dunia film kita. Untung, kita tidak kebagian pemogokannya. Salim Said
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini