Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Patriotisme mennyemai benih di ...

Mahasiswa univ. pattimura menanam bibit bakau mengikuti para nelayan muda di pantai teluk ambon. ikan mudah didapat jika ada pohon bakau di pantai. kini wujud patriotisme tumbuh dengan semangat pembangunan.

22 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH pemuda sibuk menanam pohon, menghijaukan bukit kering di Kecamatan Ularang, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Mereka ingin membikin hutan rakyat supaya mata air kembali hidup, dan tanah menjadi subur. Seorang pemimpin lembaga swadaya masyarakat membimbing mereka supaya tanah hidup kembali. Jika tanah hijau, maka jambu mete, kemiri, dan kapuk bisa tumbuh dan memberi mereka makan. Berilah tanah itu kehidupan, dan tanah akan menghidupi Anda. Mengapa mereka mau bersusah payah menanam pohon di bukit kering yang panas dan keras itu? Apalagi mereka tidak menerima ongkos proyek, tidak menerima baju kaus, tidak menerima apa-apa? Mereka menatap muka si penanya. Tanah ini sekarang kering. Tetapi ini tanah Indonesia. Dan mereka bisa menjadikan tanah itu hijau kembali, subur kembali, cantik kembali. * * * * Seorang nelayan muda asyik menanam bibit bakau di pantai Teluk Ambon. Para mahasiswa Universitas Pattimura turut mengikuti perbuatan nelayan muda itu. Dari pengalaman, nelayan ini sadar bahwa ikan semakin banyak jika ada pohon bakau di tepi pantai. Sebaliknya, ikan sulit dipancing jika hutan bakau habis dibabat. Bakau dan ikan bagaikan angin dan gelombang. Karena itu, kalau mau ikan banyak, tanamlah bakau yang banyak. Dan sang nelayan membantu mahasiswa Universitas Pattimura memabami hal ihwal laut. Mengapa nelayan muda itu berbuat begini? Mengejar keuntungan pribadi semata-mata? Kembali si penanya ditatap dengan sorotan tajam. Ini laut Indonesia berwarna biru. Hutan bakau bisa mencegah laut berubah warna jadi cokelat. Bakau bisa memberi kehidupan kepada laut. Dan laut yang hidup adalah biru. Mereka putra Indonesia yang hidup dari laut ini, bisa menjaganya tetap biru, tetap subur, tetap lestari. * * * * Ada rekan-rekan dari Yogyakarta yang gandrung membantu mereka yang di bawah garis kemiskinan. Selama berbulan-bulan mereka bekerja bersama rakyat memasukkan air ke Desa Kepuhardjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Sehingga desa yang semulanya kering tandus dan miskin, kini subur dan cukupan. Lalu, mereka dari Yogyakarta masuk Pulau Kambing di laut selatan Pulau Madura. Lagi-lagi mereka berusaha bersama rakyat setempat memecahkan masalah air di pulau kering itu. Kini, kegiatan mereka tercurahkan pada kaum nelayan yang paling miskin di Jawa Tengah. Nelayan yang tidak bisa menangkap ikan waktu angin barat meniup kencang. Tetapi perut keluarga harus diisi. Ke mana mereka cari makan di musim angin barat ini ? Rekan-rekan dari Yogyakarta berusaha mencari pemecahan. Mengapa mereka lakukan ini? Berapa besar keuntungan diperoleh dari kegiatan ini? Apakah mereka kejar popularitas mau jadi tokoh atau menjadi apa-apa? Lagi-lagi si penanya dipandang dengan sorotan mata penuh makna. Ini rakyatku, putra-putri bangsaku, yang menderita kekurangan. Mereka mau menerima ilmuku. Bersama-sama kita terobos garis kemiskinan ini. Dan, Saudara, ia berucap, tidak ada upah yang lebih besar dan kepuasan lebih tinggi dari pengalaman menatap mata yang semulanya sayu tanpa harap menjadi bersinar kembali penuh kepercayaan diri, karena kerja berhasil. Dan hidup terasa lebih kaya karena sebagian kecil rakyat yang melarat telah berhasil menembus tirai kemiskinan. * * * * Seorang rekan sudah lama melibat diri dalam kegiatan lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan, baik di tanah air maupun di luar negeri. Dengan suara lantang ia perjuangkan cita-cita agar alam Indonesia tidak cemar, agar hutan Indonesia tidak gundul, agar udara Indonesia tetap bersih, dan Teluk Jakarta bebas dari bahan beracun dan berbahaya. Usahanya di dalam negeri membawa ia ke forum internasional. Di forum ini, ia pun sadar bahwa cita-cita yang ia perjuangkan juga cita-clta banyak orang. Ia lantas sadar bahwa masalah lingkungan hidup melewati batas-batas negara dan menjadi masalah universal, masalah umat manusia penghuni bumi ini. Lantas, ia sadar bahwa membangun tanah air tidak cukup memperhitungkan batas Indonesia saja. Memangun tanah air perlu ditempatkan dalam kerangka luas membangun tanah air bumi sejagat. Apa yang kita perbuat dengan tanah air kita perlu memperhitungkan pengaruhnya pada isi bumi. Sehingga, cinta tanah air harus memuat tanggung jawab internasional. * * * * Patriotisme punya makna yang tumbuh dengan tuntutan zaman. Dulu patriotisme ditentukan oleh gegap gempita perjuangan menegakkan kemerdekaan tanah air. Sekarang patriotisme diisi dengan semangat pembangunan. Dalam proses pembangunan ini, semangat zaman menyntut perluasan dan pendalaman makna patriotisme. Benih-benihnya sudah ditaburkan sekarang oleh pemuda di Kecamatan Ularang, di pantai Ambon, di Desa Kepuhardjo, dan di forum internasional. Patriotisme yang mendambakan Indonesia agar tanahnya tetap hijau, lautnya tetap biru, rakyatnya makmur tersenyum, dan bangsanya memiliki kesadaran nasional dengan tanggung jawab internasional. Dari benihnya sekarang, patriotisme diharapkan tumbuh dengan nilai ketangguhan: mampu menanggapi tantangan masa depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus