Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Cerita Akhir Si Tukang Cerita

Begitu magrib yang remang dicaplok malam yang kian medok, Akhmad Sofiyan M. Zahid, si tukang cerita tipe sohibul hikayat, meninggal dunia.

17 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JUMAT malam, 7 September, hawa dingin, hujan bergantian dengan gerimis yang bandel bikin hati makin mereres oleh rasa kehilangan. Lenyaplah sosok yang 8 Desember 2005 dianugerahi Penghargaan Kebudayaan FIB UI oleh panitia yang diketuai Toeti Heraty dan dianggap satu-satunya tukang cerita yang tersisa dan telah menunjukkan dedikasi, konsistensi, keunikan, inovasi, dan kemampuan dalam pengembangan daya cipta kumulatif sepanjang masa. Suatu warisan budaya, wabil khusus sastra lisan Betawi.

Sofiyan Zahid memang mata rantai terakhir dari rentang panjang sejarah tradisi sastra lisan Betawi. Tersebutlah dalam Tjerita Njai Dasima terbitan 1896 karya G. Francis, pada malam ketika akan dibunuh, Dasima diajak suaminya, Samiun, pegi kondangan. ”Rame deh, Nyi”, kata Samiun, ”Ade tukang cerite. Lakonnye Amir Amje.” Di tengah jalan itulah Dasima dipegat dan digorok jago bayaran, Bang Puase. Tukang cerita yang ditampilkan di akhir cerita itu bak satu perlambang selamat tinggal terhadap penutur sastra lisan sebab telah dimulai babak baru sastra tulis. Sejarawan sastra memang sepakat Tjerita Njai Dasima adalah penanda mulainya era baru kesusastraan Melayu cikal bakal kesusastraan Indonesia modern. Namun, sampai jauh lalu zaman Nyai Dasima, dan Jakarta menjelma jadi kosmopolit, tukang cerite tetap hidup dan memikat masyarakat dengan ceritanya yang penuh petualangan jin dalam pelbagai kaliber.

Sofiyan Zahid jelas telah ambil rol penting sehingga tradisi tukang cerita tetap eksis. Sebelum Sofiyan Zahid muncul, pada 1930-an sohor di Jakarta tukang cerita Ja’far. Lantas era kejayaan Ja’far pada 1960-an digantikan oleh M. Zahid bin Mahmud. Sofiyan Zahid adalah anak tukang cerita legendaris ini. Ia yang dilahirkan di Tanah Abang pada 1940 ini tidak saja telah membuat tradisi tukang cerita bertahan di tengah Jakarta yang ngacir mengejar kemodernan begitu Soekarno dijatuhkan, tapi juga mampu masuk media elektronik berupa radio-radio swasta yang mulai nongol. Pendukung sohibul hikayat pun tak lagi di ”Betawi Tengah” yang Islamnya kuat, tapi meluas ke seluruh wilayah budaya Betawi. Bahkan menyentuh kaum urban Jakarta yang multi-etnik. Tak cuma hadir di acara perkawinan dan sunatan, juga di acara-acara perusahaan dan ditanggap ke daerah di Sumatera, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Tak gampang Sofiyan Zahid mencapainya. S.M. Ardan menyatakan itu lewat proses belajar dan kerja keras sehingga ia jadi semacam aktor teater tutur sekaligus orator. Ia kudu mendedahkan sastra lisan itu sendirian dengan cuma memanfaatkan kata dan suara mulut untuk memukau pendengar. Asyiknya percintaan, serunya perkelahian, cantiknya putri raja, atau seramnya jin, semua kudu bisa di-”lihat” oleh pendengar atau penonton. Karena itu, menurut Sofiyan Zahid, meskipun diwarisi ayahnya catatan berisi ikhtisar cerita untuk dibawakan, ia lebih banyak belajar langsung dengan magang selama ayahnya menggelar cerita. Ia mulai magang pada 1960-an. Ia tak sendiri sebab ayahnya sudah punya dua murid.

Sofiyan Zahid baru mendapat kesempatan tampil sebagai tukang cerita pada 1970. Ayahnya minta ia naik panggung di kampungnya sendiri, di Gang Mesjid, Tanah Abang. Cerita yang dibawakan Ma’ruf Tukang Sol Sepatu. Mengikuti jejak ayahnya, Sofiyan Zahid menyelipi ceritanya dengan pelbagai ajaran Islam. Ayahnya sendiri tak hadir saat pertunjukan, cuma nguping suara speaker yang sampai ke dalam rumahnya. Begitu ia pulang di tengah malam, ayahnya sudah menanti lantas tepok pundaknya sembari bilang, ”Lulus lu, bawa dah kendiri sohibul hikayat.”

Dari ketiga murid itu, memang cuma Sofiyan Zahid yang oleh penikmat sohibul hikayat dianggap punya kelebihan. Bahkan, ketika ayahnya wafat pada 9 Januari 1971 dan ia mulai mengisi kedudukannya sebagai tukang cerita tetap di Radio Parikesit, banyak pendengar kirim surat menanyakan: ”Apa almarhum hidup lagi?”

Persis ayahnya, Sofiyan Zahid tidak membawakan cerita Seribu Satu Malam. Ia pilih cerita saduran dari Hikayat Melayu. Setidaknya ada 20 cerita yang biasa dibawakan. Ia pun mulai mengembangkan cerita sendiri, seperti Ma’ruf Tukang Sol Sepatu dan Isterinya Si Romlah dan Panah Sakti.

Sofiyan Zahid pada 1970-1980-an menikmati kejayaan. Radio-radio Ibu Kota (Parikesit, Agustina, Cendrawasih) mengantrenya untuk dijadikan pengisi tetap. Saat itu pula sohibul hikayat yang dibawakannya dijadikan wahana iklan dan dikasetkan. Ketika TV swasta nongol pada 1990-an, ia pun mulai menjangkau televisi dan melakukan kolaborasi untuk memvisualkan ceritanya. SPFM adalah radio terakhir yang mengontraknya nuturkan sohibul hikayat pada 2004. Saat sebelum ia meninggal memang tiada lagi radio yang minta ia bersiaran, tapi tetap saja ada order membawakan sohibul hikayat di tengah kosmopolit Jakarta.

Demikianlah, kalau sewindu lalu warga Jakarta telah kena musibah, yaitu sastra lisan Betawi buleng atau juru cerita dan rancag atau cerita pantun telah punah bersama kematian para senimannya, sekarang bersama kematian Sofiyan Zahid genaplah kepunahan itu.

J.J. Rizal, Sejarawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus