Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kitab Penutup
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ida Fitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abd al-Rahman abu Zaid Ibn Khaldun menyelesaikan lembar demi lembar Kitab Pendahuluan di salah satu sudut Benteng Qal’at Ibn Salama dengan cara yang tak biasa, dalam sunyi yang membungkam seratus satu singa podium. Demi harkat dan martabat, lelaki itu sepanjang hayatnya mengaku keturunan seorang syekh sahabat Muhammad yang berimigrasi ke Andalusia sebelum pindah ke Tunisia karena kota tersebut jatuh. Tercatat enam ratus enam belas tahun setelah kematiannya muncul desas-desus yang cukup menggemparkan di Samalanga; 9.396 km dari Tunisia. Iqbal Sagita Hidayatullah, pemuda yang mengaku berasal dari pinggir Sungai Peusangan yang memiliki wajah seperti Ibn Khaldun tetapi tidak memiliki wajah seperti Ibn Khaldun, yang berbicara, berjalan, makan, dan bercinta seperti Ibnu Khaldun tapi juga tidak berbicara, berjalan, makan, dan bercinta seperti Ibnu Khaldun, sedang menulis edisi revisi dari Kitab Pendahuluan yang terkenal itu.
Menurut pengakuan warga Samalanga; yang pernah bertemu langsung dengan Iqbal Sagita Hidayatullah maupun tidak, pemuda itu sebenarnya terdiri atas tiga segala sesuatu yang membaur dalam satu wujud yang oleh beberapa orang menyebutnya tritunggal. Dan tritunggal di sini tidak merujuk ke satu agama tertentu. Ia adalah abah dari tiga wanita penjaja kesenangan yang beroperasi di pinggir kota. Ia adalah anak dari seorang perempuan tua yang menjadi guru ngaji lusinan anak perempuan di sebuah kelurahan yang masih menjadi bagian Kota Samalanga. Ia dan ibunya pindah dari tepi Sungai Peusangan ke Kota Samalanga setelah sungai itu meluap pada tahun 2000, banjir akhir tahun yang menyapu habis rumah-rumah di pinggir sungai tersebut. Selain itu, satu tahun tiga bulan sebelum desas-desus itu muncul, ia adalah penyampai pesan bagi pejuang kemerdekaan yang telah membaur bersama warga kota. Setelah pemimpin perang kemerdekaan menandatangani perjanjian perdamaian dengan pemerintah induk, beberapa pejuang tidak mengakuinya, demi bertahan hidup mereka menyaru menjadi warga biasa.
Sejarah panjang perjuangan Samalanga untuk lepas dari negara induk adalah sejarah yang berlumur darah, bahkan sebelum negara induk lahir, mereka pernah berperang melawan kompeni. Kuburan massal bukan pemandangan langka di kota ini; dari kuburan massal mereka yang mati saat melawan kompeni, kuburan massal kompeni itu sendiri, kuburan massal pejuang yang mati saat melawan negara induk, kuburan massal mereka yang dituduh PKI, kuburan massal rakyat sipil korban perang, sampai kuburan massal akibat bencana air laut menggulung pinggir Samalanga. Yang tidak ada di sini adalah kuburan massal para militer kiriman negara induk. Konon mereka lebih perkasa dan lebih kejam dari kompeni. Pola pertumpahan darah di Samalanga selalu berulang; perang terjadi setiap sebelas tahun sekali, saat perang reda, ibarat turun minum dalam pertandingan laga sepak bola, mereka istirahat sejenak untuk mendapatkan energi baru untuk berperang kembali. Di masa-masa turun minum ini dibutuhkan seseorang yang fasih berbicara, pintar menyamar, dan baik dalam menulis menjadi penghubung yang menjamin tetap terorganisasinya langkah selanjutnya pada perang yang menurut hitungan tahun kabisat akan meletus satu tahun tiga bulan lagi. Di sinilah peran orang-orang semacam Iqbal Sagita Hidayatullah sangat dibutuhkan.
Tiga bulan sebelum perang meletus menurut pola sebelas tahun itu, pemuda itu mengundurkan diri dari jabatannya sebagai penyampai pesan bagi pejuang kemerdekaan, menyerahkan ketiga perempuan penjaja kesenangan kepada pemilik pesantren paling berpengaruh di Samalanga untuk dikawini dan memohon izin kepada ibu tercinta untuk menyendiri di luar kota di sebuah rumah berdinding anyaman bambu yang dibelinya dari keluarga tukang pasir yang ingin mengadu nasib sebagai pedagang di kota. Pindahlah ia dengan semua kitab bertulisan Arab, Arab Jawi, Melayu, Inggris, Prancis, Jerman dengan diangkut oleh mobil pikap milik seorang pejuang kemerdekaan ke rumah berdinding anyaman bambu yang terletak di pinggir sungai, di mana tukang pasir dulu mengeruk pasir dengan perahu kayunya. Sebuah rumah yang mengingatkan Iqbal Sagita Hidayatullah pada rumah masa kecilnya di pinggir Sungai Peusangan.
Bukan hal mudah untuk menulis revisi dari Kitab Pendahuluan, sebuah kitab yang dikenal dari timur hingga ke barat. Butuh waktu dua puluh dua tahun untuk Iqbal Sagita Hidayatullah menyadari siapa dirinya yang sebenarnya, dirinya yang juga dirinya berabad-abad lalu. Itu dimulai dari sebuah mimpi, sebuah mimpi yang terus berulang selama tujuh malam berturut-turut; ia berhadapan dengan seekor harimau di dalam sebuah benteng yang di ruang bawah tanahnya terkubur sebuah kerangka manusia. Ia bertarung dua hari dua malam melawan harimau tanpa henti sampai kemudian harimau itu mati bersimbah darah dan kemudian terdengar sebuah suara yang bergema, yang membuat gemetar, yang menghadirkan rasa takut tak terkata, “Hai Iqbal Sagita Hidayatullah, ketahuilah kerangka itu kamu, kamu itu hidup, kamu itu mati, kamu itu anak lelaki Khaldun, perbaiki yang keliru itu!”
Saat pertama kali mimpi itu mendatanginya, Iqbal Sagita Hidayatullah tidak ambil pusing, mungkin sama dengan mimpi tak berguna lainnya yang kerap datang dalam tidurnya. Tapi saat mimpi yang sama berulang tiga malam berturut-turut, ia mulai teringat pada sebuah kitab berbahasa Melayu karangan seorang laki-laki Kalimantan yang berjudul Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur. Setelah mimpi itu hadir tujuh malam berturut-turut; ia mengunjungi perpustakaan tua Kota Samalanga, mengambil sebuah kitab yang sudah berdebu dan buram di antara buku-buku tua berdebu yang berderet di sudut utara dari pintu masuk perpustakaan, dengan niat tidak akan pernah mengembalikan kitab tersebut. Hanya orang bodoh yang mengembalikan kitab yang sudah dipinjam. Sejak halaman pertama yang dibacanya saat duduk di bangku halte ketika menunggu bus 023 jurusan rumahnya, ia merasa tidak asing dengan aksara-aksara Arab yang ada di kitab tersebut. Ia merasa sedikit aneh, kemudian seperti melihat mimpinya kembali, ia menulis setiap aksara dalam kitab tersebut dengan tangannya sendiri dalam suasana yang tak biasa, sunyi yang mencekam.
Setelah separuh kitab selesai dibaca, ia bisa tahu separuh lainnya yang belum dibaca, tapi demi untuk menghindari ingatan mengkhianatinya, apalagi ingatan dari dirinya yang lain, yang hidup enam abad lalu, dibaca juga kitab itu sampai tamat. Setelah selesai, ia malah menangis dan bermuram durja. Beberapa bagian dari kitab itu adalah kebodohan yang tak termaafkan yang berasal dari kebodohan dirinya yang lain, yang pernah hidup di Tunisia yang melihat segala sesuatu tanpa segala sesuatu.
Saat ini, ia duduk di balik jendela kamarnya yang menghadap ke arah sungai. Air sungai agak keruh karena hujan lebat tadi malam, pucuk bambu berayun ditiup angin sepoi, suara air dan dahan bambu adalah musik yang mengantarkan ia pada bagian yang ingin direvisinya. Dalam Kitab Pendahuluan ia menulis, Umar telah memerintahkan pembakaran buku-buku perpustakaan yang berusia ratusan tahun saat menaklukkan Persia karena khawatir buku-buku tersebut bisa menyesatkan umat. Kebenaran datang dari Allah semata. Lama nian Iqbal Sagita Hidayatullah merenungi bagian itu, kemudian diketiknya bagian yang wajib direvisi tersebut, tapi tiga puluh hari sebelum naskah dikirim ke sebuah penerbit, demi menjaga harkat martabat dirinya yang hidup enam ratus tahun lalu, ia memilih mengganti judul dan menjadi kitab yang berbeda dengan menulis Penghancuran Buku dari Masa ke Masa di sampulnya dan menggunakan nama pena Baez dari San Felix. Menurut buku yang baru ditulisnya tersebut, tak mungkin yang membakar perpustakaan itu orang muslim. Seperti halnya Kitab Pendahuluan, buku tersebut menjadi sangat terkenal, tapi tidak ada seorang pun yang menghubungkan Baez dari San Felix dengan Kitab Pendahuluan dan orang-orang juga mulai melupakan desas-desus seorang pemuda Samalanga yang ingin merevisi sebuah kitab.
Tapi tidak begitu dengan Iqbal Sagita Hidayatullah. Di rumahnya yang bertiang enam belas di pinggir sungai, ia kembali dihinggapi oleh mimpi yang sama. Mimpi lama tujuh hari berturut-turut ditambah mimpi kedua yang berbeda juga selama tujuh hari berturut-turut. Dalam mimpi kedua, ia melihat dirinya sebagai laki-laki tua berjas putih yang terkurung di sebuah menara yang terletak di pinggir danau, juga ada kerangka manusia di bawah menara dan kastil itu. Butuh seratus lima belas hari untuk menaksir mimpi itu. Dan itu menyebabkan ketidakseimbangan psike dalam diri Iqbal Sagita Hidayatullah. Ia gelisah, demam, dan tersiksa. Yang ia ketahui, dulu ia anak dari Khaldun, kemudian kenapa ia juga anak lelaki dari Kesswil dengan latar belakang budaya yang sangat berbeda. Dalam seratus lima belas hari ia menjadi anak dari Khaldun dan anak dari Jung si pendeta. Saat itu ia telah benar-benar melupakan perang yang kembali terjadi, para pejuang Samalanga melawan militer kiriman negara induk. Demi untuk menghindari dirinya yang akan menjadi gila, ia mulai menulis Kitab Penutup dengan memakai nama Iqbal Sagita Hidayatullah, dan dengan jelas mengumumkan versi penyempurnaan dari Kitab Pendahuluan dengan mengubah bagian hanya suku Arab yang bisa menjadi pemimpin umat. Dan saat buku itu terbit, ia belum tahu, bagian ketiga dari dirinya itu siapa.
Ida Fitri, lahir di Bireuen, Aceh, pada 25 Agustus. Tulisannya pernah terbit di sejumlah media massa. Kumpulan cerpennya berjudul Air Mata Shakespeare (2016) dan Cemong (2017).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo