Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Cinta di Purnama Boko

Sebuah drama percintaan berlatar Syiwa-Buddha disajikan di kompleks Candi Ratu Boko, Yogyakarta. Tepat malam purnama. Mendayu-dayu.

9 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua sejoli berbeda agama itu bermesraan. Pramodyawardhani dari wangsa Sailendra beragama Buddha. Rakai Pikatan berasal dari wangsa Sanjaya dan beragama Hindu-Syiwa. Tiba-tiba muncul Kumbayoni menyerang. Manusia jahat ini belingsatan. Bola mata Kumbayoni bertopeng menyala terang, menyorotkan cahaya kuning. Amarahnya memuncak. Dia bergerak merebut Pramodyawardhani dari Rakai Pikatan. Rakai melawan. Gerakannya keras, diikuti dengan gerak yoga yang lebih tenang. Rakai menang.

Inilah adegan bertajuk Abhati 2015, Ketika Cinta Abadi Ditakdirkan untuk Mengalahkan Hasrat Kekuasaan, di kompleks Candi Ratu Boko, Rabu malam, 1 Juli lalu. Bulan purnama kuning menaburkan sinar di atas candi. Lampu keunguan menyorot bangunan kuno itu.

Candi Ratu Boko merupakan situs arkeologi Kerajaan Mataram Kuno dari abad ke-8. Situs di atas perbukitan ini berada sekitar tiga kilometer selatan Candi Prambanan atau 18 kilometer ke arah timur dari Yogyakarta. Pada pentas malam itu, penonton diajak menengok kisah romantis pasangan berabad-abad silam, dari wangsa berbeda pada masa Kerajaan Mataram Kuno.

Pramodyarwardhani diperankan oleh Fitria Trisna Murti dan Rakai Pikatan oleh Agus Pasetyo. "Abhati dalam bahasa Sanskerta berarti sinar sejati," kata sutradara pertunjukan, Rama Soeprapto. Rama memadukan unsur klasik Jawa dan modern. Dari situ, ia ingin menyajikan pertunjukan yang berbeda dengan pertunjukan tari Jawa klasik, seperti Sendratari Ramayana dan Bedaya Ketawang.

Pramodyawardhani adalah anak pasangan Samaratungga dan Dewi Tara. Mereka hidup di tanah Mataram Kuno pada abad ke-8. Samaratungga mendirikan Candi Borobudur untuk anaknya itu. Candi Ratu Boko dibangun lebih awal ketimbang Borobudur. Candi ini menginspirasi keberadaan Candi Borobudur dan Prambanan.

Rama membangun interaksi dengan penonton sebelum pertunjukan dimulai. Ia mengadakan meditasi yang melibatkan penonton. Ada pula prosesi Abhati, upacara makan malam dengan aneka sesaji. Kendi, tampah berisi bunga, buah-buahan, tumpeng, dan sayur-mayur adalah beberapa sesaji. Pembawa sesaji itu mengelilingi penonton yang duduk lesehan beralaskan bantal. Bau wangi dupa dan klembak-menyan menyengat.

Penonton juga dipersilakan mencicipi beragam hidangan yang dikenal pada masa Mataram Kuno. Makanan itu antara lain sayuran lalap matang atau kulub, ayam, udang, telur, dan nasi putih. Semuanya dihidangkan dengan alas daun pisang. Rama secara khusus mendatangkan chef Aziz Setyawijaya untuk meracik makanan.

Rama menyiapkan pertunjukan itu cukup singkat, hanya dua bulan. Mereka berlatih intensif selama dua pekan di kediaman maestro gamelan Rahayu Supanggah dan Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Penampilnya adalah alumnus ISI Surakarta dan mahasiswa yang sedang menempuh ujian di kampus.

Pentas dibuka dengan lantunan doa dari pemuka agama Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Lalu Raja Samaratungga (Wahyu Santoso Prabowo) mengidungkan pujian Dewi Tara sebagai simbol kebesaran wangsa Sailendra dan kecintaannya pada Pramodyawardhani. Samaratungga duduk di atas batu candi, sebelah utara pintu utama Candi Boko. Dia berteman Ratu Tara (Noviana Eka Pratiwi). Pramodyawardhani dan penari latar kemudian muncul menuju panggung.

Kostum penari latar keluar dari pakem kostum penari Jawa klasik. Tak ada jarit yang mereka kenakan. Kain panjang biru membungkus tubuh penari perempuan hingga dada. Selendang kuning membebat, melingkari perut. Sedangkan penari laki-laki dibalut kain panjang merah hingga ke perut. Selendang cokelat melingkari perut dan menjuntai. Muka semua penari berhias topeng berwarna perak. Kostum penari memadukan konsep Jawa dan modern. Penari latar itu ditampilkan sebagai gambaran suasana hati Pramodyawardhani dan Pikatan dalam setiap adegan. Pasangan itu mengenakan kain panjang dan mahkota. Perut Pramodyawardhani berhiaskan manik-manik.

Gerakan tari Jawa 13 penampil di panggung cukup menarik. Semua penampil harus berjibaku mengatur napas untuk nembang dan menari selama hampir satu jam. Syairnya beragam, yakni Jawa, Sanskerta, dan Indonesia. Satu di antara penari yang tampil apik adalah koreografer Wasi Bantolo. Ia tampil sebagai Kumbayoni. Wasi menyajikan gerak yoga dan hayogan dalam pentas tari itu. Dia tertarik memakai gerakan bagian dari meditasi itu karena cocok dengan suasana spiritualitas candi dan konsep dasar cerita.

Sebelum pentas digelar, Wasi melakukan riset untuk melihat latar belakang sejarah percintaan yang disimbolkan dengan candi-candi. Ia mengajak semua penari dan tim koreografi ke Candi Plaosan, Kalasan, Sewu, Prambanan, Ratu Boko, dan Borobudur. Dia menyiapkan koreografi pentas itu selama sebulan. Wasi membebaskan penari untuk berimprovisasi selama pertunjukan berlangsung. Tapi improvisasi itu tak keluar dari tari Jawa sebagai pijakan.

Komponis Rahayu Supanggah menyatakan tak ada yang spesial atau baru pada musik gamelan Jawa yang dimainkan dalam pertunjukan itu. Rahayu dibantu oleh komponis "Gondrong" Gunarto. Alat musik yang dimainkan mengawinkan antara yang tradisional dan modern. Musik gamelan berpadu dengan kecapi Sunda dan shakuhachi, alat musik tiup tradisional Jepang mirip seruling. Ada pula bunyi musik elektronik. Alat-alat musik itu dimainkan secara bergantian sepanjang pertunjukan.

Gondrong memasukkan musik elektronik yang telah diprogram. Nuansa musik elektronik sedikit mengentak sengaja ia munculkan pada sebagian adegan yang menunjukkan ketegangan. Itu terdengar ketika Kumbayoni merebut Pramodyawardhani dari pelukan Rakai Pikatan. Dia juga menyuguhkan bunyi shakuhachi yang liris selama 30 detik pada adegan itu. "Ini untuk memunculkan suasana sakit hati," kata Gondrong.

Gondrong sengaja menyajikan suara gamelan yang ngepop. Tujuannya membuat orang tak mengerutkan dahi ketika mendengar bunyi gamelan. Musik yang dibawakan pada malam itu kebanyakan bernada romantis, menyesuaikan dengan tema cerita.

Panggung pertunjukan ditata minimalis. Di tengah latar hanya ada perangkat gamelan dan alat musik lain. Sedangkan di sebelah utara gerbang candi terdapat instalasi yang disusun dari jerami. Instalasi ini sebagai simbol kesuburan tanah pertanian Mataram Kuno. Jerami itu diletakkan di samping Samaratungga dan Ratu Tara, yang duduk dan menyanyi. Klimaks pertunjukan terasa klise. Pramodyawardhani dan Rakai Pikatan hidup bahagia. Di akhir pertunjukan, mereka berjalan bersisian layaknya pengantin. Sayang, pentas cinta ini terasa mendayu-dayu.

Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus