Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Cinta yang sekarat

Pemain : julia roberts, campbell scott, vincent d'onofrio skenario : richard friedenberg sutradara : joel schumacher resensi oleh : putu setia.

1 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUNGGUH, ini sebuah cerita yang sederhana, ringan dan cengeng. Coba kita telusuri. Victor Geddes yang dimainkan Campbell Scott terkena kanker darah alias leukemia. Sudah sepuluh tahun lebih ia menjalani terapi di rumah sakit dan ia membenci pengobatan itu. Ia memasang iklan di koran: mencari perawat. Lalu Hirley O'Neil yang diperankan Julia Roberts melamar sebagai perawatnya. Hubungan keduanya, yang semula formal karena ada perjanjian kerja yang ditaati masing-masing, mencair manakala Geddes dan O'Neil menyepi ke tepi pantai Mendocino yang indah. Di sana mereka menyewa rumah. Rupanya, Geddes, anak pengusaha kaya dan berpendidikan tinggi, mulai jatuh cinta pada gadis pengasuhnya. Rasa cinta ini mampu menghadirkan kehidupan yang baru, menjauhkan dari bayang-bayang rumah sakit dan terapi yang selama ini menyiksanya. Singkatnya, cinta memberinya semangat untuk hidup dan melupakan sakit. Tapi O'Neil tak mudah jatuh cinta. Pada awalnya ia masih menyisakan jarak, sehingga ia pun merasa tak apaapa akrab dengan pekerja bangunan yang dimainkan Vincent D'Onofrio ini. Mudah ditebak, Geddes cemburu dan celakanya hal ini membuat sakitnya kumat. O'Neil secara diam-diam kemudian menelepon ayah Geddes agar menjemput anaknya itu. Ketika si ayah datang, apa yang ditakutkan Geddes terjadilah: ia akan dikirim kembali ke rumah sakit. Bagi Geddes, itu berarti neraka, sekarat berkepanjangan di usia yang masih sangat muda. Untung, O'Neil memberi harapan-harapan dan, eh, ia pun jatuh cinta. Film berakhir. Sederhana dan cengeng, bukan? Tapi, kenapa Dying Young tetap enak ditonton dibandingkan film-film sejenis dari negeri sendiri? Apa karena yang main Julia Roberts dan bukan Meriam Bellina, misalnya? Apa karena sutradaranya Joel Schumacher dan bukan Wim Umboh? Atau karena di sana ada tiupan saksofon Kenny G., Choice of Love, yang belum lama ini menggetarkan Jakarta? Jawabnya adalah film ini digarap dengan sangat wajar. Tak ada eksploitasi: seks, emosi, dan sebagainya. Ia mengharukan, tapi tidak mengumbar air mata, apalagi sesenggukan. Ada adegan ranjang, tapi bukan "pergumulan nafsu". Ending dilepas dan membiarkan penonton berimajinasi tentang kelanjutannya. Dan sudut-sudut pengambilan gambarnya itu, kreatif betul. Ini lebihnya. PS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus