Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Dalang Sungguhan yang Santai

Cepot yang lucu kehilangan Asep Sunandar Sunarya untuk selamanya. Dalang penuh inovasi yang dianggap pelanggar pakem.

7 April 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITA baru saja kehilangan seorang dalang wayang golek Sunda tersohor: Asep Sunandar Sunarya. Ia wafat pada usia 59 tahun (5 Mei 1955-31 Maret 2014) dan meninggalkan pelbagai hal: istri-anak, harta, peralatan kesenian, gedung padepokan, piagam penghargaan, serta idiom dan teknik pedalangan.

Yang tak ternilai adalah ingatan kita. Jika setahun rata-rata ada 150 pertunjukan, dalam 40 tahun mendalang terjumlah 6.000 kali: 6.000 kesan, 6.000 pesan, yang mengendap pada ingatan ribuan orang.

Saya ingat pada 1972 ketika mengajar tari sambil belajar main wayang di Kursus Padalangan Jawa Barat. Selama enam bulan kursus, Asep tak pernah masuk, tapi tetap datang saat "ujian". Ia mendapat nilai terbaik dalam sabet (gerak wayang). Di tangan Asep, yang kala itu baru 17 tahun, wayang-wayang tak cuma hidup, tapi mengembuskan "napas" baru, yang berbeda dengan "napas" dalang-dalang sebelumnya.

Pendapat para dalang sepuh kala itu kontroversial. Di satu sisi Asep menunjukkan teknik menakjubkan, di sisi lain dia dianggap dalang pelanggar pakem. Gerak wayang, terutama adegan perang, yang "realis" dianggap tidak hormat kepada wayang. Wayangnya menjadi rusak karena saling gebuk atau karena dilempar seperti sampah. Asep tidak membantah, hanya bergumam sambil mesem, "Biar saja. Jika wayang rusak, aku bikin lagi."

Pada 1983, saya ke rumahnya. Di tengah rumah, ia memegang wayang Cepot di hadapan sejumlah anak. Hanya beberapa menit kami sapa-menyapa, ia kembali mengambil wayangnya. Cepot ternyata bisa bermain dengan "tokoh" lain, yakni ibu jari kaki Asep sendiri. Dalam posisi bersila, ibu jari itu jadi lawan cengkeramanya, dan terlahirlah banyak kisah. Kadang jari kaki menjadi kursi atau ranjang untuk bersandar dan tidur; kadang menjadi wayang lain untuk bersalaman, bercumbu, atau berkelahi; kadang menjadi sejatinya kaki yang menendang atau menginjak si Cepot. Asep tampak hanya main-main semaunya. Tapi sesungguhnya ia juga berlatih menghidupkan wayang pada situasi apa pun hingga wayang menjadi bagian dirinya atau dirinya menjadi bagian dari wayang.

Sepuluh tahun berikutnya, saya nonton pertunjukan siang hari untuk suatu perayaan birokrasi. Asep naik panggung sejak tatalu (penampilan musik sebelum wayangan), duduk di belakang kotak, menunggu datangnya pejabat untuk memulai pertunjukan. Mungkin ia bosan menunggu (biasanya penonton yang menunggu dalang) atau mungkin hanya "ketimbang nganggur". Diambilnya satu wayang, yang rupanya buruk, lucu, tokoh tak bernama, atau yang namanya bisa apa pun. Ia mirip Togog, tapi bukan punakawan, bala tentara yang tidak gagah perkasa. Asep menarikan wayang itu seiring dengan musik tatalu. Posisinya rendah, tak tampak oleh tamu terhormat yang duduk di depan. Wayang itu hanya tampak oleh para musikus yang tak henti tertawa selama mengiringi gerakannya.

Mirip Cepot sepuluh tahun sebelumnya, gerak wayang itu pun lucu. Hanya, si Lucu di situ berakting bukan dengan jari kaki, melainkan dengan pemusik dan instrumen terdekat. Kadang ia menari, meledek, atau menjadi dirigen memimpin gamelan, yang sewaktu-waktu marah menyalahkan penabuh, menjewer telinga, meludahi, dan lain-lain. Kadang si Lucu menjadi tokoh yang memang konyol: tersandung ketika bergegas, terpeleset ketika bergaya.

Dalam norma tradisi, paling tidak hingga 1980-an, yang dilakukan Asep itu dianggap tabu. Dalang tidak seyogianya memain-mainkan wayang sebelum pertunjukan. Itu bisa melunturkan daya atau karisma ketika tampil. Tapi Asep seperti tak terpengaruh tabu itu. Mungkin karena ia telah kondang atau mungkin karena yakin bahwa hidupnya wayang oleh kemampuan dalang, yang didapat dari berlatih. Latihan yang dilakukan tidak harus pada jadwal berlatih, tapi bisa kapan pun.

Jika itu benar, Asep tak bergantung pada jadwal, tapi jadwal terlahir mengiringi hidup. Barangkali ia pun tak dibebani ambisi menjaga tradisi demi pertahanan "jati diri". Ia tidak terbebani semangat perjuangan mencerdaskan teknik. Pertahanan dan perjuangan terwujud dari laku wajar, saat bersenang ataupun saat menghadapi kesulitan. Apa pun, jagat mencatat terlahirnya wayang Asep Sunandar Sunarya yang unik, yang tidak sama dengan ayahnya, juga dengan anak-anak dan murid-muridnya, atau dalang siapa pun yang pernah dan yang akan ada. Wayang Asep Sunandar adalah wayang yang lahir di antara 5 Mei 1955 dan 31 Maret 2014, dari persona tunggal yang tinggal di Jelekong.

Kini kita kehilangan dia. Tapi kita ditinggali gaya pewayangan unik, yang mengisi sejarah. Saya tidak ingin meniru gayanya-dan pasti tidak akan bisa-tapi saya iri pada kemampuan negosiasinya antara "mempertahankan" dan "mengubah", antara "mengikuti" dan "melanggar" pakem, kerja keras tapi santai.

Endo Suanda (Seniman)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus