Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DULU, pada zaman Orde Baru, setiap kali majalah Forbes menerbitkan daftar manusia terkaya dunia, dan ada warga negara Indonesia di dalamnya, dia menjadi buah mulut perbincangan orang ramai. Data yang dilansir majalah yang terbit di New York, Amerika Serikat, sejak 1917 itu, diyakini benar adanya. Dan itulah sebuah ironi: di negeri yang kebanyakan rakyatnya miskin, hidup para superkaya kelas dunia.
Tak ada kritik yang berarti ketika itu. Media massa hidup dalam kontrol penuh Orde Baru. Akibatnya, yang tumbuh subur adalah bisik-bisik, olok-olok, dan prasangka: bahwa harta mereka mungkin berasal dari korupsi, atau kolusi dengan penguasa, atau hasil menikmati fasilitas istimewa Istana.
Barangkali munculnya sejumlah konglomerat superkaya itu memang strategi Soeharto dan Orde Baru. Sejumlah pengusaha terpilih diguyur fasilitas sangat istimewa agar menjadi raksasa bisnis yang kuat. Selanjutnya, para raksasa itu diharapkan menghela gerbong ekonomi negeri, menghasilkan produk domestik yang cukup besar demi meraih target-target pertumbuhan ekonomi. Bagaimana dengan pemerataan? Setelah sang raksasa menjadi besar, mereka dipaksa menjadi bapak-angkat usaha kecil, menengah, dan koperasi.
Kita tahu strategi Orde Baru ini gagal. Yang tercipta bukan penghela gerbong ekonomi yang kuat dan andal, melainkan konglomerat manja yang hidup menetek di ketiak pemerintah. Mereka parasit keropos yang tak punya daya saing di luar negerinya. Kolusi yang mereka bina dengan penguasa melahirkan ekonomi biaya tinggi, juga munculnya pemain "karbitan": anak-anak pejabat di panggung bisnis besar. Ketimpangan sosial menjadi penyakit yang belum bisa diobati.
Ketika krisis ekonomi 1997 datang, konglomerat ini bertumbangan. Jangankan menolong rakyat keluar dari krisis, mereka justru jadi beban negara dengan mega-utang macetnya. Anggaran belanja negara, yang seharusnya bisa lebih banyak dipakai membiayai proyek rakyat miskin, harus dipotong sekitar Rp 40 triliun setiap tahun untuk menyehatkan bisnis perbankan yang oleng akibat kredit macet para konglomerat itu. Pemotongan anggaran belanja negara ini belum akan berakhir dalam jangka pendek, walau Orde Baru sudah delapan tahun ambruk.
Sayangnya, pengorbanan negara dan rakyat yang begitu besar tidak banyak mengubah peta bisnis Indonesia. Deretan 40 manusia terkaya Indonesia yang dilansir Forbes Asia, dua pekan lalu, menunjukkan itu. Pengusaha superkaya yang langganan masuk daftar Forbes masih juga pemain-pemain lama, walaupun beberapa mengalami penyusutan aset yang cukup besar.
Sebagian dari mereka memang bebas utang, seperti para "raja rokok kretek" pemilik Gudang Garam atau Djarum. Tapi masih ada yang punya utang besar pada negara. Misalnya Sukanto Tanoto, peringkat pertama Forbes Asia tahun ini, yang masih punya utang lebih dari Rp 5 triliun di bank negara. Kurang elok rasanya mendengar Sukanto Tanoto mendahulukan pengembangan bisnisnya di mancanegara ketimbang menyelesaikan utang di negeri ini. Tentu soal utang ini sudah masuk kalkulasi Forbes ketika menghitung harta Sukanto. Bila utang belum dimasukkan, daftar 40 terkaya Indonesia itu perlu ralat yang cukup signifikan.
Soal utang itu bukan satu-satunya pertanyaaan atas daftar Forbes. Tidak tampilnya seorang pun keluarga Soeharto juga perlu dijelaskan. Sulit untuk percaya bahwa pengusaha lama seperti Soedarpo Sastrosatomo atau pengusaha media cetak Jakob Oetama, yang baru kehilangan hampir separuh saham TV7, ternyata lebih kaya ketimbang anak-anak Soeharto yang menguasai beberapa stasiun televisi, jalan tol, dan sejumlah usaha lain.
Toh ada saja kabar baik. Ada bintang-bintang baru datang menyeruak. Eddy William Katuari, generasi penerus grup bisnis Wings, yang tidak biasa minta fasilitas khusus pemerintah, ditempatkan di peringkat ke-7 dengan kekayaan US$ 1 miliar. Grup yang mulai dengan sabun colek itu sudah mengirim produknya ke 93 negara.
Trihatma Haliman meneruskan bisnis properti Grup Agung Podomoro, yang dirintis ayahnya, Anton Haliman, pada 1969. Pengusaha ini punya prinsip unik: berkembang dengan modal sendiri, tanpa utang bank.
Ada lagi Arifin Panigoro, pengusaha minyak yang berhasil lolos dari krisis dan melunasi utang-utangnya. Medco, dengan sejumlah ladang minyak baru, memberi Arifin kekayaan sampai US$ 815 juta.
Mereka berkembang tanpa menyusahkan pemerintah dan rakyat. Justru mereka membuka lapangan kerja yang cukup luas. Penting juga disadari, pengusaha-pengusaha ini, kecuali Arifin yang pernah aktif di PDI Perjuangan, merupakan contoh pengusaha yang memisahkan diri dari aktivitas politik-sesuatu yang berpotensi menyeret mereka kepada kolusi dengan penguasa.
Kita perlu lebih banyak pengusaha seperti ini. Pengusaha mandiri yang akan menjadi buah bibir masyarakat, bukan buah mulut yang dihujat tanpa henti. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo