Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BODY OF LIES
Sutradara: Ridley Scott
Skenario: William Monahan
Berdasarkan novel karya David Ignatius
Pemain: Leonardo DiCaprio, Russell Crowe
Produksi: Warner Bros
LEONARDO.
Sekali lagi, dia muncul sebagai sosok jiwa yang terkoyak. Dalam film The Departed karya Martin Scorsese (sebuah pembuatan ulang dari film thriller Hong Kong, Infernal Affairs), Leonardo DiCaprio adalah Billy Costigan Jr, seorang detektif yang menyusup masuk ke kelompok mafia Irlandia Frank Costello. Dalam film Ridley Scott terbaru ini, yang skenarionya ditulis oleh penulis yang sama, William Monahan, Leonardo adalah Roger Ferris, agen CIA yang ditugasi di Irak untuk mencari target utama CIA saat itu, Al-Saleem. Atasan langsung Ferris adalah Edward Hoffman (Russell Crowe), yang mengawasi dari Washington dan berkomunikasi dengan Ferris melalui bluetooth di telinganya sembari sibuk mengurus anak dan keluarganya atau sesekali melahap sushi.
Ini bukan film gaya James Bond yang berloncatan ke berbagai negara dan kejar-mengejar mobil mewah dan saling pamer gadget terbaru. Tingkah laku intelijen versi Ridley Scott memperlihatkan ”dua dunia” intelijen. Edward Hoffman mewakili intelijen generasi tengil, arogan, tak berjiwa, dan hanya sibuk memerintah dari pusat sembari mengawasi dari alat pelacak udara (surveillance) yang memperlihatkan kota-kota di Irak atau Yordania seperti barisan korek api berliku membentuk labirin. Setiap kali Ferris mulai ”melekat” pada salah satu informan lokal yang selalu membantunya, Hoffman dengan santai memerintahkan ”lempar dia ke jalanan”. Hoffman adalah sebuah ironi. Di Washington, dialah seorang suami dan ayah yang agak gemuk, rajin mengantar anaknya ke sekolah. Pokoknya bapak tetangga teladanlah. Tak ada yang tahu, dia pemimpin intelijen yang dengan mudah menyuruh pembunuhan orang di Timur Tengah seperti menepuk nyamuk.
Roger Ferris mewakili agen CIA yang masih idealis, menggebu-gebu, fasih berbahasa Arab, bergaul dengan orang lokal, dan bahkan jatuh cinta pada seorang wanita Yordania-Iran, Aisha (Golshifteh Farahani).
Dunia CIA adalah dunia intelijen Amerika yang canggih, teknologi luar biasa (dan itu berarti ketergantungan luar biasa terhadap elektronik), sementara dunia yang diburu: teroris pasca-11 September, adalah dunia yang justru kembali pada alat komunikasi ”tradisional”. Mereka justru tak lagi menggunakan telepon seluler untuk berkomunikasi dan sel-sel mereka bertebaran di bawah tanah dengan rapi tanpa bisa diraba oleh agen Amerika yang bergaya koboi itu.
Di Amman, Ferris bertemu dengan kepala intel Yordania, Hani (Mark Armstrong), yang flamboyan, tapi setiap kalimatnya penuh aura ancaman dan kekejian. Meski Yordania dan Amerika Serikat adalah sekutu, para intelijen dari kedua negara tentu memiliki agenda masing-masing tentang cara mendeteksi dan meraup sarang Al-Saleem. Cara Amerika dan cara Yordania tentu saja berseberangan. Amerika berorientasi target. Meski kecil, yang penting ada hasil. Sedangkan Hani mempunyai cara lain. Dia menangkap Karim, salah satu anggota Al-Qaidah, dan melepasnya kembali, sehingga sang anggota di kemudian hari akan berutang budi kepadanya.
Sepanjang film, sutradara Ridley Scott terus-menerus menggedor kita dengan rasa ingin tahu. Ke mana arah pencarian Al-Saleem; ke mana arah hubungan Edward Hoffman dan Roger Ferris yang selalu bertentangan itu; dan akhirnya, ke mana arah hubungan antara Ferris dan Aisha yang cuma bisa minum kopi dan saling memandang penuh hasrat tanpa menyentuh seusapan pun.
Setelah jam pertama, plot mulai menurun. Ketika Aisha menghilang dan Ferris jengkang-jengking menjerit agar menukar dirinya supaya si jelita dilepas, kita mulai menghela napas. Oke. Cinta-cintaan di tengah kisah thriller-intelijen itu sah saja. Tapi tolong jangan terlalu klise (menculik pacar/istri agar agen CIA keluar dari identitas samaran adalah plot 30 tahun lalu). Dan adegan pertemuan Ferris dan (akhirnya) sang pemimpin Al-Saleem? Sebuah debat klise.
Tapi ya sudah. Sebab, pada akhirnya, dunia intelijen adalah dunia yang lebih sibuk merancang skenario. Dan itulah yang akhirnya menyebabkan Ferris muntab. Bukan hanya tubuhnya hancur lebur disiksa oleh para teroris, tapi jiwanya pun koyak, karena dia tak lagi percaya kepada atasannya, kepada CIA. Menggunakan kalimat Hoffman, ”Kalau kau meninggalkan aku, artinya kau tak lagi mendukung Amerika.”
”Hati-hati, jangan menganggap dirimu perwakilan seluruh Amerika!” kata Ferris meninggalkan bosnya. Dan langkahnya kemudian mewakili isi hatinya, seperti yang pernah dia ungkapkan kepada si jelita Aisha: ”Aku bisa tinggal di sini (di Amman) selamanya.” Dunia intelijen, dunia yang penuh curiga itu, usai.
Lalu alat deteksi dari Washington itu tak lagi menyorot Ferris. Dia menjadi salah satu butir debu di Amman. Sebutir debu yang bebas.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo