Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Dari Holt untuk Kesenian Indonesia

Karya Claire Holt, yang legendaris, akhirnya diterjemahkan. Masih tetap relevan dan penting bagi mereka yang memperhatikan kesenian Indonesia.

4 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELACAK JEJAK PERKEMBANGAN SENI DI INDONESIA
Oleh:Claire Holt
Judul asli:Art in Indonesia, Continuities and Change
Penerjemah:Prof. Dr. R.M. Soedarsono.
Penerbit:MSPI
Telah terbit sebuah buku legendaris. Buku berjudul Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, yang merupakan terjemahan karya peneliti Claire Holt, ini berjudul asli Art in Indonesia, Continuities and Change, yang pada masa lalu diterbitkan oleh Cornell University Press, 1967. Ia bukan hanya buku legendaris, melainkan juga bacaan wajib, jika bukan "imperatif", bagi siapa saja yang melakukan studi tentang (kehidupan) kesenian di Indonesia. Buku setebal 534 halaman ini memang berhak menyandang predikat tersebut karena isinya yang meliputi substansi dan cakupan bahasan (terutama bidang seni rupa) yang dalam dan komprehensif, analisisnya yang tajam dan multidimensional, serta dilengkapi dengan lebih dari 200 buku acuan dan sekitar 200 foto yang bagus—kuantitatif dan kualitatif. Buku ini merupakan hasil penelitian Holt di Indonesia, dari 1955 sampai 1957. Sebelumnya, pada 1930-1938, Holt juga pernah berada di Indonesia untuk membantu penelitian Dr. Stutterheim dalam bidang arkeologi.

Holt berhasil menyajikan hasil penelitiannya yang serius ini dengan cara yang mudah dipahami. Pemikirannya yang jelas dan terorganisasi itu tersirat dalam tulisannya yang runtut-sistematis dan memakai cara tidak terlalu formal. Dengan gaya bertutur, Holt menggunakan pencandraan yang "indah", layaknya sebuah novel. Contohnya pencandraan pada bidang tari (halaman 120) dan seni rupa modern (halaman 296), yang begitu liris dan metaforis.

Sesuai dengan judulnya, buku ini membicarakan kesenian di Indonesia melalui pendekatan (utama) sejarah. Holt membagi kesenian Indonesia menjadi tiga jenis: warisan, tradisi yang hidup, dan seni modern secara kronologis, yang meliputi masa prasejarah, pengaruh India, pengaruh Islam, penjajahan, perjuangan kemerdekaan, sampai masa merdeka menjelang 1960-an. Suatu periode yang penting, mengingat pada masa itu kesenian Indonesia masih "belum" tercemar oleh berbagai kepentingan—politik dan komersial. Holt mengidentifikasikan tiap tahapan dengan cara mengaitkan keberadaan dan fungsi kesenian dengan berbagai hal yang melatarbelakangi kehidupannya: ekonomi, sosial, budaya, pemerintahan, dan sistem kepercayaan masyarakat pendukungnya, yang ia hubungkan dan/atau bandingkan dengan fenomena serupa yang terjadi di tempat atau waktu lain (yang mendahuluinya) yang memiliki kemiripan, kesamaan, atau yang diduga memiliki hubungan historis dan/atau sosio-ekonomi kultural dengan yang terjadi di Indonesia. Atas dasar interpretasi dan analisisnya, pada tiap akhir pembicaraan sebuah (sub) bab, Holt mengajukan semacam rumusan atau kesimpulan, baik yang berupa pencirian kesenian dari satu periode tertentu maupun dugaan dan/atau pertanyaan yang kiranya bermanfaat bagi penelitian berikutnya.

Holt mengakui bahwa bukunya belum mencakup semua jenis kesenian yang ada di Indonesia. Selain berkonsentrasi pada Jawa (terutama Yogyakarta) dan Bali (terutama selatan), Holt juga menyinggung beberapa jenis kesenian di Sumatra Barat dan Utara, terutama Nias dan Batak, Kalimantan, Sulawesi (Toraja), serta Papua dan sekitarnya. Dari tulisannya, tersirat kepiawaian Holt dalam bidang arkeologi dan seni rupa dan keandalannya dalam bidang tari dan pewayangan (konon, ia juga seorang penari). Namun, ia hampir sama sekali tidak menyentuh bidang musik. Bahkan, sementara pada bidang seni rupa dan (pada kadar tertentu pada bidang) tari Holt menunjukkan identitasnya sebagai ilmuwan sekaligus seniman, pengamat, dan kritikus yang hebat, pada bidang musik ia baru sedikit menyinggung aspek fisik: bentuk, jumlah, serta nama beberapa instrumen.

Soedarsono, yang menerjemahkan buku ini, menyebut salah satu kehebatan buku ini adalah catatan referensinya, yang begitu penting sehingga ia perlu menempatkannya sebagai catatan kaki. Itulah kekuatan yang sekaligus (menurut saya) juga kelemahan Holt karena hal itu kurang diimbangi dengan sikapnya yang kurang memandang penting informasi dari sumber primer, terutama lewat wawancara dengan para "pakar", seniman, ataupun tokoh masyarakat lokal sebagai unsur penentu kehidupan kesenian. Holt nyaris tidak menyebut satu pun nama seniman atau tokoh tari, pewayangan, dan musik pada zaman itu. Itu berbeda dengan ketika ia membicarakan dunia seni rupa (modern), walau untuk itu pun ia tidak pula menyitir hasil pembicaraannya dengan pelaku seni. Dari 287 referensinya, hanya 27 tulisan pribumi Indonesia (lupakan dulu mutunya) dan satu terbitan berkala berbahasa Indonesia dari delapan buah yang dia sebut. Dengan demikian, buku ini terkesan sebagai karya seorang outsider yang lebih banyak melakukan penelitiannya di belakang meja.

Bagaimanapun, buku ini masih merupakan salah satu referensi yang terbaik dan masih sangat diperlukan sampai saat ini. Kesulitan untuk mendapatkan bacaan ini dan kesulitan penguasaan bahasa asing bagi kebanyakan pembaca di Indonesia telah sedikit terpecahkan oleh terbitnya terjemahan Prof. Dr. R.M. Soedarsono, seorang pakar sejarah dan tari yang juga penari. Klop. Di antara kesibukannya yang luar biasa, Soedarsono masih sempat menerjemahkan dan memberi pengantar terjemahan buku sepenting ini. Profesinya adalah jaminan alih bahasa ini, walau ada pertanyaan kecil dari saya, apakah alih bahasa ini seluruhnya sempat dikerjakan sendiri, mengingat pada beberapa bagian—Bab I serta Bab II Bagian Seni Plastis Bali—pembaca memerlukan sedikit tambahan energi dalam pemaknaannya karena terjemahannya yang mot-a-mot (kata per kata), pilihan kata yang kurang pas, dan penyusunan kalimat yang sedikit membingungkan, sehingga pembaca perlu membaca buku aslinya untuk membantu memahaminya. Hal ini sebenarnya tak perlu terjadi bila dihadirkan seorang editor yang juga disampiri urusan salah eja dan salah ketik, yang juga terjadi pada terjemahan ini.

Rahayu Supanggah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus