GIJSBERT Louis Koster, dalam buku ini, benar-benar mengelana dalam taman pesona pembacaan naratif Melayu. Ia tak membatasi diri pada satu atau sekelompok teks -- sebagaimana biasanya disertasi tentang hasil sastra yang berasal dari masa lampau. Dalam disertasi di Universitas Leiden, 2 Juni 1933 -- kemudian menjadi buku ini -- ia melihat persambungannya dengan sastra masa kini dan interpretasi baru. Koster bergerak antara berbagai teks dan milik teks, yang terlihat pada pembagian pembicaraannya. Bab tentang konvensi naratif, sesudah pendahuluan, diawali dengan persoalan cara penerimaan naratif Melayu pada masyarakat Melayu yang oral-aural, ucap-dengar. Di samping naratif yang berfaedah, Sejarah Melayu, ada yang menghibur, yakni Syair Ken Tambuhan. Selanjutnya, ia berbicara tentang variasi dalam identitas, tentang rumus pembentukan naratif pada Syair Ken Tambuhan. Akhirnya, Koster mempertentangkan dalang dan dagang. Dalang menganggap diri menghasilkan sesuatu yang sempurna. Ini terlihat pada Hikayat Andaken Penurat. Lain dengan dagang, fakir, yang menganggap diri kecil dan kekurangan, misalnya pada Syair Nyamuk dan Lalat. Dalam membicarakan epik pahlawan, cerita Panji, dan parodi, Koster memulai dengan Syair Perang Mengkasar, yang dilihatnya dalam hubungan genre sebagai alat interpretasi, sebagai epik pahlawan dan hubungan epik heroik dan historiografi modern. Ini dilanjutkan dengan persoalan tentang Syair Perang Siak, yang antara lain dikatakan berhubungan dengan persoalan hak. Bagaimana Raja Alam -- dengan bantuan Belanda -- menuntut haknya atas takhta Siak. Akibatnya, terjadi komedi ingatan. Selanjutnya, ada pembicaraan tentang Syair Ken Tambuhan sebagai cerita Panji. Ini dilihat dalam hubungan dengan kajian cerita Panji dan Ken Tambuhan sebagai cerita cinta, pembuangan, kepulangan, dan pasangan dewata. Pembicaraan berikutnya tentang cerita ikan, a fishy story. Koster membahas Syair Ikan Terubuk, yang dianggapnya membosankan. Karena itu, menurutnya, selama ini cerita itu diabaikan dunia ilmu. Dengan memperkenalkan prinsip intertekstualitas -- suatu teks tak dilihat berdiri sendiri, tapi dalam hubungan dengan teks lain -- ia melihatnya sebagai epik pahlawan atau roman. Dan ia dapat menghubungkannya dengan historiografi dan realitas interteks lainnya. Pembicaraan Koster yang terakhir adalah tentang Syair Buah- buahan, karya yang memesonakan dan menggoda hingga dapat disangsikan hakikat kebuahannya. Sesudah berbicara tentang Muhammad Bakir yang mengarang syair ini, Koster sampai pada pernyataan tentang cerita buah yang didaktik yang ada hubungan dengan pembacaan referensial. Dengan mengelana ke berbagai teks, Koster membawa kita ke dunia intertekstual. Teks tak dibaca secara referensial -- dalam hubungan dengan realitas yang dianggap diwakilinya. Dengan cara ini, kita sadar akan perbedaan pemberitaan tentang kejatuhan Melaka ke Portugis antara Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah, hingga kita tak pernah pasti apa yang sebenarnya terjadi. Dan lalu kita pertanyakan kebenaran referensialnya yang dapat dipegang hanya kejatuhan Melaka ke Portugis. Yang lainnya hanya interpretasi dan imajinasi. Dan cara ini membawa kita ke berbagai kemungkinan lain. Bukan hanya pembacaan intertekstual, tapi juga pembacaan sintagmatik -- suatu unsur teks dibaca dalam hubungan dengan unsur lain dalam teks yang sama. Dan Koster membaca Syair Ikan Terubuk dalam hubungan Syair Perang Siak, bebas dari pembacaan simbolik yang terasa sewenang-wenang. Melalui disertasinya, Koster makin meyakinkan kita perlunya pembacaan intertekstual itu. Koster membuka berbagai kemungkinan interpretasi, tentang adanya rumus pembentukan suatu teks dan perlunya pembacaan secara genre. Dalam mencirikan Syair Ken Tambuhan, ia berusaha merumuskan pola pembentukan konstruksi naratifnya. Namun, karena ini dilihatnya dalam hubungan pemikiran Braginsky dan Muhammad Hj. Salleh yang cenderung berbicara tentang estetika Melayu, kita juga mendapat kesan yang sama dalam membaca Koster. Ia bukan berbicara tentang Syair Ken Tambuhan, tapi tentang syair, lalu tentang puisi dan estetika Melayu. Rumus itu bukan hanya menolak pola lain yang dikatakan bukan pola puisi atau estetika Melayu, tapi juga menjadikan estetika Melayu sesuatu yang statik, tak kreatif. Dalam hubungan ini perlu diingat, Braginsky dan Muhammad berusaha menemukannya pada yang lama, yang arkaik. Akibatnya, sastra Melayu jadi barang museum. Saya hargai kehati-hatian Koster dalam menggunakan konsep genre/jenis. Itu hanya digunakannya sebagai metode untuk menghadapi sekelompok teks. Juga saya hargai usaha Koster yang memperkuat keyakinan kita perlunya kajian intertekstual. Tapi kita selalu dibayangi perangkap intertekstual karena pengertiannya yang labil. Pengetahuan tentang Syair Perang Siak memungkinkan Koster memahami Syair Ikan Terubuk dalam hubungan syair itu. Tapi, dengan pengetahuan teks lain, saya dapat meluaskannya. Peristiwa "naiknya Putri Puyu-puyu ke langit karena takut serangan Putra Terubuk" dapat saya baca dalam hubungan "naiknya Dang Tuangku cs ke langit bila Pagaruyung diserang Tiang Bungkuak" dalam Kaba Cindua Mato Minangkabau. Begitulah, di samping menghargai usaha Koster yang dikerjakan dengan pembacaan teks dan teori, saya juga melihat adanya perangkap yang memaksa kita hati-hati. Umar Junus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini