Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Di antara alam mimpi, dukun, dan ...

New york : bantam books, 1988 resensi oleh : danarto.

24 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RING OF FIRE Exploring the last remote places of the word Pengarang: Lawrence Blair & Lorne Blair Penerbit. Bantam Books, New York, 272 halaman, 1988 TERSEBUTLAH kakak beradik Lawrence dan Lorne Blair. Bersama Lydia, ibu mereka, bertiga mereka datang ke Jawa, untuk mendalami ajaran Subud. Namun, kakak beradik itu kemudian merasa menemukan suatu "panggilan": keinginan untuk lebih mengerti dan mendalami "mistik" di Indonesia. Pemandangan inilah yang mula-mula membuat Lorne Blair gelisah. Menyaksikan perahu-perahu Bugis di pelabuhan Makassar, ia membayangkan bagaimana Alfred Russel Wallace pengelana dan naturalis Barat terkenal yang merupakan orang Barat pertama yang menjelajah Indonesia Timur 120-an tahun silam, dan yang menciptakan "Garis Wallace" -- "menemukan" burung cenderawasih. Tatkala kemudian mengunjungi Toraja dengan adat penguburannya yang unik, Lorne merasa bahwa ia harus mengabadikan semua ini dalam film sebelum "hilang". Dari Ringo Starr, salah seorang anggota The Beatles, Lorne kemudian memperoleh dana untuk membuat film petualangan ini, antara lain untuk napak tilas perjalanan Wallace ke Maluku. Lorne, yang pernah bekerja di BBC, memang ingin membuat lompatan besar dengan membuat film dokumenter tentang "wilayah yang paling tidak dikenal di peta bumi" ini. Ia ditemani saudaranya, Lawrence, seorang dosen psiko-antropologi di Universitas California, AS. Maka, diawali dari Bira, sebuah kampung kecil di Sulawesi Selatan, pada 1973 dimulailah pengembaraan menjelajahi pulau-pulau Maluku, menempuh tidak kurang dari 2.500 mil, dengan perahu pinisi yang dikemudikan 16 orang pelaut Bugis yang kesohor itu. Ketika mencapai Pulau Aru, mereka menemukan apa yang diimpikan selama ini: burung cenderawasih menari dan bernyanyi dalam hutan, di habitatnya yang bebas. Perjalanan itu berakhir. Keduanya, dengan filmnya, selamat kembali ke London. Namun, ternyata itu merupakan awal sebuah pengembaraan panjang untuk menjelajah daerah-daerah lain di Indonesia. Perjalanan pertama itu menyadarkan Blair bersaudara, begitu banyak yang harus direkam sebelum modernisasi membuat semua itu hilang. Keduanya yakin, sumber-sumber buat psiko-antropologi -- sub cabang psikologi dan antropologi -- tersimpan dalam ingatan suku-suku terasing. Mereka inilah yang merupakan mata rantai terakhir dari rantaian ingatan umat manusia. Pada mereka inilah masih tersimpan kemampuan-kemampuan seperti psiko navigasi (berlayar atau berjalan tanpa kompas dan peta), perjalanan jiwa di luar raga, dan kesadaran yang kuat akan lingkungan, tentang pentingnya keseimbangan antara dua dunia, dunia atas dan dunia bawah, dunia terang dan dunia gelap, dunia nyata dan dunia mimpi. Akhirnya, selama sepuluh tahun, mereka berdua melakukan sembilan perjalanan ke berbagai daerah Indonesia, wilayah yang oleh para ahli geologi disebut Ring of Fire -- karena begitu banyak gunung berapinya. Perjalanan itu, seperti mereka akui, akhirnya merupakan perjalanan untuk menemukan hakikat diri mereka sendiri, "melintasi wilayah-wilayah dengan raja-raja dan ratu-ratu yang benar berkuasa, naga dan perompak, kanibal dan pengayau kepala, serta mistik dan dukun". Mereka hidup bertelanjang bersama suku Asmat, mencari dan bertemu dengan kekuatan magis di Bali, menyatu dengan suku Toraja yang yakin bahwa nenek moyang mereka berasal dari bintang-bintang, mendarat di Krakatau yang terlarang, menerobos Kalimantan di antara suku Dayak Punan pengembara yang diperkirakan tak ada lagi, di Kepulauan Maluku di antara orang-orang yang menoreh pipi-pipi mereka dengan pedang, di Pulau Seram bertemu dukun-dukun buaya, bertemu komodo yang memakan manusia, di Pulau Sumba menyaksikan sport perang tahunan. Di Sulawesi, dua bersaudara itu menyaksikan ritual yang dilakukan oleh suatu sekte waria yang ganjil, yang biasa berjalan berkeliling. Para waria Bugis itu biasa menyelenggarakan upacara tradisional penuh adegan kesurupan, pada masa tanam padi. Ada sekitar 8 orang berusia sekitar 14 sampai 60 tahun yang beraksi. Dengan dandanan pakaian wanita yang mencolok, meruabkan parfum murahan, mereka juga mengenakan perhiasan yang dipadu dengan jimat dan benda-benda magis lainnya. Para penonton ingar-bingar. Meski para penonton ini mengejek, mendorong-dorong, dan mencolek-colek, para waria itu dengan tenang melaksanakan ritual. Mereka memukuli tubuh sendiri, mencabut keris, berputar-putar di sekitar ruangan sambil menusuk-nusukkan keris itu pada tenggorokan dan perut sendiri. Di Pulau Sumba, Blair bersaudara berhasil mengabadikan pasola lewat kamera. Pasola adalah suatu sport yang boleh jadi tinggal satu-satunya di bumi ini yang masih diselenggarakan. Bukan sport sembarang sport, pasola adalah sport perang yang diselenggarakan tiap tahun. Sport ini bergantung pada tanda-tanda yang diberikan oleh Ratu, para pendeta. Mereka berperan besar dalam menentukan kapan sport perang tahunan ini dapat dilangsungkan. Sebelum segalanya mulai, para pendeta memantau bulan dan bintang-bintang untuk beberapa bulan lamanya. Lalu mereka meramalkan mendaratnya cacing-cacing yang bergeliang-geliung di pantai. Cacing-cacing laut yang menyerbu pantai inilah merupakan pertanda dimulainya pasola. Penyelenggaraan pasola berbeda waktu tiap tahunnya. Setelah pertanda itu, dua rombongan yang akan berhadapan bersiap. Dua tim pasukan berkuda ini lalu saling menggebrak, ratusan jumlahnya. Bersenjatakan lembing tumpul, mereka memacu kudanya kencang-kencang dengan semangat membunuh yang menggebu. Anehnya, para penonton juga dibolehkan untuk diserbu. Dalam sport perang ini memang ada yang terbunuh, sejumlah di antaranya luka-luka. Tapi sport perang ini bukan upacara korban manusia, yang selama itu dianggap memohon sesuatu kepada dewa-dewa Merapu. Pasola adalah suatu persembahan diri sendiri kepada para dewa, untuk membantu tugas mereka dalam menjaga keseimbangan Dunia Atas dan Dunia Bawah. Di Irian Jaya, Lorne bersama dua temannya hidup bertelanjang -- agar diterima seratus persen -- bersama warga kampung Otjanep dari suku Asmat. Kampung ini terkenal karena diduga di sinilah pada 1961 Michael Rockefeller -- anak wakil presiden Amerika waktu itu -- hilang. Terakhir Mike terlihat berusaha sekuat tenaga berenang mencapai pantai dari perahunya yang hanyut, di dekat kampung Otjanep. Beberapa dugaan mengatakan, ia tenggelam. Yang lain mengatakan, ia dimakan hiu atau buaya. Lorne mengaku, dialah yang berhasil mengungkapkan apa sebenarnya yang terjadi pada Michael Rockefeller. Michael, kata Lorne, dibunuh dan lalu disantap oleh warga Otjanep sebagai pembalasan "utang darah" atas dibunuhnya sejumlah warga Otjanep oleh Belanda beberapa tahun sebelumnya. Perjalanan budaya ini dituturkan secara menarik. Buku ini terasa akrab karena mampu meruabkan suasana, intensitas, dan emosi. Seperti terasa bau keringat, darah, dan keluh-kesah. Pembaca dapat mencium suasana keterusterangan, yang sedikit banyak agaknya cukup jujur diceritakan. Meski begitu, terasa bahwa kedua penulis ini sering melebih-lebihkan kesan mereka, sehingga agak berbau sensasional. Buat orang Indonesia sendiri, kesurupan, dukun, dan alam mimpi, misalnya, bukan sesuatu yang aneh, sehingga membaca penuturan Blair bersaudara ini sering menimbulkan kesan yang tidak enak. Apalagi keduanya hanya menjamah dan mengungkapkan segala sesuatu yang berbau "mistik", sehingga pembaca yang asing tentang Indonesia bisa mendapat kesan yang salah tentang situasi Indonesia saat ini. Keberanian dan kenekatan dua bersaudara Blair ini memang cukup mengagumkan. Untuk mencari warga suku Dayak Punan yang masih nomad, berbulan-bulan mereka menjelajah belantara Kalimantan. Mereka akhirnya menemukan mereka. Mereka juga mengungkapkan bagaimana alam mimpi masih sangat penting dalam kehidupan suku pengembara itu. Dengan begitu, warga Dayak yang nomad itu bisa berkomunikasi dalam jarak jauh bahkan juga dengan alam sekitarnya, lewat "kelana-kelana mimpi" dan bantuan Aping, si dewa hutan. Kisah perjalanan seperti ini, yang juga berusaha menceritakan perjalanan batin, memang langka, menjadikan buku ini menarik untuk dibaca meski mungkin banyak hal yang tidak berkenan di hati kita. Namun, ada ganjalan. Penulis tak mencantumkan catatan waktu (hari-tanggal-bulan-tahun) secuil pun. Ini tentu bisa membuat pembaca jadi ragu, apa pengertian pengembaraan sepuluh tahun itu. Sikap ini tentu aneh bagi orang Barat yang biasanya selalu ingin akurat segala sesuatunya. Boleh jadi Blair bersaudara punya semangat komersial yang tinggi, hingga pelenyapan catatan waktu menjadikan buku ini menyiratkan kelanggengan bagi memori pembacanya. Suatu taktik yang boleh juga. Buku ini, hasil rekaman dari seri Adventure yang ditayangkan PBS (Public Broadcasing Service), stasiun televisi nonkomersial di Amerika, yang tiap minggunya disaksikan oleh 30 juta penonton, juga "bertendens". Pada sampul-sampul dalamnya termuat peta lama Indonesia, peninggalan Pemerintah Belanda. Dalam peta itu tertulis: Sketch Map of the Dutch Possessions, in the Indian Archipelago. Dengan melihat peta itu (dua buah peta yang sama) kita dapat menduga bahwa kedaulatan Republik ini sedang dilecehkan oleh penulis buku ini. Apalagi Blair bersaudara ini tetap ngotot mencatumkan nama-nama Borneo, Celebes, dan New Guinea, pada catatannya. Padahal, mereka tahu bahwa pulau-pulau itu sudah lama mendapatkan nama-nama barunya. Buku ini dihiasi dengan lebih dari seratus foto. Sebagian adalah foto-foto yang selamat dari kebakaran, yang melanda apartemen Lawrence Blair ketika ia memulai menulis buku ini, dan meludaskan catatan dan koleksinya tentang Indonesia. Danarto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus