Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Diplomasi dan yang di belakangnya

Pengarang: t.b. simatupang jakarta: sinar harapan, 1980 resensi oleh: taufik abdullah. (bk)

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAPORAN DARI BANARAN Kisah Seorang Prajurit Selama Perang Kemerdekaan T.B. Simatupang Penerbit: Sinar Harapan, 1980, 227 hal., termasuk Glosarium. Cetak ulang ke-12 (cetakan I, 1960 oleh PT Pembangunan) KEMARIN tanggal 18 Desember saya masih mondar-mandir di Yogyakarta sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Sorenya saya masih makan di Hotel Kaliurang sebagai 'diplomat' bersama-sama dengan anggota delegasi kita dan anggota KTN. Kemudian saya bertemu dengan Paduka Yang Mulia Wakil Presiden dari Republik Indonesia. Dan sekarang saya berada di sini, di rumah gardu di Minggir di tepi Kali Progo. Apa yang akan terjadi dengan saya besok lusa tidak ada yang dapat meramalkannya. Demikianlah hidup manusia, pikir saya ada pasangnya ada surutnya, seperti air laut." Begitulah TB Simatupang melukiskan perasaannya ketika ia, setelah sehari penuh pergi meninggalkan Yogyakarta, berisitirahat untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Bukan satu ironi yang disampaikan, tetapi situasi paradoks yang bisa dialami siapa pun. Namun paradoks yang disampaikannya tidak hanya menyangkut dirinya, tetapi juga nasib Republik Indonesia yang ikut dipertahankannya. Situasi ketidakpastian yang digambarkannya adalah lanjutan suasana yang serba ambivalen, ketika perundingan antara Indonesia dan Belanda, yang diketengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN) sedang berlangsung. Optimisme bahwa perundingan akan dapat berjalan, karena adanya KTN, bukan tak dirasakan. Tetapi kecenderungan Belanda ingin memakaikan kekuatan militernya, juga disadari sepenuhnya. Maka begitulah dalam suasana waswas ini, menjelang hari yang naas bagi Republik itu, tentara telah mulai melakukan latihan. Bukankah "diplomasi" hanya akan bisa berjalan baik, jika kemampuan melakukan 'perjuangan' selalu diperkuat? Jika akhirnya Belanda menyerang Ibukota Republik Indonesia itu, Yogyakarta praktis tanpa pertahanan. Ketika itu pula pemimpin pemerintahan pun ditawan Belanda. Sedangkan pimpinan Angkatan Perang, di bawah Jenderal Soedirman, umumnya menyingkir dan melanjutkan perjuangannya, dengan memakai desa sebagai basis. Dan bukanlah tanpa arti jika T.B. Simatupang menyebut bukunya Laporan dari Banaran, nama desa yang dijadikan sebagai pusat kegiatannya. Dari peristiwa inilah kisah yang "dilaporkan" Simatupang bermula. Ia benar, bahwa Agresi Kedua yang dilancarkan Belanda, 19 Desember 1948, yang berakibatkan didudukinya sebagian besar kota di Jawa dan Sumatra, merupakan awal perang rakyat semesta yang sesungguhnya. Berbagai dinamik dalam revolusi dan perang kemerdekaan makin memperlihatkan dirinya pada periode ini. Desa-desa terpencil menjadi bagian dari suatu proses yang bersifat nasional. Juga, seakan-akan telah terjadi identifikasi yang lebih jelas antara berbagai kelompok sosial, baik dari sudut etnis-geografis maupun dari sudut status. Dan Simatupang cukup peka melihat peristiwa sosial yang terhampar di hadapannya. Menjadi Kabur Tetapi peristiwa ini juga menimbullan perdebatan. Dari sudut perdebatan sejarah timbullah masalah: apakah putusan pemerintah pusat untuk menantikan kedatangan tentara Belanda di Istana Kepresidenan, harus dianggap sebagai pemberi legitimasi moral kepada mereka yang melanjutkan strategi 'perjuangan'? Sebagaimana galibnya dengan setiap perdebatan sejarah yang mempunyai implikasi politik, sukarlah orang menghindarkan diri dari kecenderungan teologis -- melihat sejarah dari kenyataan hari ini. Jadi tidaklah mengherankan kesediaan untuk melanjutkan strategi "perjuangan" mendapatkan tempat yang lebih tinggi dalam hirarki nilai. Dalam buku ini secara eksplisit Simatupang mengatakan, antara 'diplomasi' dan 'perjuangan' bukan saja merupakan dua strategi yang saling mengisi tetapi juga saling bergantian. Agresi Kedua adalah bukti kegagalan diplomasi. Tetapi ketika akhirnya Belanda gagal memaksakan keinginannya dengan jalan kekerasan, maka kemampuan yang diperlihatkan oleh strategi 'perjuangan' menambah keunggulan 'diplomasi', yang kemudian memberi kata akhir. Dengan kata lain apa yang sesungguhnya terjadi ialah hasrat Vernicktung (penghancuran) yang dilancarkan Belanda dan telah gagal menghadapi strategi Ermattung (pelelahan) yang dijalankan Republik. Dalam kecenderungan Ermattung ini batas antara 'perjuangan' dan 'diplomasi' menjadi kabur. Salah satu aspek diplomasi yang diceritakan dalam buku ini, tetapi tidak dikaitkan dalam konteks perdebatan 'diplomasi' dan 'perjuangan', ialah fakta bahwa BFO (gabungan negara-negara federal yang diciptakan oleh van Mook akhirnya mengakui kesatuan Indonesia. Hal ini terjadi lewat diplomasi. Peristiwa perang rakyat ini kemudian juga menjadi pokok perdebatan antara kepemimpinan 'militer' dan 'sipil'. Maka tanpa melibatkan diri daIam perdebatan ini -- sesuatu yang sesungguhnya barulah muncul setelah dwifungsi makin menampakkan wajahnya -- Simatupang menyebut pula perbedaan Jawa dan Sumatra, dua daerah Republik yang diakui dalam Perjanjian Linggarjati. Di Jawa pimpinan perjuangan rakyat dipegang oleh militer. Kolonel Gatot Soebroto adalah Gubernur Militer di Jawa Tengah, umpamanya. Di Sumatra yang memegang pimpinan itu adalah pemimpin sipil. Dokter A.K. Gani adalah Gubernur Militer Sumatra Selatan. Hal lain lagi yang terungkap dalam buku ini adalah kaburnya batas antara kekuasaan formal dengan wibawa karismatis. Begitulah, secara resmi yang berkuasa selama perang rakyat ini Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dipimpin Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan berpusat di Sumatra. Dan didukung Angkatan Perang Republik Indonesia yang dipimpin Jenderal Soedirman, dengan pusat di Jawa. Tapi wibawa karisma masih tetap berada di tangan Soekarno-Hatta. Betapa pun enggannya PDRI dan TNI, mungkin, untuk melihat perjuangan harus diakhiri dengan diplomasi, keengganan itu menjadi mencair ketika hal itu dirasakan akan menyebabkan mereka harus mengingkari wibawa Soekarno-Hatta. Demikianlah, buku ini mengakhiri kisahnya dengan peristiwa KMB yang dirasakan sebagai perdamaian yang dipaksakan dan ketika Sultan Hamengku Buwono IX menerima dengan resmi pengakuan kedaulatan di Jakarta -- di tempat moyangnya dulu, Sultan Agung, gagal mengusir Belanda. Ketika buku ini diterbitkan pertama kali, 1960, serta merta mendapat sambutan yang hangat. Bukan saja karena ia ditulis oleh seseorang yang ikut secara aktif dalam kisah yang digambarkannya, tetapi terutama karena mutu buku ini sendiri. Simatupang adalah pengkisah yang baik, yang peka terhadap berbagai ironi. Adalah suatu keasyikan, membaca bagaimana ia mencoba memberikan refleksi terhadap situasi yang dihadapinya dengan mengambil tamsilan historis. Beberapa bagian dari buku ini lebih dari sekedar "laporan peristiwa". Bagian itu adalah pula "laporan intelektual". Uraiannya tentang Amir Syarifuddin, misalnya, sangat manusiawi. Di dalamnya tampak kegelisahan melihat seorang teman yang telah memilih jalan lain. Kutipan lengkap dari laporan Kapten Supardjo (sekarang Gubernur Jawa Tengah) tentang perjalanan Pak Dirman, jauh lebih manusiawi dari berbagai tulisan yang telah mendewakan almarhum. Memang, salah satu nilai klasik dari buku ini ialah pada kecenderungannya untuk melihat lagi peristiwa serba besar yang telah dialami dari kacamata kemanusiaan. Jarang Ada Perbedaan Betapa pun tampak kecenderungan reflektif, yang kadang-kadang filosofis, Simatupang adalah seorang militer par excellence. Bukan dari sudut mentalitas, rang biasa telah di-stereo-typekan, mungkin, tetapi dalam cara penalaran. Satu peristiwa muncul, maka ia melihat berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Dan kemudian, secara rasional, ia menentukan kecenderungannya. Jika begitu dua-tiga alternatif, juga menampakkan dirinya. Setiap alternatif dikaji keuntungan dan kerugian. Maka akhirnya pilihan ditentukan. Jarang terjadi perbedaan saya dengan Pak Dirman, kata Simatupang. Kalau ada, maka kemudian saya sadar Pak Dirman ternyata "lebih tepat" dan "lebih bijaksana". Tetapi beberapa kali ia merasa bahwa pandangannya adalah benar "dalam arti rasional". Maka tak timbul pertanyaan apakah "kerasionalan"-nya ini yang menyebabkan Simatupang harus pensiun dalam usia 39 tahun -- di saat umur sedang di puncak produktivitas? Tetapi "rasionalitas" dan "perasaan" dalam kenegaraan berada di luar perhatian buku ini. Buku ini dilengkapi dengan pengantar dari Prof. John Smail dari edisi Inggris, yang diterbitkan oleh Universitas Cornell, Glossarium dan daftar singkatan dan kata asing, yang tak lengkap. Taufik Abdullah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus