LAPORAN DARI BANARAN
Kisah Seorang Prajurit Selama Perang Kemerdekaan
T.B. Simatupang
Penerbit: Sinar Harapan, 1980, 227 hal., termasuk Glosarium.
Cetak ulang ke-12 (cetakan I, 1960 oleh PT Pembangunan)
KEMARIN tanggal 18 Desember saya masih mondar-mandir di
Yogyakarta sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Sorenya
saya masih makan di Hotel Kaliurang sebagai 'diplomat'
bersama-sama dengan anggota delegasi kita dan anggota KTN.
Kemudian saya bertemu dengan Paduka Yang Mulia Wakil Presiden
dari Republik Indonesia. Dan sekarang saya berada di sini, di
rumah gardu di Minggir di tepi Kali Progo. Apa yang akan terjadi
dengan saya besok lusa tidak ada yang dapat meramalkannya.
Demikianlah hidup manusia, pikir saya ada pasangnya ada
surutnya, seperti air laut."
Begitulah TB Simatupang melukiskan perasaannya ketika ia,
setelah sehari penuh pergi meninggalkan Yogyakarta,
berisitirahat untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Bukan satu
ironi yang disampaikan, tetapi situasi paradoks yang bisa
dialami siapa pun. Namun paradoks yang disampaikannya tidak
hanya menyangkut dirinya, tetapi juga nasib Republik Indonesia
yang ikut dipertahankannya.
Situasi ketidakpastian yang digambarkannya adalah lanjutan
suasana yang serba ambivalen, ketika perundingan antara
Indonesia dan Belanda, yang diketengahi oleh Komisi Tiga Negara
(KTN) sedang berlangsung. Optimisme bahwa perundingan akan dapat
berjalan, karena adanya KTN, bukan tak dirasakan. Tetapi
kecenderungan Belanda ingin memakaikan kekuatan militernya, juga
disadari sepenuhnya.
Maka begitulah dalam suasana waswas ini, menjelang hari yang
naas bagi Republik itu, tentara telah mulai melakukan latihan.
Bukankah "diplomasi" hanya akan bisa berjalan baik, jika
kemampuan melakukan 'perjuangan' selalu diperkuat?
Jika akhirnya Belanda menyerang Ibukota Republik Indonesia itu,
Yogyakarta praktis tanpa pertahanan. Ketika itu pula pemimpin
pemerintahan pun ditawan Belanda. Sedangkan pimpinan Angkatan
Perang, di bawah Jenderal Soedirman, umumnya menyingkir dan
melanjutkan perjuangannya, dengan memakai desa sebagai basis.
Dan bukanlah tanpa arti jika T.B. Simatupang menyebut bukunya
Laporan dari Banaran, nama desa yang dijadikan sebagai pusat
kegiatannya.
Dari peristiwa inilah kisah yang "dilaporkan" Simatupang
bermula. Ia benar, bahwa Agresi Kedua yang dilancarkan Belanda,
19 Desember 1948, yang berakibatkan didudukinya sebagian besar
kota di Jawa dan Sumatra, merupakan awal perang rakyat semesta
yang sesungguhnya. Berbagai dinamik dalam revolusi dan perang
kemerdekaan makin memperlihatkan dirinya pada periode ini.
Desa-desa terpencil menjadi bagian dari suatu proses yang
bersifat nasional. Juga, seakan-akan telah terjadi identifikasi
yang lebih jelas antara berbagai kelompok sosial, baik dari
sudut etnis-geografis maupun dari sudut status. Dan Simatupang
cukup peka melihat peristiwa sosial yang terhampar di
hadapannya.
Menjadi Kabur
Tetapi peristiwa ini juga menimbullan perdebatan. Dari sudut
perdebatan sejarah timbullah masalah: apakah putusan pemerintah
pusat untuk menantikan kedatangan tentara Belanda di Istana
Kepresidenan, harus dianggap sebagai pemberi legitimasi moral
kepada mereka yang melanjutkan strategi 'perjuangan'?
Sebagaimana galibnya dengan setiap perdebatan sejarah yang
mempunyai implikasi politik, sukarlah orang menghindarkan diri
dari kecenderungan teologis -- melihat sejarah dari kenyataan
hari ini. Jadi tidaklah mengherankan kesediaan untuk melanjutkan
strategi "perjuangan" mendapatkan tempat yang lebih tinggi
dalam hirarki nilai.
Dalam buku ini secara eksplisit Simatupang mengatakan, antara
'diplomasi' dan 'perjuangan' bukan saja merupakan dua strategi
yang saling mengisi tetapi juga saling bergantian. Agresi Kedua
adalah bukti kegagalan diplomasi. Tetapi ketika akhirnya Belanda
gagal memaksakan keinginannya dengan jalan kekerasan, maka
kemampuan yang diperlihatkan oleh strategi 'perjuangan' menambah
keunggulan 'diplomasi', yang kemudian memberi kata akhir.
Dengan kata lain apa yang sesungguhnya terjadi ialah hasrat
Vernicktung (penghancuran) yang dilancarkan Belanda dan telah
gagal menghadapi strategi Ermattung (pelelahan) yang dijalankan
Republik. Dalam kecenderungan Ermattung ini batas antara
'perjuangan' dan 'diplomasi' menjadi kabur.
Salah satu aspek diplomasi yang diceritakan dalam buku ini,
tetapi tidak dikaitkan dalam konteks perdebatan 'diplomasi' dan
'perjuangan', ialah fakta bahwa BFO (gabungan negara-negara
federal yang diciptakan oleh van Mook akhirnya mengakui
kesatuan Indonesia. Hal ini terjadi lewat diplomasi. Peristiwa
perang rakyat ini kemudian juga menjadi pokok perdebatan antara
kepemimpinan 'militer' dan 'sipil'.
Maka tanpa melibatkan diri daIam perdebatan ini -- sesuatu yang
sesungguhnya barulah muncul setelah dwifungsi makin menampakkan
wajahnya -- Simatupang menyebut pula perbedaan Jawa dan Sumatra,
dua daerah Republik yang diakui dalam Perjanjian Linggarjati. Di
Jawa pimpinan perjuangan rakyat dipegang oleh militer. Kolonel
Gatot Soebroto adalah Gubernur Militer di Jawa Tengah,
umpamanya. Di Sumatra yang memegang pimpinan itu adalah pemimpin
sipil. Dokter A.K. Gani adalah Gubernur Militer Sumatra Selatan.
Hal lain lagi yang terungkap dalam buku ini adalah kaburnya
batas antara kekuasaan formal dengan wibawa karismatis.
Begitulah, secara resmi yang berkuasa selama perang rakyat ini
Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dipimpin Mr.
Sjafruddin Prawiranegara dan berpusat di Sumatra. Dan didukung
Angkatan Perang Republik Indonesia yang dipimpin Jenderal
Soedirman, dengan pusat di Jawa. Tapi wibawa karisma masih tetap
berada di tangan Soekarno-Hatta. Betapa pun enggannya PDRI dan
TNI, mungkin, untuk melihat perjuangan harus diakhiri dengan
diplomasi, keengganan itu menjadi mencair ketika hal itu
dirasakan akan menyebabkan mereka harus mengingkari wibawa
Soekarno-Hatta.
Demikianlah, buku ini mengakhiri kisahnya dengan peristiwa KMB
yang dirasakan sebagai perdamaian yang dipaksakan dan ketika
Sultan Hamengku Buwono IX menerima dengan resmi pengakuan
kedaulatan di Jakarta -- di tempat moyangnya dulu, Sultan Agung,
gagal mengusir Belanda.
Ketika buku ini diterbitkan pertama kali, 1960, serta merta
mendapat sambutan yang hangat. Bukan saja karena ia ditulis oleh
seseorang yang ikut secara aktif dalam kisah yang
digambarkannya, tetapi terutama karena mutu buku ini sendiri.
Simatupang adalah pengkisah yang baik, yang peka terhadap
berbagai ironi. Adalah suatu keasyikan, membaca bagaimana ia
mencoba memberikan refleksi terhadap situasi yang dihadapinya
dengan mengambil tamsilan historis. Beberapa bagian dari buku
ini lebih dari sekedar "laporan peristiwa". Bagian itu adalah
pula "laporan intelektual". Uraiannya tentang Amir Syarifuddin,
misalnya, sangat manusiawi. Di dalamnya tampak kegelisahan
melihat seorang teman yang telah memilih jalan lain. Kutipan
lengkap dari laporan Kapten Supardjo (sekarang Gubernur Jawa
Tengah) tentang perjalanan Pak Dirman, jauh lebih manusiawi dari
berbagai tulisan yang telah mendewakan almarhum. Memang, salah
satu nilai klasik dari buku ini ialah pada kecenderungannya
untuk melihat lagi peristiwa serba besar yang telah dialami dari
kacamata kemanusiaan.
Jarang Ada Perbedaan
Betapa pun tampak kecenderungan reflektif, yang kadang-kadang
filosofis, Simatupang adalah seorang militer par excellence.
Bukan dari sudut mentalitas, rang biasa telah di-stereo-typekan,
mungkin, tetapi dalam cara penalaran. Satu peristiwa muncul,
maka ia melihat berbagai kemungkinan yang bisa terjadi. Dan
kemudian, secara rasional, ia menentukan kecenderungannya. Jika
begitu dua-tiga alternatif, juga menampakkan dirinya. Setiap
alternatif dikaji keuntungan dan kerugian. Maka akhirnya pilihan
ditentukan.
Jarang terjadi perbedaan saya dengan Pak Dirman, kata
Simatupang. Kalau ada, maka kemudian saya sadar Pak Dirman
ternyata "lebih tepat" dan "lebih bijaksana". Tetapi beberapa
kali ia merasa bahwa pandangannya adalah benar "dalam arti
rasional". Maka tak timbul pertanyaan apakah "kerasionalan"-nya
ini yang menyebabkan Simatupang harus pensiun dalam usia 39
tahun -- di saat umur sedang di puncak produktivitas? Tetapi
"rasionalitas" dan "perasaan" dalam kenegaraan berada di luar
perhatian buku ini.
Buku ini dilengkapi dengan pengantar dari Prof. John Smail dari
edisi Inggris, yang diterbitkan oleh Universitas Cornell,
Glossarium dan daftar singkatan dan kata asing, yang tak
lengkap.
Taufik Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini