Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Calon Bupati Dan Lain-Lain

Kegiatan mahasiswa Indonesia di luar negeri terutama AS dan sikap mereka terhadap Indonesia. Ada yang hidup pas-pasan sambil bekerja untuk menutupi kebutuhan. (pdk)

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMANG beragam tipe mahasiswa kita di luar negeri -- sudah tentu. Ada yang hanya belajar melulu, tak mau tahu soal organisasi dan lain-lain. Ada yang aktif, dan kritis terhadap sesama rekan, juga terhadap peristiwa di tanah air. Ada yang santai karena mendapat uang saku cukup, ada pula yang harus kerja sambilan. Doddy Abdassah, 28 tahun, kiranya termasuk yang hanya melulu belajar. Ia kuliah di University of Southern California (USC sejak 1979 dengan beasiswa PT Caltex Indonesia. Termasuk beruntung, ia mendapat tambahan penghasilan $300 karena diangkat menjadi asisten profesornya. Maka Doddy, bersama seorang istri dan seorang anak, hidup sederhana tapi tenteram di negeri orang dengan pendapatan $800 (hampir Rp 500 ribu) per bulan. Memang sudah sejak jadi mahasiswa ITB, Doddy yang kini sarjana perminyakan tak begitu suka ramai-ramai. Bahkan menilai aksi mahasiswa di tanah air sering "kurang proporsional". Bisa dipahami bila di California ia tak masuk organisasi apapun. Bahkan Permias (Perkumpulan Mahasiswa Indonesia di AS), dinilainya sebagai "organiasi orang kaya", kata Doddy yang memang datang dari keluarga sederhana. Banyak temannya sesama mahasiswa Indonesia di AS tak mempercayainya, bahwa hingga hari ini ia tak memiliki sebiji mobil pun -- padahal di sana mobil bukan main murah. Tapi, tentu saja, mahasiswa yang rajin sembahyang ini bukan tak punya gagasan buat tanah airnya -- meski mirip gagasan mahasiswa kita pada umumnya. "Mahasiswa harus digiatkan riset," kaunya. "Di Amerika ini riset lebih maju 20 tahun dibanding kerja lapangannya." Dan tambahnya, buru-buru: "Tapi kalau saya disuruh pulang sekarang, malu. Harus menggondol doktor dulu, dong." Ada yang bersuara lain. "Kalau pulang ke Indonesia nanti? Saya ingin menjadi bupati di Cepu," kata Bambang Isriyanto, 28 tahun, mahasiswa tingkat sarjana di Pacific States University, jurusan Manajemen Industri. Bambang memang lain dari Doddy. Ia "aktif, patriotik dan idealistis," komentar teman-temannya. Tak mengherankan kalau pada periode kemarin ia terpilih sebagai Ketua Permias cabang Los Angeles yang beranggotakan sekitar 250 mahasiswa. MENENGOK riwayat hidupnya, anak seorang pegawai tinggi Dep. P&K ini memang tak bisa lain. "Jiwa saya jiwa rakyat jelata," tuturnya lantang. "Dulu, semasa kecil, saya lebih suka berteman dengan anak petani yang tinggal di gubuk mencari kayu ke hutan atau menyabit rumput untuk sapi mereka." Waktu itu orang tuanya tinggal di Srondol, Semarang. Dan itulah mengapa ia ingin menjadi bupati Cepu. Tapi mengapa belajar di Amerika Serikat? "Wah, ini masalah kesempatan saja. Juga, waktu itu, bapak khawatir saya menjadi brandal ikut-ikutan teman-teman saya, anak-anak orang kaya di Jakarta," ceritanya. Pemuda ini ulet juga. Hanya dengan bekal uang tipis, ia datang di AS, mencari sekolah sendiri sambil bekerja apa saja -- buruh pabrik plastik, petugas gudang atau pekerja di rumah makan. Bahkan ketika ibunya mengabarkan tak bisa mengirimi uang lantaran keadaannya sendiri di Jakarta sulit, langsung gajinya seminggu dia kirim ke Jakarta. Kini, hidup pemuda yang memasang potret besar Bung Karno di kamar tidurnya itu lebih dari cukup. Dengan honorarium $200 seminggu (sekitar Rp 130 ribu), ia memiliki 3 pesawat tv (yang di sana juga sangat murah): di ruang tamu, di kamar tidurnya dan satu lagi di kamar Silvana Turangan, cewek Manado yang dipacarinya sejak setahun lalu. Ke mana-mana ia mengendarai Datsun 1972 yang menurut dia dibelinya seharga Rp 1 juta. Juga seperangkat diskotik seharga Rp 3,25 juta dimilikinya bersama tiga temannya -- patungan. Dengan begitu ia memang kelihatan aneh -- maka bicaranya dan cita-citanya tak harmonis dengan gaya hidupnya. Tapi menurut Eka Budianta, pembantu TEMPO di Los Angeles, begitulah gaya hidup hampir semua anggota Permias. Hampir semuanya adalah mahasiswa yang datang dengan biaya sendiri, yang uang saku dari keluarganya atau hasil kerja sampingannya lebih besar dari beasiswa yang diterima kawan-kawan mereka yang dikirim pemerintah atau lembaga swasta. Dan biasanya, mahasiswa penerima beasiswa memang enggan masuk Permias --seperti Doddy itu. Tapi juga Eddy Sadikin, anak bekas gubernur DKI Ali Sadikin, yang belajar di Los Angeles, pun tak masuk. Kenapa? "Nggak ada alasan. Nggak suka saja," jawabnya. Bambang yang lancar bicara dan berdebat ini, tentang gaya hidupnya, membela diri: "Saya menyesuaikan diri saja. Prinsip berpikir dan jiwa saya tak berubah," katanya. Dan pagi-pagi ia telah pasang kuda-kuda: "Kalau tak berhasil jadi bupati nanti, ya kerja di pabrik, mempraktekkan pengetahuan." Sementara itu banyak juga mahasiswa kita, terutama yang keturunan Cina, yang seperti ragu untuk pulang meski tetap mengaku cinta Indonesia. Biantoro alias Guan, 29 tahun, mahasiswa California State University, salah satu contoh. "Mau juga pulang, tapi di Indonesia nanti kerja apa?" Ia menceritakan: seorang temannya yang berhasil lulus kuliah, lalu pulang ke Indonesia, ternyata kesulitan mencari kerja. Guan tak ikut organisasi apa pun karena "takut berpolitik". Dan begitulah rata-rata mahasiswa kita keturunan Cina. "Coba bayangkan, kalau nanti begitu turun di Halim lantas ditangkap. Kan nggak lucu." Agak berlebihan memang, tapi bayangan seperti itu memang bisa ada. Datang di Amerika Serikat 1972 sebagai mahasiswa, 1974 Guan sudah tercatat sebagai imigran. Dulu, alasan pertamanya ke Amerika tak lain kesulitan mencari universitas negeri di Indonesia. Dan kini, meski tetap berkeras dan bangga menyebut dirinya orang Indonesia, pemuda ini diam-diam telah mempelajari masa depannya di Betlehem Steel di sana, tempatnya bekerja sekarang. "Kalau nanti pensiun saya akan mendapat gaji 80% dari gaji terakhir sebulannya. Enak, 'kan?" Sekilas, agaknya memang ada perbedaan sikap dan gaya hidup mahasiswa Indonesia yang belajar kawasan pantai barat, California, dan pantai timur Amerika Serikat. Syafrizal Kasim, 23 tahun mahasiswa tingkat IV di American University, Washington, sederhana dan wajar sekali. Orang Amerika di sebelah timur sendiri memang dikenal lebih formal dan apa adanya. lereka misalnya pakai jas dan dasi dan bersikap sopan-dibanding orang sebelah barat yang lebih urakan. Syafrizal hanya sempat kerja sambilan kala libur musim panas: mengatur-atur buku di perpustakaan, dengan honor Rp 2500 sejam. Dan mengatakan, kuliah di negeri ini mahal. "Tapi di sini tes masuknya lebih gampang daripada di Indonesia." Itu pertimbangannya. Tentang Indonesia pun, pandangannya tak jauh berbeda dengan sikapnya sendiri. "Menurut saya perlu menggiatkan rakyat agar menabung, supaya uang tak habis untuk konsumsi melulu," katanya. "Rakyat Indonesia sebetulnya kaya. Lihat itu para petani, berapa banyak yang bisa naik haji. Bukannya saya antiagama. Tapi kalau uang itu dijadikan modal, bisa lebih produktif." Politik atau organisasi? "Wah, kurang tahu." Dari London, seorang mahasiswa berusia 22 tahun, berdiam di sebuah rumah sederhana di pinggir kota, merasa lebih dekat dengan Indonesia dibanding dulu ketika masih tinggal di Payakumbuh, Sumatra Barat. Dewi Fortuna Anwar. mahasiswi jurusan Sejarah Timur dan Afrika di School of Oriental and African Studies -- lembaga pendidikan cabang London University -- suaranya ternyata lebih keras dibanding rekan-rekannya yang di AS. Beberapa waktu lalu Dewi, anak Dr. Chaidir Anwar, dosen Bahasa dan Kesusastraan Indonesia di London University, sempat pulang ke tanah air dan mengunjungi beberapa universitas. Dia mengecam mahasiswa kita yang "hanya santai-santai saja". Lantas cewek manis itu bicara tentang gaya hidup segolongan orang Indonesia. "Mereka itu cuma mengejar materi. Selalu ingin menyamai tetangganya. Seperti pameo Inggris keeping-up with the Jones's." kritiknya. Dewi kini sedang mengejar ijazah sarjana mudanya, dan mengambil sejarah Asia Tenggara dalam abad ke-20 dan Perang Vietnam. Dengan beasiswa œ 1.000 (sekitar Rp 1,5 juta) setahun, dan masih ikut orang tua, ia memang bisa mencurahkan perhatian ke kuliahnya. Nanti setelah lulus ia ingin kembali ke Indonesia, mengajar di UI. "Saya dengar jurusan Sejarah Asia Tenggara di UI masih lemah," katanya dari jauh. Tak seenak Dewi, Harry Djadi, Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Inggris, harus pandai-pandai mengatur waktu. Mahasiswa Politeknik jurusan Labour Studies and Industrial Relations ini harus membiayai sendiri hidupnya beserta seorang istri. Memang istrinya bekerja. Tapi sebagaimana kebanyakan 'klas pekerja' di Inggris, gaji si istri untuk hidup sehari-hari, sementara gaji suami untuk membayar angsuran rumah. Sebagai Ketua PPI-Inggris agaknya Harry tak banyak pusing. Anggotanya, sekitar 600 mahasiswa, sebagian besar tak suka mengadakan kegiatan yang bersifat sosial-politik. Seperti juga Harry: "kebanyakan mahasiswa di sini ingin cepat menyelesaikan kuliah, pulang ke Indonesia dan mencari kerja." Dia sendiri ingin nantinya bekerja di sebuah perusahaan swasta di tanah air. "Menurut saya penggunaan tenaga karyawan di sebagian besar perusahaan swasta di Indonesia belum intensif. Mengintensifkan tenaga itu yang saya cita-citakan." Dari sejumlah contoh kehidupan mahasiswa kita di negara-negara luar, ternyata yang mengalami kesulitan bahasa adalah yang di Jepang. Praktis semua mahasiswa yang diwawancarai pembantu TEMPO di Tokyo menyatakan susah "mempelajari bahasa Jepang, terutama huruf kanjinya". Seperti yang dialami Masjudi, 29 tahun, asal Semarang. Ia memperoleh beasiswa Monbusho (Dep. P&K-nya Jepang) untuk belajar Kimia Teknik. Mengenai buku teks ia masih bisa mencari buku berbahasa Inggris. Tapi buku-buku petunjuk praktis, sering ia harus minta bantuan mahasiswa Jepang untuk menjelaskannya. Masdjudi begitu terkesan akan perhatian orang Jepang terhadap pendidikan. "Sudah seabad yang lalu ada kewajiban belajar di Jepang," katanya. Dan kini banyak lulusan fakultas teknik yang ingin menjadi guru. Sepulangnya nanti, calon ahli teknik ini juga ingin menyumbang ide kurikulum pendidikan teknik, agar lebih pas dengan kebutuhan lapangan. Lain lagi kisah Tedjo Utomo, 27 tahun, yang kini belajar di Sydney Technical College jurusan Food Technology. Seperti nekat, 7 tahun lalu ia ke Sydney dengan tiket pesawat satu jalan dan uang sejumlah A$700 saja. Di Sydney ia seharusnya dijemput seseorang dari Kementerian Pendidikan Australia yang mengurusi bangsa asing. Tapi Tedjo tersesat -- karena bahasa Inggrisnya hanya sepatah-dua. SETELAH mengalami proses yang panjang -- antara lain bekerja segala macam, termasuk jadi sopir taksi -- dia berhasil. Bahkan kini, untuk kedua kalinya --yang pertama tahun 1977 -- ia terpilih menjadi Ketua PPI negara bagian New South Wales. Ia pun telah punya simpanan sejumlah uang -- untuk mendatangkan bapak ibunya ke Australia, untuk antara lain diperkenalkan dengan calon istrinya, anak seorang diplomat kita di Canberra. Anak pensiunan ABRI ini 1977 sempat pulang ke tanah air dan menyaksikan suasana menjelang pemilihan umum. Dia agak kaget melihat penjagaan keamanan di mana-mana. Juga agak bingung melihat lalulintas yang kalang kabut. "Tapi inilah Indonesia, inilah tantangan saya," katanya dalam hati, menyaksikan segala yang tak beres menurut penilaiannya. Toh, ia pun punya kritik terhadap anak-anak pejabat Indonesia yang belajar di Australia. Mereka hanya bergaul dengan sesama anak pejabat, biasa. Kritik yang lain: soal mental. Suatu hari, ia diminta menjadi pengantar serombongan olahragawan Indonesia yang lagi berkunjung ke sana. Mereka, tutur Tedjo, bercanda untuk 'mengutil' benda-benda di sebuah toko. Tedjo heran: itu tidak semestinya. Di Australia, katanya, hukum tidak main-main. Ketahuan mengutil, bisa berabe. Ingat yang di London? Tapi ia pun cepat menambahkan ceritanya: "Jika demokrasi seperti di Australia diterapkan di Indonesia, bisa berbahaya. Soalnya, kebanyakan orang Indonesia belum siap dengan rasa tanggungjawab, dan juga mementingkan diri sendiri." Ia tak menjelaskan, kapan "siap"nya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus