MEMANG beragam tipe mahasiswa kita di luar negeri -- sudah
tentu. Ada yang hanya belajar melulu, tak mau tahu soal
organisasi dan lain-lain. Ada yang aktif, dan kritis terhadap
sesama rekan, juga terhadap peristiwa di tanah air. Ada yang
santai karena mendapat uang saku cukup, ada pula yang harus
kerja sambilan.
Doddy Abdassah, 28 tahun, kiranya termasuk yang hanya melulu
belajar. Ia kuliah di University of Southern California (USC
sejak 1979 dengan beasiswa PT Caltex Indonesia. Termasuk
beruntung, ia mendapat tambahan penghasilan $300 karena diangkat
menjadi asisten profesornya. Maka Doddy, bersama seorang istri
dan seorang anak, hidup sederhana tapi tenteram di negeri orang
dengan pendapatan $800 (hampir Rp 500 ribu) per bulan.
Memang sudah sejak jadi mahasiswa ITB, Doddy yang kini sarjana
perminyakan tak begitu suka ramai-ramai. Bahkan menilai aksi
mahasiswa di tanah air sering "kurang proporsional". Bisa
dipahami bila di California ia tak masuk organisasi apapun.
Bahkan Permias (Perkumpulan Mahasiswa Indonesia di AS),
dinilainya sebagai "organiasi orang kaya", kata Doddy yang
memang datang dari keluarga sederhana. Banyak temannya sesama
mahasiswa Indonesia di AS tak mempercayainya, bahwa hingga hari
ini ia tak memiliki sebiji mobil pun -- padahal di sana mobil
bukan main murah.
Tapi, tentu saja, mahasiswa yang rajin sembahyang ini bukan tak
punya gagasan buat tanah airnya -- meski mirip gagasan mahasiswa
kita pada umumnya. "Mahasiswa harus digiatkan riset," kaunya.
"Di Amerika ini riset lebih maju 20 tahun dibanding kerja
lapangannya."
Dan tambahnya, buru-buru: "Tapi kalau saya disuruh pulang
sekarang, malu. Harus menggondol doktor dulu, dong."
Ada yang bersuara lain. "Kalau pulang ke Indonesia nanti? Saya
ingin menjadi bupati di Cepu," kata Bambang Isriyanto, 28 tahun,
mahasiswa tingkat sarjana di Pacific States University, jurusan
Manajemen Industri.
Bambang memang lain dari Doddy. Ia "aktif, patriotik dan
idealistis," komentar teman-temannya. Tak mengherankan kalau
pada periode kemarin ia terpilih sebagai Ketua Permias cabang
Los Angeles yang beranggotakan sekitar 250 mahasiswa.
MENENGOK riwayat hidupnya, anak seorang pegawai tinggi Dep.
P&K ini memang tak bisa lain. "Jiwa saya jiwa rakyat jelata,"
tuturnya lantang. "Dulu, semasa kecil, saya lebih suka berteman
dengan anak petani yang tinggal di gubuk mencari kayu ke hutan
atau menyabit rumput untuk sapi mereka." Waktu itu orang tuanya
tinggal di Srondol, Semarang. Dan itulah mengapa ia ingin
menjadi bupati Cepu.
Tapi mengapa belajar di Amerika Serikat? "Wah, ini masalah
kesempatan saja. Juga, waktu itu, bapak khawatir saya menjadi
brandal ikut-ikutan teman-teman saya, anak-anak orang kaya di
Jakarta," ceritanya.
Pemuda ini ulet juga. Hanya dengan bekal uang tipis, ia datang
di AS, mencari sekolah sendiri sambil bekerja apa saja -- buruh
pabrik plastik, petugas gudang atau pekerja di rumah makan.
Bahkan ketika ibunya mengabarkan tak bisa mengirimi uang
lantaran keadaannya sendiri di Jakarta sulit, langsung gajinya
seminggu dia kirim ke Jakarta.
Kini, hidup pemuda yang memasang potret besar Bung Karno di
kamar tidurnya itu lebih dari cukup. Dengan honorarium $200
seminggu (sekitar Rp 130 ribu), ia memiliki 3 pesawat tv (yang
di sana juga sangat murah): di ruang tamu, di kamar tidurnya dan
satu lagi di kamar Silvana Turangan, cewek Manado yang
dipacarinya sejak setahun lalu. Ke mana-mana ia mengendarai
Datsun 1972 yang menurut dia dibelinya seharga Rp 1 juta. Juga
seperangkat diskotik seharga Rp 3,25 juta dimilikinya bersama
tiga temannya -- patungan.
Dengan begitu ia memang kelihatan aneh -- maka bicaranya dan
cita-citanya tak harmonis dengan gaya hidupnya. Tapi menurut Eka
Budianta, pembantu TEMPO di Los Angeles, begitulah gaya hidup
hampir semua anggota Permias.
Hampir semuanya adalah mahasiswa yang datang dengan biaya
sendiri, yang uang saku dari keluarganya atau hasil kerja
sampingannya lebih besar dari beasiswa yang diterima kawan-kawan
mereka yang dikirim pemerintah atau lembaga swasta.
Dan biasanya, mahasiswa penerima beasiswa memang enggan masuk
Permias --seperti Doddy itu. Tapi juga Eddy Sadikin, anak bekas
gubernur DKI Ali Sadikin, yang belajar di Los Angeles, pun tak
masuk. Kenapa? "Nggak ada alasan. Nggak suka saja," jawabnya.
Bambang yang lancar bicara dan berdebat ini, tentang gaya
hidupnya, membela diri: "Saya menyesuaikan diri saja. Prinsip
berpikir dan jiwa saya tak berubah," katanya. Dan pagi-pagi ia
telah pasang kuda-kuda: "Kalau tak berhasil jadi bupati nanti,
ya kerja di pabrik, mempraktekkan pengetahuan."
Sementara itu banyak juga mahasiswa kita, terutama yang
keturunan Cina, yang seperti ragu untuk pulang meski tetap
mengaku cinta Indonesia. Biantoro alias Guan, 29 tahun,
mahasiswa California State University, salah satu contoh. "Mau
juga pulang, tapi di Indonesia nanti kerja apa?" Ia
menceritakan: seorang temannya yang berhasil lulus kuliah, lalu
pulang ke Indonesia, ternyata kesulitan mencari kerja.
Guan tak ikut organisasi apa pun karena "takut berpolitik". Dan
begitulah rata-rata mahasiswa kita keturunan Cina. "Coba
bayangkan, kalau nanti begitu turun di Halim lantas ditangkap.
Kan nggak lucu." Agak berlebihan memang, tapi bayangan seperti
itu memang bisa ada.
Datang di Amerika Serikat 1972 sebagai mahasiswa, 1974 Guan
sudah tercatat sebagai imigran. Dulu, alasan pertamanya ke
Amerika tak lain kesulitan mencari universitas negeri di
Indonesia. Dan kini, meski tetap berkeras dan bangga menyebut
dirinya orang Indonesia, pemuda ini diam-diam telah mempelajari
masa depannya di Betlehem Steel di sana, tempatnya bekerja
sekarang. "Kalau nanti pensiun saya akan mendapat gaji 80% dari
gaji terakhir sebulannya. Enak, 'kan?"
Sekilas, agaknya memang ada perbedaan sikap dan gaya hidup
mahasiswa Indonesia yang belajar kawasan pantai barat,
California, dan pantai timur Amerika Serikat. Syafrizal Kasim,
23 tahun mahasiswa tingkat IV di American University,
Washington, sederhana dan wajar sekali. Orang Amerika di sebelah
timur sendiri memang dikenal lebih formal dan apa adanya.
lereka misalnya pakai jas dan dasi dan bersikap sopan-dibanding
orang sebelah barat yang lebih urakan.
Syafrizal hanya sempat kerja sambilan kala libur musim panas:
mengatur-atur buku di perpustakaan, dengan honor Rp 2500 sejam.
Dan mengatakan, kuliah di negeri ini mahal. "Tapi di sini tes
masuknya lebih gampang daripada di Indonesia." Itu
pertimbangannya.
Tentang Indonesia pun, pandangannya tak jauh berbeda dengan
sikapnya sendiri. "Menurut saya perlu menggiatkan rakyat agar
menabung, supaya uang tak habis untuk konsumsi melulu," katanya.
"Rakyat Indonesia sebetulnya kaya. Lihat itu para petani, berapa
banyak yang bisa naik haji. Bukannya saya antiagama. Tapi kalau
uang itu dijadikan modal, bisa lebih produktif." Politik atau
organisasi? "Wah, kurang tahu."
Dari London, seorang mahasiswa berusia 22 tahun, berdiam di
sebuah rumah sederhana di pinggir kota, merasa lebih dekat
dengan Indonesia dibanding dulu ketika masih tinggal di
Payakumbuh, Sumatra Barat. Dewi Fortuna Anwar.
mahasiswi jurusan Sejarah Timur dan Afrika di School of Oriental
and African Studies -- lembaga pendidikan cabang London
University -- suaranya ternyata lebih keras dibanding
rekan-rekannya yang di AS.
Beberapa waktu lalu Dewi, anak Dr. Chaidir Anwar, dosen Bahasa
dan Kesusastraan Indonesia di London University, sempat pulang
ke tanah air dan mengunjungi beberapa universitas. Dia mengecam
mahasiswa kita yang "hanya santai-santai saja". Lantas cewek
manis itu bicara tentang gaya hidup segolongan orang Indonesia.
"Mereka itu cuma mengejar materi. Selalu ingin menyamai
tetangganya. Seperti pameo Inggris keeping-up with the
Jones's." kritiknya.
Dewi kini sedang mengejar ijazah sarjana mudanya, dan mengambil
sejarah Asia Tenggara dalam abad ke-20 dan Perang Vietnam.
Dengan beasiswa œ 1.000 (sekitar Rp 1,5 juta) setahun, dan masih
ikut orang tua, ia memang bisa mencurahkan perhatian ke
kuliahnya. Nanti setelah lulus ia ingin kembali ke Indonesia,
mengajar di UI. "Saya dengar jurusan Sejarah Asia Tenggara di UI
masih lemah," katanya dari jauh.
Tak seenak Dewi, Harry Djadi, Ketua Perhimpunan Pelajar
Indonesia (PPI) Inggris, harus pandai-pandai mengatur waktu.
Mahasiswa Politeknik jurusan Labour Studies and Industrial
Relations ini harus membiayai sendiri hidupnya beserta seorang
istri. Memang istrinya bekerja. Tapi sebagaimana kebanyakan
'klas pekerja' di Inggris, gaji si istri untuk hidup
sehari-hari, sementara gaji suami untuk membayar angsuran rumah.
Sebagai Ketua PPI-Inggris agaknya Harry tak banyak pusing.
Anggotanya, sekitar 600 mahasiswa, sebagian besar tak suka
mengadakan kegiatan yang bersifat sosial-politik. Seperti juga
Harry: "kebanyakan mahasiswa di sini ingin cepat menyelesaikan
kuliah, pulang ke Indonesia dan mencari kerja." Dia sendiri
ingin nantinya bekerja di sebuah perusahaan swasta di tanah air.
"Menurut saya penggunaan tenaga karyawan di sebagian besar
perusahaan swasta di Indonesia belum intensif. Mengintensifkan
tenaga itu yang saya cita-citakan."
Dari sejumlah contoh kehidupan mahasiswa kita di negara-negara
luar, ternyata yang mengalami kesulitan bahasa adalah yang di
Jepang. Praktis semua mahasiswa yang diwawancarai pembantu TEMPO
di Tokyo menyatakan susah "mempelajari bahasa Jepang, terutama
huruf kanjinya". Seperti yang dialami Masjudi, 29 tahun, asal
Semarang. Ia memperoleh beasiswa Monbusho (Dep. P&K-nya Jepang)
untuk belajar Kimia Teknik. Mengenai buku teks ia masih bisa
mencari buku berbahasa Inggris. Tapi buku-buku petunjuk praktis,
sering ia harus minta bantuan mahasiswa Jepang untuk
menjelaskannya.
Masdjudi begitu terkesan akan perhatian orang Jepang terhadap
pendidikan. "Sudah seabad yang lalu ada kewajiban belajar di
Jepang," katanya. Dan kini banyak lulusan fakultas teknik yang
ingin menjadi guru. Sepulangnya nanti, calon ahli teknik ini
juga ingin menyumbang ide kurikulum pendidikan teknik, agar
lebih pas dengan kebutuhan lapangan.
Lain lagi kisah Tedjo Utomo, 27 tahun, yang kini belajar di
Sydney Technical College jurusan Food Technology. Seperti nekat,
7 tahun lalu ia ke Sydney dengan tiket pesawat satu jalan dan
uang sejumlah A$700 saja. Di Sydney ia seharusnya dijemput
seseorang dari Kementerian Pendidikan Australia yang mengurusi
bangsa asing. Tapi Tedjo tersesat -- karena bahasa Inggrisnya
hanya sepatah-dua.
SETELAH mengalami proses yang panjang -- antara lain bekerja
segala macam, termasuk jadi sopir taksi -- dia berhasil. Bahkan
kini, untuk kedua kalinya --yang pertama tahun 1977 -- ia
terpilih menjadi Ketua PPI negara bagian New South Wales. Ia pun
telah punya simpanan sejumlah uang -- untuk mendatangkan bapak
ibunya ke Australia, untuk antara lain diperkenalkan dengan
calon istrinya, anak seorang diplomat kita di Canberra.
Anak pensiunan ABRI ini 1977 sempat pulang ke tanah air dan
menyaksikan suasana menjelang pemilihan umum. Dia agak kaget
melihat penjagaan keamanan di mana-mana. Juga agak bingung
melihat lalulintas yang kalang kabut. "Tapi inilah Indonesia,
inilah tantangan saya," katanya dalam hati, menyaksikan segala
yang tak beres menurut penilaiannya.
Toh, ia pun punya kritik terhadap anak-anak pejabat Indonesia
yang belajar di Australia. Mereka hanya bergaul dengan sesama
anak pejabat, biasa.
Kritik yang lain: soal mental. Suatu hari, ia diminta menjadi
pengantar serombongan olahragawan Indonesia yang lagi berkunjung
ke sana. Mereka, tutur Tedjo, bercanda untuk 'mengutil'
benda-benda di sebuah toko. Tedjo heran: itu tidak semestinya.
Di Australia, katanya, hukum tidak main-main. Ketahuan mengutil,
bisa berabe. Ingat yang di London?
Tapi ia pun cepat menambahkan ceritanya: "Jika demokrasi seperti
di Australia diterapkan di Indonesia, bisa berbahaya. Soalnya,
kebanyakan orang Indonesia belum siap dengan rasa tanggungjawab,
dan juga mementingkan diri sendiri." Ia tak menjelaskan, kapan
"siap"nya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini