Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kisah Mahasiswa Indonesia Di LN

Motif mahasiswa Indonesia belajar di luar negeri bervariasi. PPI kurang populer di kalangan mahasiswa. Berbagai kegiatan mahasiswa & sikap mereka terhadap indonesia. ada yang berfoya-foya, ada yang pas-pasan. (pdk)

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA potret Bung Hatta di Negeri Belanda -- masih muda, tahun 1920an. Ada potret Moh. Roem, juga di sana. Ada juga Ali Sastroamidjojo. Ahmad Subardjo. Iwa Kusumasumantri. Sjahrir. Dan banyak lagi. Terpampang di buku-buku sejarah atau memoar pribadi, potret-potret itu selalu menggambarkan wajah-wajah yang belia, dengan pakaian rapi dan semua muka menghadap lensa, serta sorot mata yang mewakili semangat muda yang mantap. Kesan yang selalu tertangkap: kehidupan intelektual yang sedang dgembleng -- sekalipun peruangan tanah air dari negeri orang. Dan memang, Negeri Belanda-lah yang merupakan kancah pertama para mahasiswa kita (istilah waktu itu: pelajar) yang berjuang. Di sana pada 1908 dibentuk Indische Vereeniging, kemudian menjadi Indonesische Vereeniging dan terakhir 'Perhimpoenan Indonesia di Negeri Belanda, perkumpulan yang pertama kali mempropagandakan kemerdekaan Republik. Bahkan tidak hanya di Negeri Belanda -- satu-satunya negeri Barat yang "dikenal" waktu itu. Di Mesir, yang -- seperti juga Mekah dan Madinah --merupakan tempat pencetakan intelektual dari kalangan keagamaan, tahun 1947 para pelajar kita membuktikan darmabaktinya. Pengakuan kemerdekaan RI secara de facto dan de jure oleh Liga Arab waktu itu tak lain berkat jasa Perhimpunan Pemuda Indonesia dan Malaya (Perpindom) di sana. 18 November 1946 mereka mendesak dalam sidang liga secara meyakinkan -- dan akhirnya persetujuan diumumkan kepada seluruh negara anggota. Sejak itulah para pembesar kita yang kebetulan bertamu atau lewat di sana disambut meriah sebagai pemimpin negara merdeka. Waktunya memang sudah agak lama. Dan karenanya, orang-orang Indonesia yang sekarang ini mengirimkan anak-anaknya bersekolah ke luar negeri barangkali tak lagi ingat, betapa pun mereka menjadi makmum alias buntut para pendahulu itu. Zaman memang sudah banyak berubah, dan motivasi menjadi "studen luar negeri" sudah lebih banyak bervariasi. Perjuangan tidak lagi perjuangan kemerdekaan yang "jelas sosoknya". 'Perjuangan' dari negeri orang, menjadi sesuatu yang tidak selalu gampang dicari maknanya -- andai toh kata itu masih relevan. Organisasi dengan begitu bukan lagi satu-satunya alat pengukur: seorang mahasiswa bisa menyiapkan dirinya untuk "mengabdi", baik "buat tanah air" maupun biasanya buat diri sendiri, hanya lewat ketekunan pribadi. Tak heran bila organisasi tak begitu laris -- atau bahkan hanya sekedar terdengar namanya. Di Prancis, Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) -- dan istilah 'pelajar' memang tetap dipertahankan sebagai penghormatan kepada perjuangan lampau -- 16 Januari nanti tepat 23 tahun. Menurut pengamatan koresponden TEMPo di sana, PPI tak begitu populer di kalangan mahasiswa kita yang menurut catatan terakhir KBRI Paris berjumlah 293 orang. Mereka yang tahu pun agaknya ogah-ogahan masuk. Dan yang sudah masuk punya komentar hampir seragam pasif. Bukan cuma di Prancis, Permias (Perhimpunan Mahasiswa di AS) pun tak banyak punya kegiatan, selain susah mendapat anggota. November yang lalu misalnya mereka mengadakan acara: lomba folk song. Seminggu sebelumnya mereka ikut pula merayakan "pesta mengenang para arwah", satu pesta tradisional Amerika Serikat yang disebut Halloween Party. "Wah, saya senang berpesta, senang sekali," kata Yasmin Kamal, 25 tahun, mahasiswi University of Southern California. Dan karena itu ia menilai kegiatan Permias "sangat baik dan berhasil." Juga di Australia, yang PPI-nya berumur 27 tahun. Seperti bisa dibaca dalam Buletin PPI, perkumpulan itu mengesankan seolah hanya membuka kegiatan olahraga dan piknik. Dari anggota yang tercatat 50% terbilang aktif. Tak mengherankan kalau seorang mahasiswa USC yang alim, Doddy, menilai Permias sebagai "organisasi orang kaya yang kegiatannya hanya foya-foya," (lihat: Calon Bupati dan lain-lain). Ada yang menyimpulkan, untuk sementara, kesuksesan organisasi disebabkan karena kebanyakan mahasiswa kita yang kebetulan nonpri keturunan Cina, yang nampaknya lebih banyak cuma ingin belajar dan bekerja. Kemudian golongan lain: mahasiswa yang dikirim pemerintah Indonesia, yang cenderung menghindar dari organisasi. Maklum, mereka menganggap salah-salah bisa "keluar dari rel pemerintah", yang tentu saja akan menyusahkan mereka sendiri -- seperti dikatakan Bonar Situmorang yang sedang mengambil gelar doktor di sebuah universitas di London. Juga PPI di Inggris'(berdiri 1971) dan Jepang (berdiri 1953) tak begitu aktif maupun populer. PPI biasanya memang menerbitkan majalah unNk anggota. Tak semua bermutu. Bahkan buletin PPI Australia, mirip majalah sekolah menengah di Indonesia. Ada ramalan bintang segala. Dalam hal itu majalah PPI Jerman Barat boleh dipandang. Bahkan tahun lalu edisi ekstra Berita & Analisa (telah menginjak tahun ke-4, dicetak 6 ribu eks, gratis) itu menjadi persoalan. Nomor pertengahan tahun itu memuat berita yang di pers Indonesia sendiri dilarang diekspos: tentang Petisi 50. Langsung Pengurus PPI Pusat di Berlin melarang lembaran ekstra tersebut terbit untuk selanjutnya. Tapi protes datang. PPI cabang Hamburg dan Berlin mengadakan diskusi, dan hasilnya: tak setuju pelarangan itu. Gatot Ismono, mewakili PPI Pusat, orang yang mereka kenal sebagai sangat pro pemerintah, menjelaskan: sebetulnya tak perlu diterbitkan lembaran ekstra, katanya. "Kalau hanya untuk memuat petisi, ada ratusan petisi disampaikan ke DPR oleh rakyat. Mengapa itu tak dimuat?" Tentu saja mereka yang tak setuju pelarangan bilang: "Petisi 50 itu 'kan berita. Yang lain belum tentu" -- meski mereka memang tidak mengingat apakah memuat itu "bijaksana". PPI Jer-Barat yang aktif juga menerbitkan majalah Gelanggan, yang tahun ini menginjak tahun ke-25. Merupakan majalah ilmiah populer, dicetak rapi dan dijilid bagus. Yang unik barangkali PPI di Mesir, yang jelasjelas dalam anggaran dasarnya menyebut "organisasi ini berdasarkan Islam" (Pasal II). Dan ini sekali waktu menimbulkan masalah juga: April 1975 duta besar kita di Kairo mengirim surat kepada mereka: menyarankan perubahan pasal II dari anggaran dasar yang dibikin sejak PPI itu dilahirkan dulu. ALASAN surat dari PPI sama kerasnya: meminta mencabut surat Dubes tersebut, karena itu "menodai demokrasi Pancasila". Dubes tersebut tak lama kemudian digantikan oleh Prof. Dr. Fuad Hassan yang sebelumnya Dekan Fak. Psikologi UI. Berdasar pengamatan, boleh jugalah mahasiswa Indonesia di luar negeri dibagi ke dalam tiga golongan yang kritis (dan kadang-kadang berarti "suka mengritik pemerintah", yang suka membela dan yang acuh-tak-acuh. Mereka yang pribumi dan belajar di jurusan ilmu-ilmu sosial, banyak yang tergolong yang pertama --maklum, sesuai dengan bidangnya yang membuka pikiran. Perhatian mereka terhadap peristiwa di tanah air, besar -- dan dari situ juga kadang-kadang mereka memuji. Cara mereka bicara biasanya terus terang. Mereka yang suka membela pemerintah lazimnya para pengurus PPI, setidaktidaknya jenis Gatot Ismono dari JerBar tadi. Juga umumnya para mahasiswa ilmu-ilmu eksakta yang erat hubungannya dengan teknologi -- dan biasanya bakal lebih mudah mendapat pekerjaan, dan karena itu tidak "rewel". Jumlah mereka itu lebih banyak. Tapi yang jelas, semuanya saja merasa terpaksa harus belajar sungguh-sungguh. Kuliah di negara-negara Barat tidak main-main. Bukan menghafal yang penting, tapi mengemukakan pendapat atau hasil karya sendiri. "Di Indonesia mahasiswa seperti tidak biasa atau tidak bebas mengemukakan pikirannya sendiri," kesan Mira Surianegara, mahasiswi jurusan jurnalistik di Paris. Kesungguhan belajar itu bisa ditunjukkan lagi di Australia: ada kontrol dari kementerian pendidikan sana terhadap mahasiswa asing. Yang tak naik tingkat ada kemungkinan tak diizinkan lagi tinggal sebagai pelajar. Tentang kehidupan di Indonesia komentar para mahasiswa kita di luar negeri hampir seragam. Mereka melihat kompetisi menumpuk kekayaan yang tak sehat. Jurang kaya dan miskin terlalu kentara. Dan semangat konsumerisme menggebu-gebu. "Semangat itu memang perlu dialihkan menjadi semangat produktif -- misalnya dengan politik perdagangan, dengan industri yang tak mendorong konsumerisme dan politik periklanan," kata Farid Wajdi, 29 tahun, mahasiswa komputer di Paris. Tapi bagaimanakah "konsumerisme" di kalangan para mahasiswa sendiri? Baik konsekuen atau tidak, umumnya mahasiswa kita di Eropa atau Jepang memang hidup pas-pasan. Juga di wilayah pantai timur AS -- Washington, New York, misalnya. Hanya mereka yang di California, wilayah pantai barat, dan juga London, dikenal berduit. Dan California kebanyakan mahasiswa memang bermobil, mewah-mewah lagi. Salahseorang bahkan punya Jaguar seharga $30 ribu (sekitar Rp 20 juta). Dan jangan kaget bila mendengar komentar cewek-cewek Taiwan atau 3epang di sana "Indonesians? Oh, their cars are fantastic!" Kebanyakan mereka "nonpri" atau anak pejabat tinggi. Dr. Juwono Sudarsono, Pembantu Dekan I Fak. Ilmu-ilmu Sosial UI, yag pernah belajar di AS dua tahun dan di Inggris tiga tahun, pun punya kesan begitu. "Anak-anak pejabat itu tinggal di flat mahal, bermobil mewah, dan bangga kalau kena denda karena salah parkir " .... Motif mahasiswa belajar di luar negeri memang macam-macam, sehingga memang cukup banyak yang sekedar gagah-gagahan. Mahasiswa "nonpri" biasanya menjawab: "Di Indonesia susah mendapat universitas negeri yang terjamin kualitasnya" -- di samping diketahui bahwa untuk masuk universitas negeri banyak dikatakan agak susah buat mereka. Yang lain-lain, kalau tak dikirim pemerintah atau lembaga antar negara, ya untuk "mendapat pengalaman luas". Termasuk yang memanfaatkan kenyataan masih banyaknya orang di sini yang silau dengan lulusan luar negeri. Padahal tak semua universitas di sana bermutu, seperti pernah dinyatakan Menteri P&K. Untuk mengetahui persis berapa mahasiswa kita di luar negeri memang tak gampang. Tak semua mencatatkan diri ke KBRI atau konsulat setempat. Berdasar catatan KBRI di Washington, Tokyo, London, Paris, dan Canberra, kebanyakan mahasiswa kita mengambil jurusan teknik (engineering). Sejumlah yang lain pendidikan, ilmu-ilmu sosial, kesenian dan ekonomi. Mereka berangkat ke luar memang boleh dengan bermacam alasan. Tapi mahasiswa kita di Prancis hampir seragam penilaiannya tentang pendidikan di Indonesia sendiri: prasarana tak memadai, biaya mahal, kurikulum terlalu lemah, sehingga kualitas tak sepenuhnya terjamin. Tapi seorang mahasiswa di Paris, menilai pendapat teman-temannya yang suka berkata ini -- itu "karena mereka jauh dari Indonesia. Nanti setelah kembali, biasanya pendapat itu hilang entah ke mana." Ada daya serap yang besar rupanya di kampung halaman. Dan itu boleh berarti positif -- boleh pula hanya menunjukkan bahwa "periode yang kreatif dan gagah" dalam hidup sudah lampau. Agak berbeda memang dari para mahasiswa zaman perjuangan dulu. Zaman memang tidak berhenti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus