ARE you moslem? Tegur pemuda berseragam putih potongan hansip
itu.
Ini tentulah gara-gara tampang melayu kami yang tidak bisa
disembunyikan. Maka serenta kami mengangguk mengiakan, kontan
Mat Guide itu memberi salam: "Assalamu alaikum." Biarpun tabik
itu berbau komersial, tetapi karena hukumnya wajib, kami pun
ikhlas bersahut atas salam entro ke Taj Mahal itu "wa alaikum
mussalam."
Dengan dibimbing oleh pramuwisata kumal yang merenggut kami bak
mangsa yang jinak itu, mulailah kami dipersilakan untuk kagum.
Bangunan yang elok. Simetri yang sempurna. Bahan yang mahal dan
karya yang muskil. Cermatnya ukiran dan pahatan pada batu marmer
dan permata yang nglungit. Kesabaran dan ketetapan penyelesaian
bangunan yang duapuluh dua tahun serta segala falsafah yang
dicoba diungkap oleh setiap cercah bangunan maha menakjubkan
itu.
Dengan bersenjatakan lampu senter kecil, pramuwisata itu,
menyorot marmer tembus cahaya, batu-batuan berwarna merah,
hijau, biru yang berkialauan, tembus dan memantulkan cahaya.
Tulisan Arab yang menghias nisan, kuburan sang permaisuri, serta
dinding dinding bangunan itu ditelusuri dengan sorot baterai.
Pada setiap kubah, ia menarik perhatian kami dengan
memperdengarkan petikan jari yang lembut, tetapi menghasilkan
gaung yang asri lewat pantulan kubah yang sempurna irisannya
itu. Baru di Taj Mahal kami melihat kuburan bersusun. Kuburan
bohongan di atas, Kuburan beneran di bawah.
Merunduk-runduk memasuki terowongan ke kuburan bawah menciptakan
misteri sendiri gelap, sempit dan angker dengan bau wewangian
yang menyesakkan.
***
Anehnya nurani kami yang diseret-seret untuk kagum itu membelot.
Logika dan citarasa kami terlalu digatalkan oleh kesadaran yang
terusik dari sekedar kenikmatan indera secara badani. Seluruh
tulisan ayat Qur'an yang tersurat melingkar di sekujur Taj itu,
dengan huruf terbikin dari batu mulia itu, saya tak tahu, kenapa
pikiran kami mesti terusik untuk bertanya apa pernah dibaca,
apalagi diresapi atau diamalkan.
Pembaca doa di kuburan Syah Jehan dan Mumtaz Mahal di tengah
kami itu, apakah bukan sesosok pencari nafkah, yang setengah
memeras tiap pengunjung, biarpun pemerintah berusaha
mencegahnya.
Bangunan cantik ini sesungguhnya untuk apa, dan atas beban siapa
ditegakkannya. Waktu kami melongok ke belakang Taj, di Sungai
Jamuna terhamparlah kerbau dan bocah dalam ketelanjangan, dan
harkat yang hampir tidak bisa dibedakan. Aliran sungai itu
seperti tersenyum dengan tenang, sementara ia tetap dengan teguh
melanjutkan amalnya menghidupi, menghibur dan menemani bangsa
ini menanggung beban yang begitu berat, termasuk beban
menegakkan kuburan yang mahal itu.
Manakala pikiran mulai sumpek oleh teka-teki harkat kerbau dan
bocah itu, kami pun menuruni tangga, menuju masjid di sebelah
Taj.
Orang sering lupa -- mungkin Syah Jehan sendiri juga lupa --
bahwa di sebelah kuburan itu telah dibangun masjid, lengkap
dengan kulah air wudhu di depannya. Waktu kami sembahyang asar,
dan takhayatal masjid, dahi kami bersujud di marmer berlapis
debu.
Semula saya ragu, apa pernah ada orang lain sembahyang di
bangunan yang elok, mahal dan keramat ini. Tetapi hari itu
memang ada orang lain. Sebab menjelang kami beranjak dari masjid
selesai melepas doa, seseorang mendekat. Derma. Tentu saja kami
relakan beberapa rupee. Tetapi yang kami tidak yakin apakah
benar sumbangan itu untuk masjid atau kesejahteraan umat.
Langkah kami langsung menuju balekambangan. Kolam yang persegi
panjang itu memantul bayangan Taj dengan megah. Omongan
pramuwisata yang berhamburan dan sarat kata itu, tak satu pun
melekat di benak. Yang memukau ialah bangunan megah di tengah
kemiskinan menghampar sarana mahal tiada fungsi, kecuali
mungkin untuk mimpi.
Konon Syah Jehan, pembangun Taj Mahal yang merupakan salah satu
keajaiban dunia itu, mempunyai gaya pemerintahan yang memper
Louis XIV dari Prancis. Maharaja yang memang maha hebat dan
kampiun pembangunan pada zamannya. Di samping kuburan bagi
istrinya tercinta, ia juga membangun Masjid Mutiara, Masjid Jami
di Delhi, Istana-istana Diwani Am dan Diwani Khas dan rencana
satu kuburan lagi untuk dirinya.
Tetapi ia pun tidak peduli, bila impiannya untuk mewujudkan yang
elok-elok itu, harus membebani rakyat India yang sudah kesraat.
Pada zaman pembangunan Taj, kemiskinan dan kelaparan pun
merajalela. Menurut Jawaharlal Nehru, kawasan Gujarat dan
Deccan menderita kelaparan paling parah saat itu. Sesungguhnya,
Taj Mahal juga sebuah karikatur.
***
Rupanya keadaan itu disadari oleh anak-anak Syah Jehan.
Lebih-lebih manakala kesadaran itu ditempa oleh perkembangan
dunia saat itu. Di Inggris, kaumnya Cromwell bergolak dan
mengakhiri hidup kerajaan, memotong leher rajanya yang lalim dan
kemudian pemerintahan demokrasi perwakilan mulai ditegakkan.
Begitu pula di Prancis, pemerintahan yang berkepanjangan dari
Louis XIV telah menanamkan benih revolusi Prancis yang tersohor
itu.
Dalam tekanan keadaan dan kontradiksi seperti itu, memang
keganjilan dapat terjadi. Anak kandung Syah Jehan, Aurungzcb,
tidak sabar melihat keadaan itu berlarut-larut. Dibesarkan dalam
iklim kerajaan yang gemar kekuasaan, kebesaran dan kehebatan, ia
menjadi muak terhadap itu semua.
Aurungzeb tak sabar menghargai seni, tak sabar pula pada sastra
India yang bertele-tele. Putra raja dinasti Akhbar ini telah
tertempa keadaan di masa mudanya menjadi seorang puritan dan
bertekad untuk mendobrak kelaliman dan menegakkan perubahan.
Ayahnya yang dianggap biangkeladi kebobrokan moralitas
pemerintahan, ditangkap dan dipenjarakan di Benteng Merah, di
seberang Sungai Jamuna. Rencana lanjut bapaknya untuk membangun
kuburan di seberang sungai, bersebelahan dengan Taj,
dicampakkan. Karena, ironi itu dianggap tidak usah dibayar mahal
oleh bangsanya.
Obsesinya pada perubahan, membuat Aurungzeb menjadi galak dan
bengis. Waktu bapaknya meninggal di penjara itu, kuburannya
dibuat di sebelah ibunya di dalam bangunan Taj Mahal. Sehingga
arsitektur dan taa letak kubur menjadi kacau. Asas simetri
dilanggar justru pada inti isinya.
***
Dengan transisi melalui cara yang tidak sehat itu, pemerintahan
yang dihasilkan pun tidak memuaskan. Namun perubahan itu, telah
membuka jalan bagi bangkitnya kesadaran kebangsaan baru di
India. Roda perubahan telah menggelinding, kelahiran patriot
demi patriot dari bangsa yang besar itu pun terwadahi. Alkisah,
gerakan demokrasi yang lahir pada zaman itu dipimpin oleh
seorang gerilyawan dari daerah Maratha Shiwaji namanya. Ia
sabar, teguh pendirian dan kokoh kepribadiannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini