Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Taj mahal

Taj mahal dibangun oleh syah jehan, pada saat rakyat india kawasan gujarat dan deccan menderita kelaparan paling parah. aurungzeb anak kandung syah jehan, mendobrak kelaliman ayahnya.

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ARE you moslem? Tegur pemuda berseragam putih potongan hansip itu. Ini tentulah gara-gara tampang melayu kami yang tidak bisa disembunyikan. Maka serenta kami mengangguk mengiakan, kontan Mat Guide itu memberi salam: "Assalamu alaikum." Biarpun tabik itu berbau komersial, tetapi karena hukumnya wajib, kami pun ikhlas bersahut atas salam entro ke Taj Mahal itu "wa alaikum mussalam." Dengan dibimbing oleh pramuwisata kumal yang merenggut kami bak mangsa yang jinak itu, mulailah kami dipersilakan untuk kagum. Bangunan yang elok. Simetri yang sempurna. Bahan yang mahal dan karya yang muskil. Cermatnya ukiran dan pahatan pada batu marmer dan permata yang nglungit. Kesabaran dan ketetapan penyelesaian bangunan yang duapuluh dua tahun serta segala falsafah yang dicoba diungkap oleh setiap cercah bangunan maha menakjubkan itu. Dengan bersenjatakan lampu senter kecil, pramuwisata itu, menyorot marmer tembus cahaya, batu-batuan berwarna merah, hijau, biru yang berkialauan, tembus dan memantulkan cahaya. Tulisan Arab yang menghias nisan, kuburan sang permaisuri, serta dinding dinding bangunan itu ditelusuri dengan sorot baterai. Pada setiap kubah, ia menarik perhatian kami dengan memperdengarkan petikan jari yang lembut, tetapi menghasilkan gaung yang asri lewat pantulan kubah yang sempurna irisannya itu. Baru di Taj Mahal kami melihat kuburan bersusun. Kuburan bohongan di atas, Kuburan beneran di bawah. Merunduk-runduk memasuki terowongan ke kuburan bawah menciptakan misteri sendiri gelap, sempit dan angker dengan bau wewangian yang menyesakkan. *** Anehnya nurani kami yang diseret-seret untuk kagum itu membelot. Logika dan citarasa kami terlalu digatalkan oleh kesadaran yang terusik dari sekedar kenikmatan indera secara badani. Seluruh tulisan ayat Qur'an yang tersurat melingkar di sekujur Taj itu, dengan huruf terbikin dari batu mulia itu, saya tak tahu, kenapa pikiran kami mesti terusik untuk bertanya apa pernah dibaca, apalagi diresapi atau diamalkan. Pembaca doa di kuburan Syah Jehan dan Mumtaz Mahal di tengah kami itu, apakah bukan sesosok pencari nafkah, yang setengah memeras tiap pengunjung, biarpun pemerintah berusaha mencegahnya. Bangunan cantik ini sesungguhnya untuk apa, dan atas beban siapa ditegakkannya. Waktu kami melongok ke belakang Taj, di Sungai Jamuna terhamparlah kerbau dan bocah dalam ketelanjangan, dan harkat yang hampir tidak bisa dibedakan. Aliran sungai itu seperti tersenyum dengan tenang, sementara ia tetap dengan teguh melanjutkan amalnya menghidupi, menghibur dan menemani bangsa ini menanggung beban yang begitu berat, termasuk beban menegakkan kuburan yang mahal itu. Manakala pikiran mulai sumpek oleh teka-teki harkat kerbau dan bocah itu, kami pun menuruni tangga, menuju masjid di sebelah Taj. Orang sering lupa -- mungkin Syah Jehan sendiri juga lupa -- bahwa di sebelah kuburan itu telah dibangun masjid, lengkap dengan kulah air wudhu di depannya. Waktu kami sembahyang asar, dan takhayatal masjid, dahi kami bersujud di marmer berlapis debu. Semula saya ragu, apa pernah ada orang lain sembahyang di bangunan yang elok, mahal dan keramat ini. Tetapi hari itu memang ada orang lain. Sebab menjelang kami beranjak dari masjid selesai melepas doa, seseorang mendekat. Derma. Tentu saja kami relakan beberapa rupee. Tetapi yang kami tidak yakin apakah benar sumbangan itu untuk masjid atau kesejahteraan umat. Langkah kami langsung menuju balekambangan. Kolam yang persegi panjang itu memantul bayangan Taj dengan megah. Omongan pramuwisata yang berhamburan dan sarat kata itu, tak satu pun melekat di benak. Yang memukau ialah bangunan megah di tengah kemiskinan menghampar sarana mahal tiada fungsi, kecuali mungkin untuk mimpi. Konon Syah Jehan, pembangun Taj Mahal yang merupakan salah satu keajaiban dunia itu, mempunyai gaya pemerintahan yang memper Louis XIV dari Prancis. Maharaja yang memang maha hebat dan kampiun pembangunan pada zamannya. Di samping kuburan bagi istrinya tercinta, ia juga membangun Masjid Mutiara, Masjid Jami di Delhi, Istana-istana Diwani Am dan Diwani Khas dan rencana satu kuburan lagi untuk dirinya. Tetapi ia pun tidak peduli, bila impiannya untuk mewujudkan yang elok-elok itu, harus membebani rakyat India yang sudah kesraat. Pada zaman pembangunan Taj, kemiskinan dan kelaparan pun merajalela. Menurut Jawaharlal Nehru, kawasan Gujarat dan Deccan menderita kelaparan paling parah saat itu. Sesungguhnya, Taj Mahal juga sebuah karikatur. *** Rupanya keadaan itu disadari oleh anak-anak Syah Jehan. Lebih-lebih manakala kesadaran itu ditempa oleh perkembangan dunia saat itu. Di Inggris, kaumnya Cromwell bergolak dan mengakhiri hidup kerajaan, memotong leher rajanya yang lalim dan kemudian pemerintahan demokrasi perwakilan mulai ditegakkan. Begitu pula di Prancis, pemerintahan yang berkepanjangan dari Louis XIV telah menanamkan benih revolusi Prancis yang tersohor itu. Dalam tekanan keadaan dan kontradiksi seperti itu, memang keganjilan dapat terjadi. Anak kandung Syah Jehan, Aurungzcb, tidak sabar melihat keadaan itu berlarut-larut. Dibesarkan dalam iklim kerajaan yang gemar kekuasaan, kebesaran dan kehebatan, ia menjadi muak terhadap itu semua. Aurungzeb tak sabar menghargai seni, tak sabar pula pada sastra India yang bertele-tele. Putra raja dinasti Akhbar ini telah tertempa keadaan di masa mudanya menjadi seorang puritan dan bertekad untuk mendobrak kelaliman dan menegakkan perubahan. Ayahnya yang dianggap biangkeladi kebobrokan moralitas pemerintahan, ditangkap dan dipenjarakan di Benteng Merah, di seberang Sungai Jamuna. Rencana lanjut bapaknya untuk membangun kuburan di seberang sungai, bersebelahan dengan Taj, dicampakkan. Karena, ironi itu dianggap tidak usah dibayar mahal oleh bangsanya. Obsesinya pada perubahan, membuat Aurungzeb menjadi galak dan bengis. Waktu bapaknya meninggal di penjara itu, kuburannya dibuat di sebelah ibunya di dalam bangunan Taj Mahal. Sehingga arsitektur dan taa letak kubur menjadi kacau. Asas simetri dilanggar justru pada inti isinya. *** Dengan transisi melalui cara yang tidak sehat itu, pemerintahan yang dihasilkan pun tidak memuaskan. Namun perubahan itu, telah membuka jalan bagi bangkitnya kesadaran kebangsaan baru di India. Roda perubahan telah menggelinding, kelahiran patriot demi patriot dari bangsa yang besar itu pun terwadahi. Alkisah, gerakan demokrasi yang lahir pada zaman itu dipimpin oleh seorang gerilyawan dari daerah Maratha Shiwaji namanya. Ia sabar, teguh pendirian dan kokoh kepribadiannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus