BARU-baru ini, Prof. Dr. Priguna Sidharta meluncurkan otobiografinya, Seorang Dokter dari Losarang. Dokter ahli saraf yang dulu dikenal dengan nama Sie Pek Giok ini adalah seorang dokter terkenal. Pasiennya terdiri dari orang-orang penting, termasuk para petinggi negara. Tapi dia juga dikenal sebagai dokter yang sangat baik hati pada orang tak punya. Dia suka buka praktek sampai lewat tengah malam bagi pasien miskin itu. Saya mengenalnya melalui istrinya, Myra Sidharta, psikolog yang menjadi guru saya ketika saya kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Suatu kali, pada tahun 1975, ketika belajar di Harvard University, Cambridge, Amerika Serikat, saya ditelepon Ibu Myra, yang ke sana bersama Priguna. Saya menemui mereka di Holiday Inn, memenuhi undangan makan bersama. Setelah makan, saya sempat berbincang-bincang dengannya. Ternyata, dia seorang "tukang ngomong" kelas berat. Ceritanya macam-macam, tentang beberapa pengalaman dan riwayat hidupnya. Bukan saja isi ceritanya yang menarik, tapi cara berceritanya pun memikat. Gayanya lugu, membuat saya seperti terhipnotis. Misalnya, ketika ia bercerita tentang disiplin dan sifat kesatria orang Jepang. Di zaman itu, dia dilatih oleh tentara Jepang. Suatu hari, dia harus menghukum seorang anak buahnya yang datang terlambat, dengan menempeleng pipi kiri si anak buah. Kebetulan, di situ ada bisul. Dan anak buah itu minta dipukul pipi kanannya saja. Maka, Priguna pun mengabulkannya. Ini terlihat oleh si serdadu Jepang. Segera, Priguna dipanggil dan dihajar sampai babak belur. Kemudian, dia masih harus menempeleng keras-keras si anak buah, di pipi kirinya. Terpaksa, itu dilakukannya. Terdengarlah teriakan keras, bisul tadi pecah, dan yang ditempeleng jatuh pingsan. Malam harinya, si Jepang mendatangi Priguna. Dikatakannya bahwa dia telah bertindak salah, menghukum Priguna tanpa tahu alasan yang sebenarnya. Karena itu, dia minta supaya Priguna menghajarnya. Maka, seperti ditulis dalam bukunya ini, "Saya tidak tunggu lama, langsung saya hujani wajah Akano dengan kepalan tangan kanan dan kiri sekuat tenaga. Selesai pemukulan itu, Akano mengulurkan tangan dan kami berdua berjabat tangan." Cerita seperti ini sangat berkesan pada diri saya. Bukan itu saja yang diceritakan Priguna. Masih banyak kisah lain yang tidak kalah menariknya. Saya berkata kepadanya, seharusnya dia menulis sebuah otobiografi. Setelah kembali ke Indonesia, saya masih sering menjumpainya di rumahnya. Gaya cerita yang seadanya dan lugu sering membuat saya terpingkal-pingkal. Saya makin mendorongnya menulis otobiografinya. "Kalau perlu, Anda rekam saja, seperti Anda ngomong sekarang. Nanti, rekamannya ditranskrip," kata saya karena ragu apakah Priguna bisa menulis dengan baik. Sebelum buku itu terbit, memang ada kejutan dari Priguna. Saya sendiri sudah hampir lupa soal anjuran saya agar Priguna menuliskan riwayat hidupnya. Tapi, pada suatu saat, saya mendapat kiriman sebuah naskah tebal ratusan lembar. Isinya: otobiografi Priguna -- ditulisnya sendiri. Dan ketika saya baca, bukan main. Gaya bertuturnya sangat menarik, terus terang, lugu, dan lucu, seperti kalau dia bercerita. Lantas, saya tanya lewat telepon, apakah dia pernah menulis sebelumnya. Dengan kocak ia pun menjawab, "Ya... cuma tulis resep." Mengapa saya menganjurkan Priguna menuliskan otobiografinya? Pertama, banyak cerita yang menarik di dalamnya. Kedua, saya melihat mungkin otobiografi ini bisa memberikan gambaran yang lebih jelas tentang orang keturunan Cina di Indonesia. Ada banyak anggapan bahwa orang Cina di sini kerjanya hanya mencari duit. Mungkin karena kebanyakan dari mereka menjadi pedagang. Lain halnya dengan Priguna. Bersama beberapa tokoh lain di bidang olahraga, keilmuan, dan kesenian, dia seperti mau melawan mitos yang ada. Ia bukan hanya meninggalkan dunia perdagangan, tapi juga telah menampilkan sifat kedermawanannya. Seperti saya sebut di atas, banyak pasiennya dari kaum miskin. Saya pikir, otobiografi Priguna ini merupakan sesuatu yang sangat penting bagi pengembangan kehidupan berbangsa kita, khususnya hubungan antarras. Buku ini juga bisa bermanfaat mencairkan prasangka buruk terhadap orang Cina di Indonesia. Seperti juga orang-orang Jawa, Minang, atau Ambon, di kalangan orang Cina pun ada yang jahat dan serakah. Tentu tak sedikit yang baik dan dermawan. Lantas, "Apa judulnya?" tanyanya ketika saya, Herry Gendut Janarto (penyunting), dan Goenawan Mohamad diajak berdiskusi. Herry mengusulkan judul "Di Hutan Belantara Saraf". Saya mengusulkan "Orang Cina Jadi Dokter". Akhirnya, judul yang dipilihnya adalah usul Goenawan, Dokter dari Losarang.Arief Budiman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini